Anne Nurfarina Membuka Jiwa Para Difabel untuk Melawan Stigma
Anne Nurfarina (51) tidak hanya memberikan kesempatan para penyandang disabilitas mental untuk berkarya. Dia membuka pintu-pintu jiwa mereka yang tertutup dan menariknya dari jeratan stigma.
Lewat seni, Anne Nurfarina membuka pintu jiwa kaum difabel yang tertutup dan menariknya keluar dari jeratan stigma. Dia meyakinkan semua orang, mereka bisa berdaya dengan semua keunikannya.
Nurul Fatima (22) tidak kuasa menahan haru saat General Manager The Trans Hotel Bandung Farid Ananta Patria mengajaknya melukis dinding kantin dan area karyawan hotelnya, Kamis (14/11/2019) silam. Dia memeluk Anne Nurfarina, dosen Fakultas Desain Komunikasi Visual Universitas Widyatama, yang membimbing agar tetap percaya diri menjadi desainer meski memiliki keterbatasan.
Anne menuturkan, Nurul mengidap cerebral palsy, satu penyakit yang menyerang sistem motorik dan dipengaruhi perkembangan otak. Nurul memang memiliki keterbatasan dalam bergerak dan berkomunikasi tapi tidak dengan idenya. Imajinasinya bergerak tanpa batas dan mampu dituangkan menjadi desain yang bernilai.
Sambil menunjukkan portofolio Nurul, Anne berujar, Nurul mampu menerima pelajaran dengan baik di kelas regular tempatnya mengajar dan mampu lulus dengan IPK memuaskan. Kumpulan desainnya dinamis, menyesuaikan dengan keinginan klien, mulai dari gambar untuk anak-anak hingga contoh poster untuk penyuluhan masyarakat.
Melihat potensi Nuru, Anne berjuang untuk meyakinkan masyarakat bahwa difabel bisa melakukan pekerjaan dengan baik. Bersama Ketua Yayasan Widyatama Ontowiryo Abdoelkadir, Anne merintis Art Therapy Center (ATC). Dia membuktikan, tanpa terjebak dengan stigma, penyandang kaum difabel bisa hidup mandiri tanpa membebani lingkungan.
Akan tetapi, upaya untuk mandiri ini tidak hanya tercapai dari sisi dunia profesional. Anne menuturkan, kaum difabel pun perlu membuka diri. Karena itu, mereka membutuhkan orang-orang di sekitarnya sebagai jembatan agar mereka tidak terjebak dengan dunianya sendiri. Mereka perlu bersosialisasi.
Penyandang disabilitas, terutama mentalnya, tidak ada bedanya dengan kita. Mereka tidak ingin dikasihani, cukup berikan kesempatan
“Penyandang disabilitas, terutama mentalnya, tidak ada bedanya dengan kita. Mereka tidak ingin dikasihani, cukup berikan kesempatan. Namun yang terpenting, para penyandang disabilitas ini perlu membuka diri,” ujarnya.
Metode sensasi
Salah satu yang menjadi perhatian Anne adalah penyandang autisme. Mereka kesulitan dalam berkomunikasi dengan orang-orang di sekitarnya. Anne menganalogikan, orang normal memiliki banyak pintu untuk berkomunikasi, sedangkan orang-orang autis tidak.
Mereka seperti terjebak di dalam ruangan dan hanya ada satu pintu untuk berkomunikasi. Menurut Anne, komunikasi dengan pengidap autisme bisa melalui pintu stimulus natural, yaitu menggunakan interaksi melalui kemampuan dasar sebagai manusia, yaitu audio, visual, maupun audio-visual. Metode komunikasi ini pun dikukuhkannya dalam bentuk naskah akademik dan dinamakan Metode Sensasi.
“Metode ini menjadi bahan disertasi saya. Kalau bukan kajian ilmiah, orang-orang tidak percaya. Ternyata bisa dibuktikan ke beberapa anak. Intinya, semua manusia, baik normal maupun disabilitas mental, bisa merespon, tidak diam,” ujarnya.
Ketertarikan Anne terhadap autisme bukan tanpa alasan. Dia memiliki adik perempuan penderita autis. Hal tersebut sempat membuatnya putus asa bahkan menganggap saudaranya itu manusia gagal karena tidak mampu berinteraksi dengan lingkungan.
Ada suatu momen di mana Anne tidak tahan hingga lalu memukul sang adik. Bahkan saat dipukul pun, tutur Anne, adiknya tidak merespon apa-apa, hanya diam sambil menatap matanya, kosong. Respon sang adik itu membuatnya menyesal, dan berjanji ke diri senditi untuk tidak memandang rendah adiknya.
Sambil memeluknya, saya membatin, tidak mungkin Tuhan gagal dalam mencipta. Tuhan Maha Perencana
“Itu menjadi titik balik saya. Sambil memeluknya, saya membatin, tidak mungkin Tuhan gagal dalam mencipta. Tuhan Maha Perencana,” tuturnya.
Ternyata benar, berbagai pengalaman berkomunikasi dengan adiknya menginspirasi Anne untuk menemukan Metode Sensasi. Sang adik sangat menyukai musik dari iklan di televisi, dan terkadang bergumam mengikuti jingle dari iklan tersebut.
Anne berkisah, saat mengasuh adiknya , Anne mengamati, adiknya sering memukul-mukul benda dengan menggunakan irama. Saat irama tersebut diikuti oleh Anne, adiknya menoleh, lalu membalas irama tersebut, seakan menerima sinyal komunikasi.
“Dari pengalaman tersebut, saya mulai menjalin komunikasi simpel dengannya. Saya menemukan pintu masuk berkomunikasi dengan anak-anak autis melalui aspek yang mereka suka. Kalau sudah mengetahui pintu nya, semua materi pelajaran dimulai dari sana,” kata Anne.
Vokasi seni
Pada tahun 2012, Anne berhasil membuktikan hipotesisnya. Disertasi tersebut mengantarkannya meraih gelar doktor di Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung. Dia memberikan solusi efektif dan murah dalam merawat anak-anak autis, khususnya untuk membangun komunikasi dengan anak.
“Sayang sekali, saat saya berhasil memberikan solusi, adik sudah terlanjur menjadi bayi besar. Dia sudah terlalu tua untuk menjalani terapi ini, karena umur maksimal adalah 20 tahun. Tapi saya tetap berterimakasih kepada adik saya. Tanpa dia, saya tidak mungkin bisa menemukan metode yang bisa menyelamatkan banyak anak autis ini,” tuturnya sambil tersenyum.
Setelah bisa berkomunikasi, yang dilakukan Anne adalah membuka jalan untuk para pengidap autis dan penyandang disabilitas lainnya. Pada tahun 2014, Anne berkontribusi di Art Therapy Center (ATC), lembaga pendidikan dan vokasi untuk penyandang disabilitas, terutama mental dari Yayasan Widyatama.
“Karena basis saya adalah seni, saya akan maksimalkan anak-anak ini di bidang seni,”ujarnya.
Di lembaga ini terdapat dua program. Pertama adalah perlakuan khusus untuk membangun respon komunikasi dan tingkah laku. Setelah bisa berkomunikasi dengan lingkungan, ide-ide yang tadinya hanya dinikmati sendiri dalam dunianya bisa dikeluarkan dan menjadi karya yang luar biasa. Anne berhasil membangun kepercayaan diri mereka. Program kedua, kaum difabel mental dan fisik diberi kesempatan untuk berkarya.
Program ini yang menjadi bentuk pendidikan vokasi untuk mereka. Dirancang untuk lulusan SMA atau SLB sederajat, ATC memiliki Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) dengan jurusan desain grafis, seni musik dan kriya. Mereka mendapatkan pendidikan setara D3 berbasis Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) dengan masa belajar tiga tahun.
"Lembaga ini ada bukan untuk memberdayakan anak-anak disabilitas karena mereka telah berdaya dengan kemampuan sendiri. Mereka bisa. Kami hanya membuka pintu, memberikan kesempatan bagi mereka untuk setara dengan yang lain," tuturnya.
Lawan stigma
Meskipun berhasil membangun komunikasi dan menghasilkan karya, tutur Anne, usaha anak-anak tersebut akan sia-sia selama belum mendapatkan pengakuan dari masyarakat. Selama ini, siswanya kesulitan mendapatkan pekerjaan yang menjadi modal dasar kemandirian mereka.
Selain itu, Anne merasa bidang seni masih dianggap selingan dan hanya dianggap sebagai bagian dari aspek estetika bagi masyarakat. Apalagi, dalam melakukan pekerjaan, orang-orang masih ragu menerima penyandang disabilitas mental karena masalah tingkah laku sosial mereka.
"Stigma ini membuat industri masih belum percaya mereka bisa. Padahal, mereka sudah memiliki kemampuan sebagai operator dan bisa melaksanakan tugas dengan baik. Mereka hanya butuh pengakuan," tuturnya.
Anne semakin khawatir, saat lulus angkatan pertama, anak-anak didikkannya tidak terserap industri. Sembari melawan stigma, dia berdoa, semoga kesempatan bagi anak-anak ini terbuka lebar.
Doa itu terjawab. Tahun 2018, ATC mendapatkan undangan berkolaborasi dengan Andien Aisyah, penyanyi jazz tanah air dalam pameran dan peluncuran single nya yang bertajuk “Warna-Warna”. Dalam pameran ini karya lukisan siswa ATC terjual hingga 80 persen.
Kolaborasi tersebut mendatangkan berbagai kesempatan lainnya. Hingga saat ini, tutur Anne, siswanya banyak mendapatkan proyek dari berbagai perusahaan, mulai dari desain iklan hingga logo kegiatan. Momentum ini merupakan jalan pembuka bagi kemandirian siswa-siswi ATC sebagai representatif para penyandang disabilitas.
“Jika ditangani secara strategis, efektif dan jelas, anak-anak ini pasti mandiri. Kami pun menjadi sungkan menyebut anak-anak ini sebagai penyandang disabilitas. Kami mengganti istilah itu dengan difable atau different ability (kemampuan berbeda atau unik). Karena mereka mampu,” ujarnya.
Upaya Anne tidak berhenti sampai di sini saja. Di tahun 2019, dia membangun Creative Business of Difable Community (CIDCO) khusus untuk lulusan ATC Widyatama. Melalui simpul komunitas ini, para siswa dipertemukan dengan klien sehingga bisa produktif, berkarya dan mandiri dengan penghasilan sendiri.
“Tantangan karena stigma pasti terus ada, namun pengalaman membuktikan setiap masalah pasti ada jawabannya. Semua tergantung dari kita mempergunakan akal dan hati,” ujar Anna. Dia tetap optimistis, mereka pasti bisa berkarya dan berkontribusi asal diberi kesempatan.
Bagi Anne, perjalanan masih jauh, karena stigma di lingkungan masih dirasakan para penyandang disabilitas, baik fisik dan mental. Namun dia yakin, Tuhan tidak pernah gagal dalam menciptakan makhluk-Nya. Semuanya bernilai besar dan bermanfaat.
Anne Nurfarina
Lahir : Bandung 16 Juni 1968
Pendidikan terakhir: S3 Fakultas Seni Rupa dan Desain, ITB (2012)
Pekerjaan/Jabatan :
• Dosen Fakultas Desain Komunikasi Visual Widyatama. (2013-sekarang)
• Direktur Art Therapy Center Widyatama. (2013-sekarang)
• Dewan Pengarah Asosiasi Profesional Desain Komunikasi Visual Indonesia (AIDIA). (2015-sekarang)
• Wakil Ketua Umum II Persatuan Orang Tua dan Keluarga Penyandang Disabilitas Indonesia (PORTADIN) Pusat. (2016-sekarang)