Hestiana dan Natalia Membalas Jasa "Bajing Loncat" dengan Sekolah
Demi membalas budi baik para "bajilo", Hestiana dan Natalia membangun sekolah Bilangan Jalanan untuk anak-anak Jalanan di kawasan Senen, Jakarta Pusat. Bagaimana cerita mereka?
Oleh
J Galuh Bimantara
·5 menit baca
Berkat anak jalanan, Hestiana Kiftia (28) dan Natalia Melake (29) menjadi juara dua lomba karya ilmiah tingkat nasional sewaktu sekolah dulu. Namun, kegembiraan mereka berubah jadi kemarahan dan rasa bersalah karena beberapa anak jalanan yang menjadi sumber penelitian mereka, meninggal saat kabur dari operasi penertiban yang dilakukan aparat. Untuk membayar rasa bersalah itu, Hesti dan Natalia membangun sekolah bagi anak jalanan.
Nama sekolah informal itu Bingkai Jalanan yang berlokasi di kawasan Senen, Jakarta, Pusat. Sekolah itu berlangsung di sebuah rumah kontrakan sederhana berukuran 6 meter x 6 meter. Untuk mengaksesnya, hanya tersedia gang selebar satu meter yang dijepit tembok pagar Stasiun Senen dan deretan rumah, kios, warung, dan tempat usaha lainnya.
Sabtu (26/10/2019), anak-anak dari keluarga tidak mampu--sebagian anak jalanan--menyimak eksperimen yang sedang dibuat Shalima Hakim (19) dan dua guru sukarelawan. Mereka menaruh botol dalam baskom, lantas memasukkan soda kue, sabun colek, dan pewarna makanan ke dalam botol. Terakhir mereka menambahkan cuka. Dua detik kemudian, semburan air membubung dari mulut botol. Sebagian cairan tumpah ke lantai.
Anak-anak langsung bertepuk tangan girang. Mereka kemudian diberi kesempatan membuat sendiri eksperimen yang disebut erupsi. Ini adalah bagian dari pelajaran tentang gunung berapi.
Lewat eksperimen seperti itu, proses belajar mengajar di Bingkai Jalanan tidak membosankan dan bisa menarik anak-anak jalanan yang sehari-hari sibuk mencari uang dengan mengamen, bekerja di lapak limbah plastik, atau membantu orangtua berdagang. Karena itu, kelas Bingkai jalanan hanya bisa dilakukan Kamis malam pukul 18.30-20.00 dan Sabtu pukul 09.30-12.00.
Bingkai Jalanan sendiri hanya memberikan pendidikan tambahan. Sebagian besar peserta didik sekolah informal ini juga terdaftar sebagai siswa di sekolah formal. Namun, mereka terus datang ke Bingkai Jalanan karena mereka bisa mendapatkan pengetahuan tambahan tanpa membebani orangtua mereka dengan biaya kursus atau les. Kadang mereka juga diajak belajar sambil rekreasi seperti ke Dunia Fantasi Taman Impian Jaya Ancol. Semua biaya proses belajar mengajar ditanggung para sukarelawan dan donor.
Tujuh tahun lalu ketika baru didirikan, Bingkai Jalanan hanya bisa merangkul 15 anak jalanan. Kini setiap kelas digelar, ada 30-40 anak jalanan yang datang. Jumlah guru sukarelawan pun terus bertambah dan datang dari berbagai kalangan mulai pelajar, mahasiswa, dan karyawan swasta.
Dua sahabat
Pondasi bagi Bingkai Jalanan diletakkan oleh Hestiana dan Natalia pada Desember 2012. Saat itu, keduanya tercatat sebagai mahasiswa di Universitas berbeda. Masa awal Bingkai Jalanan adalah masa perjuangan. Hesti dan Natalia mesti pelan-pelan mendekati anak-anak pengamen di sekitar patung dekat Stasiun Senen. “Kami bagikan susu, terus kami bilang, besok ada lomba mewarnai,” cerita Hesti.
Berbekal susu kotak satu kardus untuk pemikat, Bingkai Jalanan mulai didatangi anak-anak kurang mampu. Kelas mereka waktu itu adalah ruang terbuka di depan Gelanggang Olahraga Remaja (GOR) Senen beralas tikar. Setelah beberapa kali program lomba mewarnai jalan, Hesti dan Natalia mulai beranjak ke program pendidikan lainnya, seperti memberi pelajaran membaca dan berhitung.
Awalnya, anak-anak jalanan itu sudah diatur. Karena itu, Hesti dan Natalia tidak bisa memaksa atau mendikte mereka tentang mana yang benar dan mana yang salah. “Dulu mereka merokok sambil menulis. Lama-lama, aku kasih foto paru-paru perokok yang rusak (saat itu, gambar seram pada bungkus rokok belum diwajibkan), dan yang seperti itu lebih menakutkan,” ujar Hesti.
Setelah program berjalan, Hesti dan Natalia mulai melengkapi perlengkapan "kelas" dengan meja lipat agar anak-anak tidak menggambar atau menulis sambil membungkuk di atas tikar. Meja lipat itu mereka bawa dari rumah masing-masing. Setelah pelajaran selesai, meja-meja dititipkan pada orangtua anak jalanan yang tinggal di Senen. Sayangnya, banyak meja yang hilang ataupun rusak.
Dari situ, mereka mulai berpikir untuk menyewa kontrakan di barat Stasiun Senen pada 2015 yang sampai sekarang mereka gunakan. Uang kontrakan diperoleh dari patungan para pengajar.
Balas budi
Hesti dan Natalia dipertemukan oleh ajang lomba karya tulis ilmiah tingkat nasional sewaktu sama-sama berstatus pelajar Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 14 Jakarta. Pertama mereka ikut dan kalah. Karena penasaran, tahun 2008, Hesti dan Natalia ikut lomba itu lagi dengan karya ilmiah berjudul "Pencurian Besi oleh Para Bajing Loncat Cilik di Kawasan Kelapa Gading Jakarta Utara".
Isu bajing loncat (bajilo) atau anak-anak jalanan yang suka mencuri muatan truk, dipilih karena Natalia pernah bersentuhan dengan mereka. Ia pernah menjadi pengamen jalanan, sementara ibunya pernah berdagang makanan di persimpangan Cempaka Mas. Nah, sebagian pembeli dagangan ibunya adalah bajilo.
Natalia dan keluarga juga tinggal di lingkungan yang banyak anak jalanannya yakni di Kampung Pedongkelan, permukiman kumuh dekat Waduk Ria-Rio di Jakarta Timur. “Dulu gue tinggal di lingkungan yang nggak sehat. Anak yang nggak sekolah atau anak yang disuruh cari duit ama orang tuanye, udah jadi makanan gue sehari-hari,” kata Natalia.
Pengalaman bersentuhan dengan anak jalanan, membuat penelitian Natalia dan Hesti menjadi sarat fakta lapangan. Tidak heran jika mereka bisa menjadi juara kedua pada lomba karya ilmiah tingkat nasional yang digelar di UGM itu.
Kemenangan itu mereka sambut dengan bahagia. Tidak lama kemudian kebahagiaan itu berubah jadi kemarahan, kesedihan, dan rasa sesal. Pasalnya, sejumlah bajilo yang menjadi narasumber penelitian mereka, dikejar-kejar aparat keamanan dalam operasi penertiban. Beberapa di antara mereka meninggal ketika berusaha kabur.
Entah terkait atau tidak, setelah karya tulis mereka diumumkan sebagai pemenang kedua, penertiban bajilo tambah gencar. Hesti dan Natalia semakin merasa bersalah. "Kami sempat tidak bertegur sapa selama beberapa waktu. Akhirnya saya bertemu Natalia lagi, mengajak membuat sekolah,” tutur Hesti.
Sekolah Bingkai Jalanan itu kemudian menjadi jalan bagi Hesti dan Natalia untuk membunuh rasa marah dan salah meraka. Sekolah itu sekaligus dibuat untuk mengenang jasa bajilo yang membantu penelitian mereka.
Hestiana Kiftia
Lahir: Jakarta, 5 Oktober 1991
Suami: Dedi Purwadi (28)
Pendidikan:
SMK Negeri 14 Jakarta
Ilmu Komunikasi Politik Universitas Bung Karno (2009-2013)
Natalia Melake
Lahir: Riau, 6 Desember 1989
SMK Negeri 14 Jakarta
Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Indraprasta PGRI (2011-2015)