Rosida dan Muhammad, Suami Istri Pencetak Atlet Lari
Rosida (47) dan Muhammad Ali (48) adalah pasangan yang sukarela melatih anak-anak kampung di kawasan Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, untuk menjadi atlet lari. Mereka melakukan itu demi memberikan harapan hidup lebih baik bagi anak-anak kampung lewat dunia olahraga.
Rosida (47) dan Muhammad Ali (48) adalah pasangan yang sukarela melatih anak-anak kampung di kawasan Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, untuk menjadi atlet lari. Mereka melakukan itu demi memberikan harapan hidup lebih baik bagi anak-anak kampung lewat dunia olahraga. Salah seorang anak kampung yang ia temukan dan kini menjadi sprinter hebat adalah Lalu Muhammad Zohri (18).
Sebagai orang yang dilahirkan dari keluarga kurang mampu di Desa Jotang, Kecamatan Empang, Sumbawa, NTB, Rosida muda bertekad mengangkat derajat hidup keluarga. Ia memilih atletik sebagai sarana untuk mencapai mimpinya.
”Olahraga atletik, terutama lari, adalah olahraga paling murah. Dengan telanjang kaki, kita sudah bisa berlatih lari. Untuk orang susah seperti saya, ini adalah olahraga paling pas,” ujarnya ketika ditemui di rumahnya di Dusun Cupek, Desa Sigar Penjalin, Kecamatan Tanjung, Lombok Utara, Minggu (19/5/2019).
Bakat olahraga Rosida terasa ketika masuk sekolah guru olahraga (SGO) di Mataram 1988-1991 dan meneruskan kuliah di Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Mataram 1991-1995. Di sana, ia mendapatkan ilmu dasar atletik dari materi pelajaran dan bimbingan langsung para guru, dosen, rekan, serta senior yang juga pelaku olahraga NTB. Di antara mereka ketika itu ada yang masih aktif sebagai atlet, mantan atlet, hingga pelatih.
Awalnya, Rosida menggeluti lari jarak menengah jauh, seperti 5K dan 10K. Kemudian, ia mencoba sejumlah nomor lain, seperti lari 100 meter, 200 meter, dan loncat tinggi hingga akhirnya fokus di lompat jauh. Di tingkat kabupaten ataupun provinsi, ia beberapa kali menjadi juara.
Di Pekan Olahraga Daerah Ke-5 NTB di Mataram pada 1990, ia menjadi juara lompat jauh dengan rekor lompatan 4,75 meter. Hasil itu membawanya mewakili NTB ke Kejuaraan Atletik Nasional Yunior di Stadion Madya Senayan, Jakarta, pada 1991. Sayangnya, ia gagal menjadi yang terbaik. Lompatannya kalah jauh dari para pelompat terbaik nasional saat itu.
Setelah itu, Rosida tidak menunjukkan perkembangan berarti. Ia pun mulai meninggalkan dunia atlet seiring kesibukannya berumah tangga dan bekerja pada medio 1997. Namun, ia meninggalkan dunia itu dengan rasa penasaran. Dia merasa belum puas karena gagal berprestasi di tingkat nasional.
Hal itu mendorong Rosida untuk mencari bibit atlet agar bisa menjadi juara sebagaimana mimpinya dahulu. Selain itu, ia pun ingin mengubah nasib anak-anak berbakat tersebut menjadi lebih baik lewat olahraga. Upaya itu pertama kali dicobanya ketika mulai mengajar sebagai guru Olahraga honorer di SMP Negeri 2 Tanjung, Lombok Utara, pada 1999.
Fokus utamanya adalah mendorong murid-muridnya yang berbakat menjadi pelari. Olahraga itu dipilih karena paling murah dibandingkan olahraga lain. Lagi pula, murid-muridnya, terutama yang berbakat itu, sebagai besar dari keluarga kurang mampu. Ia pun menilai peluang orang-orang NTB berprestasi di olahraga lari lebih tinggi dibandingkan olahraga lain. Lagi pula, perhatian Pemerintah Provinsi NTB terhadap atlet lari memang tinggi.
Dengan membina murid sebagai pelari, saya ingin membantu mereka mengubah nasib. Apalagi, banyak dari mereka dari keluarga kurang mampu. Saya tahu betul bagaimana hidup susah karena saya dari keluarga seperti itu.
”Dengan membina murid sebagai pelari, saya ingin membantu mereka mengubah nasib. Apalagi, banyak dari mereka dari keluarga kurang mampu. Saya tahu betul bagaimana hidup susah karena saya dari keluarga seperti itu,” kata Rosida yang menjadi guru Olahraga PNS di SMP Negeri 1 Pemenang, Lombok Utara, sejak 2006 itu.
Merayu Zohri
Namun, mengajak murid menjadi atlet lari ternyata tidak semudah membalikkan telapak tangan. Bahkan, Rosida sering mendapatkan penolakan. Jika siswa tidak menolak, justru keluarga mereka yang menolak. Penolakan biasanya muncul lantaran lari dianggap olahraga menjemukan dan latihannya berat. Lagi pula, masih banyak murid yang lebih ingin menjadi pemain sepak bola.
Kendati demikian, Rosida tak patah arang. Ia terus merayu para murid itu. Bukan harian, mingguan, atau bulanan ia mencoba merayu, melainkan hingga tahunan. Salah satu contohnya ketika ia merayu Zohri. Ia butuh waktu tiga tahun merayu hingga akhirnya Zohri mau berlatih lari. Persisnya, upayanya baru tercapai ketika Zohri duduk di Kelas IX SMP Negeri 1 Pemenang medio 2015/2016.
Setidaknya Rosida melatih Zohri selama 7-8 bulan. Selama itulah, ia memberikan Zohri teknik-teknik dasar berlari. Berkat pelatihan itu pula, Zohri meraih sukses sebagai juara di nomor 100 meter, 200 meter, dan 4 x 100 meter pada Kejuaraan Daerah NTB di Mataram, Desember 2015. Setelah itu, ia direkrut Pusat Pendidikan Latihan Pelajar (PPLP) NTB pada pertengahan 2016.
Dari pertama kali Zohri masuk SMP, saya sudah melihat anak itu berbakat. Jadi, saya ajak dia berlatih lari. Tetapi, Zohri selalu menolak karena dia lebih suka sepak bola.
”Dari pertama kali Zohri masuk SMP, saya sudah melihat anak itu berbakat. Jadi, saya ajak dia berlatih lari. Tetapi, Zohri selalu menolak karena dia lebih suka sepak bola. Tetapi, saya terus berusaha karena sayang dengan bakatnya. Alhamdulillah, di kelas IX, dia akhirnya luluh mau berlatih lari,” tutur Rosida.
Dalam melihat bakat, Rosida melihat gerak-gerik para murid dalam aktivitas sehari-hari dan saat pelajaran Olahraga. Biasanya murid berbakat itu energik dan selalu aktif bergerak. Pergerakannya lincah dan cepat. Selain itu, murid tersebut punya postur tubuh ramping dan kuat.
Selain Zohri, Rosida pernah mengorbitkan murid SMP Negeri 1 Pemenang lainnya sebagai atlet nasional, yakni pelari 100 meter Sudirman Hadi (23) yang sempat berpartisipasi di Olimpiade Rio de Janeiro 2016. Setelah Zohri, Rosida berhasil membawa murid SMP Negeri 2 Tanjung, Agus (16), dan murid SMP Negeri 3 Bayan, Lombok Utara, Mirawan (16), masuk PPLP NTB saat ini.
Tanpa pamrih
Rosida tidak memungut biaya sepeser pun dari para murid. Ia murni melatih karena ingin membantu mereka. Biasanya ia melatih 5-15 orang, yakni dari SMP Negeri 1 Pemenang, SMP Negeri 2 Tanjung, sejumlah murid titip dari SMP lain di kawasan Lombok Utara, dan anak-anak di sekitar tempat tinggalnya.
Dalam melatih, Rosida selalu didampingi oleh suaminya, Muhammad Ali. Tak hanya mendampingi, Ali juga ikut mencari bibit murid berbakat di sekolah tempatnya mengajar, yakni SMP Negeri 2 Tanjung. Kebetulan Ali juga alumnus IKIP Mataram pada medio 1990-1994 sehingga ia pun punya banyak ilmu mengenai atletik.
Tak hanya memberikan materi latihan, mereka ikut menjemput anak-anak yang kebetulan bertempat tinggal jauh dan terpencil, seperti di pegunungan. Tak jarang pula anak-anak itu diberi makan siang. Beberapa murid yang akan ikut kejuaraan pun diberi kaus dan sepatu. Semua dilakukan Rosida dan Ali tanpa pamrih.
Bahkan, setahun terakhir, Rosida dan Ali menampung murid SMP Satap 2 Bayan, Winayang (15), di rumahnya. Winayang berbakat di nomor 3K, 5K, dan 10K. Namun, di kampungnya, ia tidak memiliki pelatih dan fasilitas latihan memadai.
Karena sayang dengan bakatnya, Ali mengajak Winayang tinggal bersama keluarganya agar mendapatkan pelatihan lebih memadai. ”Kami memantau Winayang ketika ia ikut latihan yang diselenggarakan PASI Lombok Utara,” ujar Ali yang bersama Rosida masuk sebagai pengurus PASI Lombok Utara sejak 2015 atau setelah mengorbitkan Sudirman Hadi.
Rosida dan Ali memberikan pelatihan tiga kali seminggu di tempat seadanya karena memang tidak ada fasilitas atletik memadai di Lombok Utara. Mereka biasa melatih di halaman sekolah, lapangan bola, pantai, atau bukit. Empat bulan terakhir, Ali membangun tempat latihan di halaman rumahnya, seperti lintasan lari dengan panjang keliling 50 meter dan bak lompat jauh dilengkapi lintasan lari sepanjang 25 meter.
Ali membangun bak lompat jauh itu dengan biaya Rp 900.000 dari kantong pribadinya. Tanpa dipungut biaya, pada 28 April lalu, fasilitas yang dibangun Ali itu digunakan untuk Olimpiade Olahraga Siswa Nasional (O2SN) tingkat kabupaten.
”Sekarang, cita-cita saya membuat tempat latihan loncat tinggi di tengah halaman rumah. Tetapi, rencana itu belum tercapai karena saya belum ada uang,” ujar Ali yang juga sering memberikan kelas motivasi kepada anak-anak kampung setiap hari Minggu.
Segala upaya Rosida dan Ali itu lama-lama diketahui publik, salah satunya lewat prestasi Zohri. Berkat itu, Rosida diberi beasiswa ikut pelatihan lisensi pelatih level satu nasional oleh pemerintah daerah pada 2018. Ia juga mendapat sejumlah penghargaan dan hadiah dari pemerintah daerah, pusat, hingga swasta atas jasanya menemukan bakat Zohri.
”Ini semua bonus. Bagi kami, melihat anak-anak itu bisa menjadi atlet dan berprestasi saja sudah sangat senang,” pungkas Rosida.
Rosida
Lahir: Desa Jotang, Kecamatan Empang, Sumbawa, NTB, 12 Februari 1972
Pendidikan: Fakultas Pendidikan dan Kesehatan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Mataram 1991-1995
Muhammad Ali
Lahir: Desa Pemasar, Kecamatan Maronge, Sumbawa, NTB, 24 November 1970
Pendidikan: Fakultas Pendidikan dan Kesehatan Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Mataram 1990-1994
Anak:
- Steffi Grafala Primadonalda (21)
- Sabrina Grafala Rosali (13)
- Muhammad Zaidan Gulinda (8)
- Muhammad Zaidan Gultop (3)