Agus Purwantoro Bertutur lewat Wayang Godhong
Sejak tahun 2010, Agus Purwantoro (60) memilih daun sebagai mitranya bertutur. Bersama daun, dia terus berkeliling, mendalang, dan menyebarkan kisah-kisah tentang kebajikan dan pesan tentang kehidupan.
”Bersama daun, saya seperti membawa sebuah misi kemanusiaan,” ujarnya, saat ditemui seusai menampilkan pentas wayang godhong bertajuk ”Ijo Royo-royo” di kompleks Badan Koordinasi Wilayah (Bakorwil) II Kedu, Kota Magelang, Sabtu (6/4/2019). Agus Purwantoro adalah anggota staf pengajar di Fakultas Seni Rupa dan Desain di Universitas Negeri Sebelas Maret Surakarta, yang aktif sebagai dalang wayang godhong (daun).
Agus intens pentas di banyak tempat, mulai acara di lingkup RT/RW, ruwatan atau bersih desa, hingga acara berskala internasional seperti Wayang Jogja Night Carnival. Tahun 2020, dia diundang untuk membuka sebuah ajang kesenian internasional di Thailand. Khusus untuk di lingkup kecil seperti RT/RW dan desa, dia tidak menarik bayaran, justru menawarkan diri untuk menampilkan pentas secara gratis.
Pentas wayang godhong berbeda dengan pentas wayang kulit, wayang purwa, atau pentas wayang lainnya. Agus tidak mengubah daun menjadi tokoh-tokoh wayang seperti Arjuna atau Sukrasana. Agus pun tidak mengambil cerita pewayangan Ramayana ataupun Mahabharata. Ia memilih isu-isu terkini dan menyesuaikannya dengan karakter setiap daun. Ia biasa membuat satu cerita baru untuk setiap pentas.
Dalam pentas Sabtu lalu, misalnya, Agus membangun narasi tentang perilaku konsumtif manusia. Ketika penjualan tanaman hias anthurium gelombang cinta melonjak, orang ramai-ramai berburu tanaman itu. Ketika ada informasi tentang khasiat daun kelor, orang berburu daun kelor.
Agus juga bertutur tentang beragam manfaat daun, termasuk daun gandul yang bisa mengempukkan daging. Menurut Agus, daun memang bisa ”disuruh” atau ”dimintai tolong” untuk menyehatkan atau menyelamatkan hidup manusia.
”Manusia bisa meminta tolong pada daun asalkan manusia mau merawat tanaman yang bermakna juga merawat kehidupan,” ujarnya.
Wayang mbako
Agus mulai menjadi dalang wayang godhong tahun 2010. Ketika itu ia sedang menyusun disertasi dengan obyek penelitian petani tembakau. Di tengah situasi yang menjepit petani seperti anjloknya harga tembakau, Agus berpikir bahwa wayang daun tembakau bisa menjadi media resistensi petani tembakau. Maka, ketika itulah, Agus menampilkan daun tembakau dalam pentas wayang godhong.
Dengan membawa dan menggoyang-goyangkan daun tembakau, Agus bercerita tradisi menanam tembakau yang sudah dilakukan turun-temurun dan kearifan lokal terkait tembakau lainnya. Sejak saat itu, Agus intens menggelar pentas wayang godhong.
Petani tembakau menyukai pentas itu karena dianggap membela mereka. ”Mereka, para petani itu, kemudian menyebutnya bukan wayang godhong, melainkan wayang mbako,” ujarnya.
Seiring waktu, Agus pun menambah variasi daun yang dipakai. Daun tembakau tidak lagi menjadi daun yang wajib dibawa. Setiap pentas, dia bisa membawa 25 jenis daun berbeda. Di atas pentas, ia ceritakan manfaat setiap daun satu per satu.
Sekalipun yang dipentaskan adalah cerita karangan sendiri, bukan berarti kisah itu dibuat asal-asalan. Seminggu sebelum pentas, Agus biasanya sudah melakukan riset terlebih dahulu. Dia biasanya mencari informasi apakah di daerah yang menjadi lokasi pentas ada mata air atau tidak, apakah ada situs, makam keramat, dan apa profesi mayoritas warga di sana. Hasil riset itulah yang kemudian dikolaborasikan dengan cerita tentang manfaat daun-daun yang dibawa.
Seiring dengan kebutuhan dan semakin tingginya intensitas pentas, Agus pun terus memperdalam pengetahuannya. Kini, dia sudah memiliki pengetahuan dan informasi menyangkut karakter dari ratusan daun. Semua informasi itu diperoleh dari warga, sesepuh, dan tokoh masyarakat di desa-desa.
Pentas wayang godhong biasanya hanya diisi oleh Agus yang menggoyang-goyangkan dan bertutur tentang daun. Dia tidak pernah melibatkan alunan irama terabuhan atau gamelan. Agar pentas lebih hidup, dia berkolaborasi dengan ragam kesenian lainnya, seperti pentas kesenian wayang kulit, kesenian jathilan, atau kuda lumping.
Arti daun
Sejak kecil, Agus memang menyukai seni. Sejumlah kerabatnya memang seniman. Pamannya, misalnya, berprofesi sebagai dalang. Karena itu, dunia kesenian sudah tidak asing bagi Agus. Saat masih duduk di bangku SD, Agus sudah mencoba-coba membuat dan memainkan wayang menggunakan daun singkong. Kini, di usianya yang menua, dia pun kembali pada daun.
Agus sengaja memilih daun sebagai sarana bertutur karena daun begitu lekat dengan keseharian dan tradisi di masa lalu. Begitu banyak cerita keraifan lokal pun terkait dengan daun. Salah satunya adalah kebiasaan masyarakat Jawa masa lalu saat menggelar hajatan. Mereka kerap memakai empat jenis daun berbeda di tempat beras yang masing-masing mewakili doa dan harapan dari hajatan yang tengah dilaksanakan. Pemakaian daun menunjukkan totalitas dan kesungguhan warga dalam berdoa.
Dengan menceritakan semua fungsi dan manfaat daun, dia berharap dapat membangkitkan rasa sayang dan kecintaan masyarakat terhadap daun dan tumbuhan yang ada di alam. ”Saya berupaya membangkitkan kesadaran bahwa setiap orang bisa membangun relasi, simbiosis yang saling menguntungkan dengan daun dan tumbuhan,” ujarnya.
Seiring dengan itu, dia pun berkeinginan agar cerita-cerita yang disampaikan perlahan dapat menumbuhkan rasa cinta terhadap lingkungan serta kepedulian mendalam terhadap kelangsungan hidup tanaman. Sebelum melakukan di alam lingkungan yang lebih luas, dia berharap orang terlebih dahulu peduli untuk merawat tanaman di rumahnya. Jangan biarkan tanaman mati begitu saja.
Agus Purwantoro
Lahir: Temanggung, 13 Agustus 1958
Istri : Rina Setyaningsih (54)
Anak :
- KA Rarasasri (34)
- Panji J Anggono (32)
- Sekar Titis Gumilang (29)
- Pandu Bagas Setyaji (26)
- Dadun Tanggon Wisanggeni (23)
Pendidikan terakhir: S-3 Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta
Alamat e-mail : goespoer206@gmail.com