La Asiru Menuturkan Wakatobi
La Asiru seperti sosok yang tak pernah kehabisan cerita. Setiap topik diladeni dengan memberikan cerita-cerita majas serta pengalaman hidupnya. Dari tutur dan kemampuannya bercerita, lelaki yang kembali ke Wakatobi setelah kerusuhan Maluku 1999 ini memberikan nasihat dan masukan demi penyelamatan manusia dan laut.
Ditemui menjelang maghrib, Senin (28/1/2019), di Desa Kulati, Tomia, Wakatobi, Sulawesi Tenggara, La Asiru yang umumnya disapa Patua, yang berarti sosok yang dituakan, baru pulang dari memimpin doa di rumah tetangganya. Lantaran basah diguyur hujan sore itu, kemeja batik biru ia ganti dengan pakaian berwarna putih.
Istrinya, Wa Nina (60), serta anak bungsunya, La Hanafi, serta sejumlah kerabat menemani perbincangan hari itu bersama rombongan Yayasan Konservasi Alam Nusantara (The Nature Conservancy). Beberapa buah mangga juga disajikan beserta minuman swa-layanan, lengkap dengan gelas, kopi bubuk, gula, dan termos berisi air panas.
Ia mulai bercerita dari pengalaman hidupnya sebagai ”pelarian” kerusuhan Maluku tahun 1999. Ia yang saat itu tinggal di Tual tak pernah menyangka kerusuhan itu bakal menjalar dari Ambon hingga ke tempat tinggalnya.
”Di Tual itu orang Kristen dan Islam hidup bagus dan sudah seperti adik-kakak. Tidak pernah saya duga dari Ambon bisa sampai ke Tual,” kata La Asiru.
Saat kerusuhan terjadi, La Asiru yang bekerja sebagai nelayan dan jutawan pengepul ikan tak memiliki modal apa pun. Seluruh uangnya telanjur dibelanjakan ikan teri untuk dikirim ke Surabaya dan kota-kota lain.
Ia terpaksa mengungsi bersama 10 orang keluarga dan kerabatnya dengan menggunakan perahu layar. Hingga kemudian perjalanan yang mengandalkan angin laut selama dua pekan itu mengantarkannya kembali ke Tomia, tanah kelahiran yang ditinggalkannya sejak tahun 1978, saat berusia 35 tahun.
La Asiru berhasil sampai ke Tomia meski hanya naik perahu. Pengalamannya bekerja sebagai juru mudi kapal barang membuatnya percaya bisa melintasi laut. Sejak tahun 1960-an ia telah berlayar sampai Manado, Jawa, dan Papua (dulu Irian) hingga berdagang secara ilegal ke Filipina.
”Di Filipina saya tak berani masuk kota karena penyelundup bisa kena tangkap. Saya tukar semua uang peso dengan emas,” katanya.
Di Tomia yang ditinggalkannya selama 20 tahun, ia tinggal di para-para atau rumah sementara di pinggir pantai. Para-para yang dimaksudnya berupa gubuk setinggi 1,5 meter beratap daun pandan atau pelepah kelapa. Rumah ini biasanya digunakan nelayan setempat di masa lalu sebagai tempat persinggahan selama beberapa hari. Maklum saja, di waktu lalu, nelayan hanya mengandalkan kekuatan angin untuk menggerakkan kapal layar sehingga membutuhkan waktu berhari-hari hingga berpekan-pekan untuk memburu ikan.
Gubuk sempit
Di para-para yang sempit itu ia tinggal bersama istri dan anak-anaknya. Mengisi hari-harinya, La Asiru mengolah tanah untuk berkebun jagung serta membangun perahu sederhana untuk menangkap ikan. Bahan-bahannya berasal dari kayu bekas kapal atau kayu bekas bangunan yang tak lagi digunakan pemiliknya.
”Waktu perahu jadi, anak saya menyindir, wah Bapatua biking kapal seperti orang juga,” katanya, terkekeh mengenangnya. Tahun 2001, ia dan keluarganya yang terdata sebagai korban pengungsi kerusuhan Maluku mendapatkan santunan Rp 3,5 juta dari pemerintah. Istrinya menginginkan uang itu digunakan untuk membangun rumah layak yang tak berlantai tanah seperti para-para yang ditempatinya selama ini.
Namun, menurut La Asiru, uang segitu tak cukup untuk membangun rumah. Tambahannya masih terlalu besar. Ia mengambil keputusan uang digunakan untuk membeli mesin perahu yang saat itu harus dibeli di Baubau, kabupaten induk sebelum Wakatobi mekar menjadi daerah otonom tahun 2003.
Waktu perahu jadi, anak saya menyindir, wah Bapatua biking kapal seperti orang juga.
”Dengan beli mesin perahu, saya bisa melaut lebih jauh untuk menangkap ikan,” ceritanya. Ia masih ingat harga mesin kapal berkekuatan 22 PK saat itu Rp 1,9 juta. Sisanya dibelikan cat untuk melapisi badan perahu buatannya.
Terus terang, La Asiru mengaku perahu itu digunakan untuk mengangkut pasir laut yang ketika itu belum menjadi kegiatan terlarang. Selain itu, Taman Nasional (TN) Wakatobi baru saja dibentuk sehingga minim pengawasan.
Ketika TN Wakatobi telah ditetapkan, La Asiru mulai terpanggil untuk terlibat penuh. Ia mengaku mulai tersentuh untuk mendukung kegiatan pelestarian lingkungan sejak tinggal di Seram, Maluku.
Pengakuan lainnya, La Asiru pernah menjadi pembalak kayu-kayu besi di situ untuk dikirim ke sejumlah daerah. Ia melihat sendiri pohon yang hanya bisa dipeluk oleh dua orang ketika ambruk dilumat gergaji mesin mengakibatkan pepohonan sekitarnya ikut ambruk.
”Kayu-kayu lain habis juga, bukan hanya kayu yang saya ambil. Satu lokasi yang luas jadi terang. Saya jadi mikir, kapan lagi dapat kayu yang besar seperti ini. Lalu, saya berhenti (dari juragan kayu) dan menjadi nelayan,” katanya.
Ketika Balai Taman Nasional Wakatobi berproses menyusun zonasi baru, ia aktif terlibat sebagai perwakilan nelayan. Berbekal cerita yang dikarangnya, La Asiru terus diajak dalam pertemuan-pertemuan terkait dengan rencana pengelolaan Wakatobi.
Guci naga
Satu cerita yang paling tersohor tentang Guci Naga. Ia menceritakan warisan guci naga antik yang dimiliki masyarakat setempat. Akibat kemiskinan, guci naga itu dijual dan uangnya dibagi kepada masyarakat. Namun, setelahnya masyarakat kembali miskin.
Akan lebih baik jika guci naga itu tidak dijual dan menjadi pajangan yang menarik orang untuk melihat dan membayarnya. Guci naga itu merupakan alam laut Wakatobi yang indah.
Apabila demi mencari ikan sebanyak-banyaknya perairan dibom, akhirnya laut akan rusak dan ikan menghilang. Dampaknya masyarakat akan kelaparan.
”Begitulah manfaat taman nasional, laut ini dijaga. Banyak orang melihat, kita dapat manfaat,” kata La Asiru yakin.
Cerita lain yang dibuatnya soal Kodok Membunuh Raja. Cerita ini berkisah tentang kodok yang dengan bantuan lipan (kaki seribu), ular, dan harimau bisa membunuh raja yang berencana membinasakan kodok.
Ia mengibaratkan kodok adalah masyarakat asli yang tinggal di Wakatobi jauh sebelum raja (penguasa/pemerintah) menjadikan taman nasional ataupun investor yang menjadikan tempat hidup masyarakat sebagai area privat/resor. Namun, jika raja menjadikan tempat tinggal masyarakat ini sebagai taman nasional dengan mengusir masyarakat, perlawanan bisa datang dari masyarakat.
La Asiru mengatakan, inspirasi cerita biasanya muncul saat mengikuti pembahasan masalah di sekitar wilayah Wakatobi. ”Dari cerita-cerita seperti itu, saya dibebaskan ikut pertemuan di tingkat kabupaten, pusat, dan di mana pun,” katanya. Sampai kini, Patua, yang sudah berusia 76 tahun ini, masih terus bersemangat membagi kisah dan cerita-cerita bagi siapa pun yang ingin mendengarnya. Ia mungkin tukang cerita yang tak pernah kehabisan ide selama Taman Nasional Wakatobi terus berusaha mempertahankan dirinya....
La Asiru
Lahir: Kulati, 1 Juli 1943
Istri: Wa Nina (60)
Anak: Wa Suburdiati, Wa Sulastri,
La Harjono, Wa Sufinarti, La Hanafi
Pekerjaan: Nelayan
Kegiatan: Penasihat Komunitas Nelayan Tomia (Komunto)