Rizka Raisa Melawan Kekerasan Lewat Komik
Rizka Raisa Fatimah Ramli masih remaja. Namun, ia aktif berkampanye melawan kekerasan dan perundungan bersama teman-teman sekolahnya. Ia juga merancang tokoh komik Cipta yang membawanya menjadi juara lomba komik internasional yang diselenggarakan badan PBB, Unicef. Ia menyingkirkan sekitar 3.600 naskah komik dari 130 negara.
Proses seleksi hingga penentuan juara berlangsung ketat. Dari 3.600-an komik yang masuk, tim juri memilih 10 terbaik. Ke-10 komik ini kemudian dipilih melalui situs untuk mendapatkan pemenang. Tokoh Cipta yang diciptakan Raisa mendapat suara terbanyak dari sekitar 23.000 suara yang masuk.
Saya membuat Cipta untuk menarik perhatian pada kekerasan dan perundungan yang dihadapi anak-anak di Indonesia dan di seluruh dunia
”Saya membuat Cipta untuk menarik perhatian pada kekerasan dan perundungan yang dihadapi anak-anak di Indonesia dan di seluruh dunia setiap hari. Saya melihat, banyak orang, terutama anak-anak atau remaja, melihat, mengetahui, atau mengalami kekerasan dalam berbagai bentuk, tapi mereka diam karena takut untuk bicara,” ujar Rizka, Sabtu (5/1/2019), di Makassar, Sulawesi Selatan.
Ia berharap bisa menginspirasi banyak orang, terutama anak-anak, untuk menceritakan kisah mereka. Jika mereka tidak bisa mengatakannya secara langsung, mereka bisa berbicara melalui gambar. Cipta, karakter sekaligus tokoh utama dalam komik karya Rizka, adalah pahlawan super yang dikisahkan memberi anak-anak buku sketsa untuk menggambar benda-benda yang kemudian hidup dan menghentikan kekerasan serta intimidasi.
Menurut keterangan pihak Unicef Perwakilan Indonesia, setelah dinyatakan sebagai pemenang, Rizka akan berkolaborasi dengan tim profesional untuk menghasilkan buku komik lengkap yang menampilkan Cipta. Nanti, komik itu akan dipamerkan kepada para pemimpin dunia di Forum Politik Tingkat Tinggi tentang Pembangunan Berkelanjutan di Markas PBB, New York, pada Juli 2019, serta didistribusikan ke sekolah-sekolah dan anak-anak di seluruh dunia.
Lomba komik, yang diselenggarakan Unicef bekerja sama dengan Comic Uniting Nations, ini memang mengajak anak-anak dan remaja untuk menciptakan tokoh komik pahlawan super guna mengalahkan The Silence, karakter supernatural yang menggunakan kekuatan untuk menghentikan anak-anak yang ingin melawan kekerasan di sekitar lingkungan mereka.
Saat ditemui di salah satu mal di Makassar, seperti banyak remaja lain, pelajar SMAN 2 Makassar, kelas IX IPA ini, menghabiskan Sabtu sore untuk nongkrong. Ke mana pun pergi, dia selalu membawa buku kecil dan pensil.
Saat bosan atau melihat sesuatu yang menurut dia menarik, dia mengeluarkan buku kecil itu. Dia kemudian membuat sketsa atau gambar apa pun. Sesampai di rumah, sketsa itu dilengkapi atau dijadikan cerita bergambar.
”Saya mulai suka menggambar saat masih SD, tapi dulu lebih banyak menggambar binatang. Awalnya, saya berpikir itu sekadar suka dan tak pernah berpikir bahwa saya juga punya bakat,” katanya.
Rizka berkisah, saat masih duduk di SMP, sering kali tugas-tugas sekolahn diselesaikan dengan gambar ilustrasi atau komik. ”Biasanya tanpa sadar saat saya sudah tidak tahu mau menulis apa atau malas menulis kalimat, saya tiba-tiba menjelaskan lewat gambar. Jadi, lembar jawaban pada tugas-tugas atau ulangan kadang bercampur antara kalimat dan gambar. Ada guru yang bisa menerima, ada juga yang tidak,” kata bungsu dari empat bersaudara ini.
Peristiwa masa kecil
Semangat Rizka melawan kekerasan dan perundungan tak hanya disuarakan melalui komik, ilustrasi, atau berbagai gambar lain. Dia juga kerap berkampanye dalam lingkungan kecil di kalangan teman-temannya.
Kegeraman Rizka terhadap kekerasan dan perundungan serta upaya membungkam orang untuk bersuara tak lepas dari peristiwa masa kecilnya. Dia tak secara gamblang menjelaskan perihal yang dia alami. Namun, dia mengingat betul bagaimana sakitnya saat dia berusaha menjelaskan peristiwa kekerasan secara mental yang dialami, tapi tidak ada yang mau mendengarkan.
Saya masih SD waktu itu dan berusaha berbicara tentang apa yang saya alami, tapi tak ada yang mau mendengar
”Saya masih SD waktu itu dan berusaha berbicara tentang apa yang saya alami, tapi tak ada yang mau mendengar. Mereka bahkan menyebut saya bohong dan tidak pantas berbicara karena saya masih kecil,” katanya.
Peristiwa kekerasan dan perundungan juga kerap dia alami bersama rekan-rekan saat masih SMP. Bersekolah di sekolah yang terbilang elite, Rizka dan rekan-rekan kerap dilempari batu dan mendapat bahasa kasar dari pelajar sekolah lain, tak jauh dari sekolahnya. Rizka akhirnya mencurahkan perasaan melalui coretan gambar ilustrasi ataupun komik. Kerap dia berbicara kepada sahabat yang mau mendengarkan.
Beruntung pengalaman-pengalaman itu tidak membuat Rizka terpuruk. Dia justru sering menyampaikan kepada teman-teman untuk melawan dengan cara melaporkan kekerasan yang dialami atau disaksikan.
”Saya selalu bilang, jika mengalami atau menjadi saksi suatu peristiwa kekerasan, carilah teman untuk berbicara. Orang-orang yang dijadikan teman cerita hendaknya mendengarkan dan bukan menertawai. Sebisa mungkin melaporkan apa yang dialami atau dilihat. Kalaupun enggan melapor dan tak ada yang mendengarkan, tuliskan atau tuangkan dalam bentuk gambar,” katanya.
Tentang kesukaan dan bakatnya menggambar, bagi Rizka, kini tak lagi sekadar curahan hati. Sejak masuk SMA, dia kerap mengisi waktu senggang dan libur dengan menerima pesanan membuat ilustrasi atau komik. Bahkan, pemesan banyak dari luar negeri.
”Apa yang saya lakukan, termasuk menjadi juara Unicef, setidaknya bisa jadi pembuktian bahwa menggambar bukan hanya media berkomunikasi dengan cara lain atau berkampanye, melainkan juga bisa membuat saya produktif secara ekonomi.
”Saya ingin meraih impian masa depan melalui komik dan ilustrasi,” kata Rizka yang bercita-cita melanjutkan pendidikan ke Institut Seni Indonesia, Yogyakarta.
Rizka Raisa Fatimah Ramli
Lahir: 22 Januari 2001
Ayah: Ramli Rajulang
Ibu : Husniati Usamah
Pendidikan
- SD Athirah, Makassar
- SMP Al Azhar, Makassar
- SMAN 2 Makassar.