Siti Mariam adalah mantan tenaga kerja Indonesia (TKI). Ia tahu benar bahwa sebagian besar TKI tidak punya kebiasaan membaca, termasuk membaca dokumen yang diperlukan untuk bekerja di luar negeri. Akibatnya, sebagian dari mereka menghadapi masalah. Bersama suaminya, Stevi Yean Marie, Siti berupaya mengatasi hal itu lewat gerakan literasi dan pemberdayaan ekonomi.
Dulu, Siti (52) adalah pengusaha yang memiliki empat toko di Pasar Wonosobo. Namun, tahun 1995 kehidupannya berbalik 180 derajat, setelah toko-tokonya ludes dalam kebakaran. Ia tak punya sumber penghasilan lagi. Karena itu, tahun 1996, ia berangkat ke Hongkong. Bekerja sebagai TKI menjadi jalan tercepat bagi Siti untuk mendapatkan uang. Sebagian uang itu ia gunakan untuk membayar utang dan menutup kerugian akibat kebakaran yang jumlah totalnya saat itu Rp 20 juta.
Dia sempat pindah ke Taiwan, lalu kembali ke Hongkong. Di Hongkong, dia dan sejumlah pekerja rumah tangga lainnya terhubung dengan satu kelompok sastra. Dari situlah, hobi menulis yang dijalani sejak SMP berkembang. Ia menulis sejumlah cerpen yang diterbitkan sejumlah surat kabar berbahasa Indonesia yang ada di Hongkong. Ia juga menulis puisi yang ia publikasikan melalui situs pribadi.
Tahun 2005, Siti memutuskan pulang ke rumah di Desa Lipursari, Kecamatan Leksono, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Pasalnya, anak-anaknya tidak mengizinkan dia kembali menjadi TKI. Di kampung, Siti mencoba berbisnis kecil-kecilan, tapi tidak berhasil.
Di tengah kesulitan hidup di kampung, Siti terus terkenang dengan kegiatan literasinya di Hongkong. Ia pun punya keinginan membuka sebuah perpustakaan. Ia mewujudkan keinginan itu tahun 2006 lewat. Ia dirikan sebuah perpustakaan kecil dengan koleksi 50 buku dari sumbangan teman-temannya, serta pemberian dari majikannya saat di Hongkong. Letaknya
Tahun 2007, Siti menikah dengan Stevi Yean Marie (41) yang dikenalnya tahun 2002 dalam pertemuan tak sengaja di bandara dan beberapa acara sastra. Stevie selanjutnya ikut terjun mengembangkan perpustakaan yang didirikan Siti. Perpustakaan itu diberi nama Istana Rumbia yang sekaligus dijadikan ruangkegiatan untuk TKI dan keluarganya.
Sejak awal Siti dan Stevie menargetkan TKI dan keluarga sebagai sasaran. Pasalnya, di Kabupaten Wonosobo banyak TKI. Salah satu kantong TKI yang besar adalah Desa Lipursari. Di sana jumlah buruh migran sekitar 140 orang.
Literasi TKI
Siti dibantu Stevie gigih membangkitkan semangat literasi di kalangan TKI, karena Siti tahu benar sebagian besar TKI tidak memiliki kebiasaan membaca, termasuk membaca dokumen yang diperlukan untuk berangkat bekerja ke luar negeri.
Karena desakan ekonomi, TKI kerap mengabaikan hal-hal penting. Asalkan bisa berangkat, mereka tidak peduli ketika PJTKI sengaja memalsukan dokumen dan data-data seperti umur dan nama
“Karena desakan ekonomi, TKI kerap mengabaikan hal-hal penting. Asalkan bisa berangkat, mereka tidak peduli ketika PJTKI sengaja memalsukan dokumen dan data-data seperti umur dan nama,” ujar Siti.
Dulu, Siti juga mengalami hal itu. Nama pada dokumen yang ia gunakan ketika berangkat ke Hongkong, adalah nama orang lain. Belakangan hal ini merepotkan Siti.
Selain mendorong TKI datang ke perpustakaan dan membaca, Siti juga rutin menggelar pertemuan dengan para TKI sebulan sekali. Dalam ajang itu, peserta berbagi apapun informasi terkait TKI yang diperoleh dari seminar, internet, atau dari organisasi buruh migran.
Siti dan Stevie setahun sekali menggelar Gebyar Literasi yang salah satu acaranya adalah cerdas cermat khusus untuk para TKI yang bekerja di Hongkong, Taiwan, dan Singapura. Dalam acara hasil kerja sama dengan Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Wonosobo ini, materi yang ditanyakan terkait hak dan kewajiban TKI, syarat-syarat untuk berangkat sebagai TKI, dan aturan perundangan terkait TKI. TKI harus menjawabnya dengan bahasa Inggris, Kanton, dan Mandarin.
Semula cerdas cermat itu hanya diikuti oleh kelompok TKI yang ada di Kabupaten Wonosobo. Kini pesertanya berkembang dan pernah diikuti kelompok TKI dari 12 kabupaten.
Tidak hanya itu, Siti dan Stevie sejak tiga tahun lalu, membuka kursus keterampilan membuat aneka olahan pangan. Hingga saat ini, jumlah TKI dan mantan TKI yang telah mengikuti kursus gratis tersebut mencapai sekitar 500 orang. Siti dan Stevie berharap, keterampilan itu menjadi bekal bagi TKI yang kembali ke kampung dan memulai hidup baru lagi.
Anak TKI
Siti dan Stevie juga menyasar anak-anak dari keluarga TKI. Mereka berdua secara aktif menarik anak-anak TKI untuk datang ke Istana Rumbia dan menikmati 7.000 koleksi buku di sana. Agar anak-anak TKI itu berminat membaca dan menulis, Siti dan Stevie memancing mereka dengan hadiah. Anak-anak yang datang membawa cerita karya mereka, diberi alat tulis.
Cara itu berhasil menarik minat orang untuk datang dan membaca buku. Bahkan, anak-anak dari desa tetangga pun berdatangan ke Istana Rumbia.
Melihat antusiasme warga cukup tinggi, Siti dan Stevie mengajak sekolah-sekolah yang ada di sekitar, untuk memanfaatkan Istana Rumbia sebagai tempat kegiatan sekolah seperti latihan menulis cerita.
Setiap akhir pekan atau hari libur, Siti juga menawarkan les gratis komputer, bahasa Inggris, Mandarin, dan Kanton. Pematerinya para mantan TKI.
Anak-anak TKI tidak melulu harus mengikuti jejak orangtuanya menjadi TKI
Semua program itu, kata Stevie, diharapkan dapat memberi pencerahan kepada anak-anak TKI dan warga bahwa kalau mereka berpendidikan, mereka bisa menekuni profesi apa saja nantinya. "Anak-anak TKI tidak melulu harus mengikuti jejak orangtuanya menjadi TKI,” tegas Stevie.
Gerakan literasi yang dikembang Siti dan Stevie, mulai ditularkan ke daerah-daerah lain. Saat ini, mereka mendampingi warga di enam desa lainnya untuk mendirikan perpustakaan kecil di desa masing-masing. Siti dan Stevie menyumbang 100 buku ke masing-masing perpustakaan desa itu. Mereka percaya, lewat gerakan literasi, masa depan akan lebih cerah.