Lakon Hidup Si “Puang Merdhu”
Segelintir orang terlahir untuk hidup berkesenian, dan Andi Bahar Yusuf (54) salah satunya. Sejak melihat pentas rakyat saat masih ingusan, dia yakin suatu saat akan tampil di panggung dan berkarya. Dari menggagas Sandiwara Petta Puang hingga Grisbon, dari gang kecil hingga panggung megah dia mentas. Namun, katanya, “saya bukan siapa-siapa dan tidak berbahaya.”
Berbilang hari sebelum hari kemerdekaan Indonesia yang ke-73 tiba. Andi Bahar Yusuf, yang lebih dikenal dengan nama Bahar Merdhu, sibuk mengoordinir puluhan bocah di kompleksnya, di Griya Barombong, Gowa, Sulawesi Selatan. Di kompleks perumahannya itu, dia mengatur anak-anak tetangganya yang akan mengikuti lomba yang dia gagas.
Sehabis lomba baca puisi, dia melanjutkan dengan lomba akting. Konsepnya sederhana, para bocah itu itu diberikan tantangan untuk berakting sedih, kesal, gembira, dan lain-lain. Para bocah senang, dan kembali “nagih” keesokan harinya,
“Ayo om, lomba apami lagi?” cerita penyuka Bob Dylan dan segala jenis aliran Dangdut ini menirukan rengekan para bocah.
“Saya ajak mereka bermain drama. Jadi saya ambil papan lalu suruh anak-anak teriakkan kata-kata. Nanti dirangkai dan menjadi judul. Ceritanya mereka bikin sendiri, ramai pokoknya.”
Di teras rumahnya yang teduh dan dipenuhi buku, Bahar bercerita saat menggagas rangkaian kegiatannya menyambut peringatan hari kemerdekaan RI ke-73 di kompleks tempat tinggalnya, Griya Barombong. Selain sebagai ketua Rukun Tetangga, namanya sudah tidak asing lagi untuk menggelar acara bagi warga.
Sejak 2009 lalu, dari nama kompleksnya itu, dia membentuk Grisbon, atau Griya Seni Barombong. Anggotanya adalah anak-anak kompleks, rerata yang duduk di bangku SMP atau SMA. Beberapa di antaranya masih SD atau telah di bangku kuliah.
“Awalnya itu pas mau 17-an juga. Saya ajak anak-anak untuk bikin drama dan mentas di kompleks,” tutur pengagum Almarhum Benyamin S ini.
Kegiatan itu terus berlanjut. Dia mengajak anak-anak tetangga ini untuk terlibat dan berperan. Ikut mentas dan berseni peran. Latihan rutin diadakan memanfaatkan lahan kosong di kompleks, atau teras rumahnya. Dari latihan dasar, hingga kemampuan anak-anak terasah, Bahar mengajak mereka pentas ke banyak tempat.
Seperti mengasah besi menjadi pedang tajam, Bahar mengusap bakat anak-anak ini menjadi grup penampil yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Di 2013, pada Festival Nasional Teater Remaja, Grisbon dianugerahi aktor utama terbaik, penyajian terbaik, serta sutradara terbaik. Pada 2015, di Festival Nasional Teater Anak, selain menjadi penyaji terbaik, sutradara terbaik juga diraihnya. Terakhir pada 2017 lalu, mereka terpilih untuk tampil di Pekan Teater Nasional di Yogyakarta.
Tahun lalu, awal Agustus, mereka pentas mandiri di Gedung Kesenian Makassar selama dua hari. Meski dibalut komedi, naskah mereka berjudul “Perubahan Cuaca” banyak menyingkap deru perubahan yang terjadi di nusantara. Angin kencang dan badai adalah perumpamaan dahsyatnya tantangan yang dilalui bangsa ini.
Orang dengan gampang saling menyalahkan, dan tidak mau mendengar pendapat orang lain
“Saya gelisah dengan kondisi ini,” ungkap Bahar dengan kening berkerut. “Orang dengan gampang saling menyalahkan, dan tidak mau mendengar pendapat orang lain. Di teater, saya tanamkan anak-anak untuk saling menghargai, saling mengasihi.”
Suaranya mendadak pelan. Tidak merdu. Sosok seorang Bahar yang terkenal kocak, ceria, dan lihai membuat cerita yang satire nan mengocok perut, tidak tampak. Namun, dia optimis dengan masa depan. Dia terus menanamkannya dengan jalan yang telah dia pilih.
Petta Puang
Jauh sebelum kelompok teater Grisbon lahir, jejak langkah Bahar menjadi seorang penampil yang melanglang buana, terlebih dahulu menetas lewat Sandiwara Petta Puang. Sebagian besar masyarakat di Sulawesi Selatan, berumur 30-an ke atas pastilah mengenal nama ini. Sandiwara yang kocak dengan tema lokal yang kental Bugis-Makassar ini rutin diputar di televisi dan radio era 90-an hingga pertengahan 2000-an. Dia adalah penulis naskah, sutradara, juga pemain di kelompok ini. Kelompok sandiwara yang masih eksis hingga sekarang.
Sandiwara Petta Puang laris bak kacang goreng. Mentas di mana-mana. Dari gang Kecil berlumpur, hingga hotel paling mewah di Makassar. Dari pesta desa di pelosok kabupaten, hingga rumah jabatan Gubernur. Dari upah Rp 50.000 hingga puluhan juta pernah dirasakan kelompok sandiwara ini.
Saya sampai tidak ingat sudah bikin berapa naskah untuk Petta Puan
Tema lokal yang up to date, dan ramai dibincangkan, penuh kritik, namun bisa diterima di banyak tempat menjadi ajiannya. Komedi yang segar adalah bungkusannya. Dia mengandaikan naskah Petta Puang seperti silet yang tidak mengiris. Fenomena orang yang baru pulang berhaji, orang tua yang sok tahu, atau tradisi uang Panai’ yang mencekik dibahasnya. Masih ada ratusan naskah lagi yang telah dibuatnya.
“Saya sampai tidak ingat sudah bikin berapa naskah untuk Petta Puang,” tutur Bahar.
Namun, dia masih mengingat jelas asal mula nama Petta Puang ini. Saat itu, awal 1992, dia telah menjalankan kelompok teater Mekar Buana. Sebuah kelompok teater yang dia gagas bahkan ketika masih duduk di bangku SMA.
Saat itu, Bahar dan kelompoknya mendapat tawaran untuk pentas di sebuah desa di Kabupaten Bone, sekitar 4 jam berkendara dari Makassar. Lagi-lagi menyambut hari kemerdekaan RI. Wilayah itu adalah kampung halaman orang tuanya yang kental dengan tradisi.
“Kami mau pentas dengan salah satu tokoh orang tua yang arogan dan keras kepala. Pokoknya dia yang benar dan harus didengar. Awalnya namanya Pak Ibrahim, tapi karena di sana orang panggil ‘Puang’ untuk yang dituakan dan bangsawan, akhirnya kami ganti. Terus dengan orang panggil Petta juga, jadi digabung saja,” cerita Bahar terkekeh. Petta dan Puang adalah sebutan untuk orang dengan status bangsawan di daerah Bugis.
Dari situ, nama dan karakter Petta Puang melekat. Kembali ke Makassar, bersama rekan-rekannya dia menginisiasi Teater Rakyat Petta Puang. Kerjaannya adalah tampil di pesta kawinan, acara kelurahan, dan bermacam kegiatan kampung lainnya. Mereka menjalankannya dengan senang hati, meski tanpa bayaran. Atau, dibayar dengan makanan pun mereka syukur.
Tujuannya adalah membawa teater ke kampung-kampung dan dinikmati masyarakat luas. Selain itu, juga menguji kematangan mereka tampil di atas panggung. Dari situ mereka menapak jalan ke arah yang lebih luas hingga dikenal dimana-mana.
Untuk pulang
Kemampuan Bahar mengolah kata menjadi naskah, mengatur gerak menjadi bahasa, dan menyulam nada menjadi irama, serta menyatukan semuanya di atas panggung, bukanlah hadir tiba-tiba. Dia memulainya dengan pergulatan dan pengorbanan yang tidak sedikit. Selain teater, dia juga pandai berpuisi dan menulis sajak. Buku puisinya telah terbit beberapa tahun lalu.
Bahar yang tumbuh hingga SMP di Jakarta, di wilayah Tanjung Priok dan sekitarnya, menjalani hari dengan tangguh, dan lebih ke bengal. Sering bolos dan beberapa berkelahi, membuatnya takut pulang ke rumah. Apalagi, ayahnya mendidik dengan keras. Dia sering menginap di tempat temannya, dan bekeliaran kesana-kemari. Sejak SD dia terbiasa menjual koran di Stasiun Tanjung Priok. Hasil jualan koran bukan dipakai untuk macam-macam, tetapi untuk menyewa atau membeli buku. Bahar kecil tergila-gila dengan buku, utamanya komik.
Dia rutin menonton wayang, pentas drama, orkes dangdut, atau tradisi Betawi. Hingga suatu waktu, dia diajak rekannya untuk menonton dangdut di Pasar Seni Ancol. Sejak saat itu dia terbiasa datang dan berlama-lama di tempat berkumpulnya seniman top masa itu. Di situ dia bertemu Iwan Fals, Doel Sumbang, hingga melihat Rendra berpuisi.
Saya tulis, Bahar Merdu. Biar disangka bagus. Pas dipangil saya kabur, ha ha
Suatu ketika, saat ada pertunjukan, dia dengan usil memasukkan namanya sebagai penampil. “Saya tulis, Bahar Merdu. Biar disangka bagus. Pas dipangil saya kabur, ha ha,” ceritanya. dia tahu suaranya tidak merdu. Dari situ nama Merdhu melekat di namanya, dengan variasi tambahan huruf H.
Satu hal yang membuatnya paling betah di Pasar Seni tersebut karena juga ada toko buku. Memasuki SMP, dia menjadi caddy di lapangan Golf, Ancol. Duitnya lagi-lagi dibelikan buku. Sebuah buku yang banyak mengubah hidupnya adalah Orexas, karangan Remy Sylado. Naskah pertamanya saat SMA berjudul Salah Jalur sedikit banyak diilhami dari buku ini.
Dari melahap segala jenis bacaan, menonton banyak pentas dan pertunjukan, dia bisa menerjemahkan konteks kekinian dalam drama yang segar. Lihatlah beragam nashkah drama yang pernah dibuatnya; Fatta Mencari Fakta, Buah Semangka & Putri Jelita, Mencari Scorlet Yang Bermain dengan Sendok dan Garpu, Passompe’, Ucok Sitorus, dan banyak lagi.
“Teater itu seperti rumah, tempat kita pulang. Kemanapun pergi, saya pasti merindukan rumah itu,” ujarnya.
Andi Bahar Yusuf, atau Bahar Merdhu
Lahir,: Makassar 1964
Aktivitas dan Prestasi:
- Pendiri Sandiwara Petta Puang dan Grisbon
- Sutradara Terbaik Festival Teater Nasional 2013 2014, 2015
- Sutradara Terbaik Festival Nasional Teater Anak 2015
- Peraih Celebes Award bidang Teater 2004
- Penulis buku puisi: Tak Sengaja Jatuh Cinta dan Aku Perempuan