Hanifan Yudani Kusumah, Darah Petarung Pesilat Kampung
Berselimut bendera Merah Putih, pesilat Hanifan Yudani Kusumah berlari ke tribune VIP Padepokan Pencak Silat TMII, Jakarta, Rabu (29/8/2018) sore. Setelah dipastikan menang dalam babak final pencak silat kategori tanding kelas C putra Asian Games 2018, ia segera memeluk Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Pencak Silat Indonesia Prabowo Subianto secara bergantian.
Namun siapa sangka, saat masih di pelukan Prabowo, tiba-tiba ia menarik lengan Joko Widodo, yang memang tengah duduk bersebelahan dengan Prabowo. Ketiganya pun berpeluk erat.
Gelanggang pencak silat pun serasa mau runtuh karena riuh rendah teriakan penonton yang menyaksikan adegan tersebut. Rasa bangga dan haru bercampur jadi satu. Bukan hanya karena emas ke-29 yang dipersembahkan Hanifan bagi Indonesia, tetapi juga berkat keberanian menyatukan tokoh nasional yang berseberangan secara politik. Pelukan Hanifan memang hanya lima detik, tetapi ingatan bangsa tidak akan luntur.
Selain Joko Widodo dan Prabowo, saat itu hadir Presiden Kelima Republik Indonesia sekaligus Ketua Umum PDIP Megawati Soekarno Putri, Wakil Presiden Jusuf Kalla, dan Menko Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan Puan Maharani dan sejumlah pejabat lain, termasuk tokoh parpol.
Hanifan merasa, masyarakat selama ini terbelah oleh pilihan politik. Di dunia maya, ia sering menemukan pertengkaran karena persoalan tersebut. Oleh karena itu, ia tak perlu pikir panjang ketika kedua tokoh politik nasional itu berada di hadapannya. Dengan penuh percaya diri, ia membuktikan bahwa seluruh perbedaan dan kepentingan bisa bersatu melalui olahraga.
“Saya hanya ingin, melalui pencak silat, bangsa ini bisa bersatu. Pencak silat adalah budaya bangsa,” kata pesilat yang baru berusia 20 tahun itu.
Ide persatuan bangsa melalui olahraga memang telah menginternalisasi di dalam dirinya selama belasan tahun. Keluhuran untuk menjaga persaudaraan dan saling menghormati merupakan nilai utama yang diajarkan di cabang pencak silat. Hal itu tampak pada salah satu budaya saling bersalaman dan mencium tangan antar-sesama pesilat.
Selain menjadi budaya, sifat menjaga persaudaraan juga merupakan kunci keberhasilan para juara. “Pesilat tidak akan berhasil menjadi juara jika sudah ada sifat sombong di dalam dirinya. Sukses itu ditentukan oleh seberapa kuat kita bisa menjaga tali persaudaraan,” kata Hanifan.
Pesilat kampung
Bagi Hanifan, prestasi tertinggi di ajang multi-cabang tertinggi se-Asia merupakan tantangan yang harus ditaklukkan. Ia ingin membanggakan sekaligus melampaui pencapaian kedua orangtuanya, dua pesilat nasional yang telah mengharumkan nama bangsa pada masanya.
Sang ibu, Dewiyanti Kosasih, merupakan juara di Kejuaraan Dunia Kuala Lumpur, Malaysia, 1989, Kejuaraan Dunia Belanda 1991, Kejuaraan Thailand Open 1992, dan SEA Games Singapura 1993. Sementara ayahnya, Dani Wisnu, merupakan juara dunia 1986. Mereka berdua juga menerima Anugerah Legenda Olahraga Indonesia yang diberikan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi pada Desember 2017.
Saat masih berusia enam tahun, Hanifan sudah berinisiatif untuk mengikuti latihan pencak silat di Perguruan Silat Tadjimalela. Salah satu unit latihannya berada di rumahnya sendiri di Soreang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Pelatih pertama yang dikenal pun adalah Dani dan Dewiyanti. Saat ini, Dani menjabat sebagai Ketua Dewan Guru Perguruan Silat Tadjimalela.
Bersama kedua orangtuanya Hanifan menempa diri berlatih jurus-jurus di kategori tanding. Ia tidak pernah masuk ke pusat pendidikan dan latihan yang didirikan pemerintah di kota besar. Latihan dijalankan berdasarkan program dan kurikulum yang dirancang sendiri oleh Dani dan Dewiyanti. “Saya ini pesilat kampung,” ujar Hanifan mengingat momen pertama kali menang di Kejuaraan Nasional Remaja di Solo, Jawa Tengah, 2013.
Hanifan baru mengikuti pemusatan latihan nasional pada 2016 setelah menang pada Pekan Olahraga Nasional (PON) Jawa Barat 2016. Meski berasal dari kota kecil, bungsu dari dua bersaudara itu membuktikan bisa memiliki prestasi yang mendunia. Selain emas pada Asian Games 2018, ia telah merebut emas pada Kejuaraan Dunia Pencak Silat di Denpasar, Bali, 2016, menjuarai Kejuaraan Asia Pencak Silat di Chungju, Korea, 2017, serta meraih perunggu pada SEA Games Kuala Lumpur, Malaysia, 2017.
Untuk semua prestasi tersebut, Hanifan harus membayar mahal. Pendidikannya terbengkalai. Pada masa sekolah, ia harus meminta izin kepada guru untuk berlatih sebelum mengikuti pelajaran. Ketika lulus SMA, ia pun terlambat masuk perguruan tinggi.
Ia baru mendaftar kuliah di STKIP Pasundan, Cimahi, Bandung, Jawa Barat, pada 2018. Padahal, semestinya ia sudah memulai sejak dua hingga tiga tahun yang lalu. Oleh karena itu, selain berlatih pencak silat, tahun ini ia ingin kuliah.
Percaya diri
Meski menyebut dirinya sebagai pesilat kampung, Hanifan menyadari memiliki mental bertanding yang jauh lebih kuat dari para lawan. Pada laga final kategori tanding kelas C, Hanifan tampak begitu tenang meski perolehan poinnya sudah tertinggal dari atlet Vietnam Thai Linh Nguyen, 4—1.
Ketika waktu pertandingan hanya tersisa satu menit, ia mendapatkan keputusan kontroversial dari juri. Hanifan dianggap melakukan tendangan pelanggaran sehingga nilainya harus dikurangi. Keputusan itu tidak bisa diganggu gugat meskipun pelatih Indonesia telah mengajukan pemutaran video laga hingga dua kali. Dalam video itu, tampak bahwa tendangannya tidak mengenai wajah Nguyen, namun hukuman tetap diberikan.
Selama menunggu keputusan juri, Hanifan duduk di pinggir lapangan dengan tenang. Manajer tim nasional pencak silat Indonesia Edhy Prabowo dua kali berteriak dari tribune VIP. “Hanifan, tetap tenang, masih ada waktu untuk mencetak poin.”
Pesilat berpotongan rambut model mohawk berkelir kuning keemasan itu pun bangkit dan segera bermain agresif. Dalam waktu satu menit, ia mengubah kedudukan dan menang atas Nguyen, 3—2. “Saya percaya diri untuk menang. Lagi pula kalau tidak menang, saya malu karena ditonton oleh ayah, ibu, Pak Jokowi, dan Pak Prabowo,” ujar dia.
Di luar lapangan, kepercayaan diri Hanifan juga tampak begitu kuat. Tutur katanya selalu lancar saat menjawab pertanyaan para wartawan. Ia tidak segan mengumumkan rencana pernikahannya dengan pujaan hati, Pipiet Kamelia, pesilat yang juga meraih emas dari kategori tanding kelas D putri. Puncaknya, ia tak ragu memeluk dua tokoh nasional yang berseberangan secara politik secara bersamaan.
Darah petarung yang mengalir dalam tubuh Hanifan rupanya tidak saja membakar semangatnya untuk meraih emas pada momen pertama kalinya cabang pencak silat dilombakan pada Asian Games. Darah itu juga membakar keberanian dan rasa percaya dirinya untuk mewujudkan mimpi bangsa Indonesia: membangun persatuan lewat olahraga.