Abdurrahman Muhammad Bakri, Hati Nurani Seorang Penghulu
Sebagai penghulu, Abdurrahman Muhammad Bakri (35), kerap diberi amplop berisi uang tanda terima kasih oleh keluarga pasangan mempelai yang dinikahkannya. Namun, ia tidak mau mengantongi uang yang bukan haknya itu. Karena itu, ia melaporkan setiap pemberian uang seperti itu kepada Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai gratifikasi.
“Saya ingin bekerja sesuai hati nurani dan aturan. Dengan begitu, saya bisa bekerja dengan tenang,” kata Abdurrahman yang biasa disapa Abdul di Trucuk, Kabupaten Klaten, Jumat (23/3). Siang itu, penghulu di Kantor Urusan Agama Kecamatan Trucuk itu baru saja selesai menerima sepasang calon pengantin yang sedang mengurus pernikahan.
Sejak 2015 hingga saat ini, Abdul selalu melaporkan amplop yang diberikan oleh pasangan mempelai atau keluarga mempelai kepada KPK. Total laporan gratifikasi yang ia buat kepada KPK sejumlah 59 laporan dengan nilai Rp 4.260.000. Uang itu ia setorkan kepada negara.
Uang itu bukan hak saya. Sesuai aturan, tidak boleh menerima gratifikasi
Sejauh ini, Abdul menempati urutan pertama pegawai negeri sipil yang paling sering melaporkan gratifikasi kepada KPK. “Uang itu bukan hak saya. Sesuai aturan, tidak boleh menerima gratifikasi,” katanya.
Amplop berisi uang tanda ucapan terima kasih itu kerap kali diberikan kepadanya seusai menikahkan pengantin di rumah mereka. Dari pengalamannya selama ini, isi amplop bervariasi mulai dari Rp 25.000 hingga yang paling banyak Rp 200.000 setiap kali menikahkan.
“Sebenarnya saat itu juga ketika diberikan amplop saya langsung tolak, tetapi kerap ada yang memaksa sehingga daripada suasananya menjadi enggak enak, amplop saya bawa, kemudian saya buat laporan penerimaan gratifikasi kepada KPK,” katanya.
Abdul mengaku sering kehabisan jurus menangkis amplop yang disorongkan kepadanya. Jika tangannya tidak mau menerima, sang pemberi biasanya tak kurang akal, mereka langsung memasukkan amplop ke dalam saku bajunya, saku celananya, atau ke dalam tasnya.
“Ada juga yang diletakkan di atas motor saya hehehe..,” kenangnya. Bahkan, pernah sampai ada yang mendatangi KUA Trucuk setelah hari pernikahan untuk menyerahkan amplop sekadar tanda terima kasih. “Pokoknya macam-macam caranya,” ujarnya.
Alumni Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Surakarta (kini Institut Agama Islam Negeri Surakarta) Jurusan Syariah ini bisa memahami warga yang kukuh memberi amplop. Mereka baru merasa lega jika telah memberi “uang saku” sebagai bentuk terima kasih atas jasa sang penghulu. Selama ini seolah pemberian amplop dianggap sebagai kewajaran di masyarakat.
“Sudah saya beri pengertian supaya tidak perlu memberi amplop karena setiap calon pengantin yang menikah di luar kantor KUA, sudah membayar biaya resmi. Tapi tetap saja kadang ada yang memaksa, ‘Wis niki pokoke ngge njenengan (sudah pokonya ini buat anda), ngge transport (buat biaya transportasi),” ujar Abdul menirukan kalimat pemberi amplop.
Tidak semua pasangan pengantin atau keluarganya memberikan amplop gratifikasi. Sebagian bisa memahami setelah Abdul memberi pengertian bahwa biaya resmi pernikahan di luar kantor KUA sebesar Rp 600.000. Uang itu dibayarkan kepada negara sudah termasuk jasa profesi dan transportasi untuk penghulu.
“Jasa profesi sebesar Rp 170.000 dan transportasi sebesar Rp 100.000 untuk penghulu, kan jumlah itu sebenarnya lumayan,” katanya.
Karena tidak ingin merusak suasana kebahagiaan mempelai dan keluarga, Abdul terpaksa membawa pulang amplop putih yang disodorkan untuknya. Namun, amplop itu tak lantas dibuka dan uangnya dipindahkan ke dalam dompetnya untuk keperluan pribadinya.
Abdul sesegera mungkin membuka situs KPK untuk membuat laporan gratifikasi. Ia mengunduh formulir laporan gratifikasi, mencetaknya, kemudian mengisinya. Setelah itu, formulir itu dipindai dan dikirimkan kepada KPK melalui surat elektronik.
Selang beberapa waktu kemudian, akan datang klarifikasi dari KPK. Setelah formulir klarifikasi ditandatanganinya, ia segera mengirimkan balik kepada KPK. Setelah itu akan datang balasan kedua dari KPK yang isinya menyatakan, uang yang dilaporkan tersebut menjadi milik negara atau tidak.
"Jika milik negara nanti saya mentransfer sesuai jumlah uang yang saya laporkan ke rekening yang dicantumkan oleh KPK,” ujarnya.
Nilai kejujuran
Awal niatan melaporkan gratifikasi mulai muncul di tahun 2015 setelah Abdul ngobrol dengan teman sekerja. Mereka saling berbagi pengalaman soal kebiasaan masyarakat memberi amplop kepada penghulu. Abdul dan temannya tak ingin melanggar aturan. Dari berbagi pengalaman tersebut mereka berkesimpulan: melaporkan gratifikasi kepada KPK merupakan solusi agar mereka tetap bekerja sesuai aturan.
“Sebelumnya kami sudah mendapat pembinaan dari kantor (Kementerian Agama), intinya sebagai ASN (aparatur sipil negara) tidak boleh menerima gratifikasi,” ujarnya.
Abdul diangkat menjadi pegawai negeri sipil di lingkunagn Kantor Kementerian Agama Kabupaten Klaten tahun 2005. Ia lebih dulu bertugas di bidang lain sebelum menjadi penghulu.
Ia mengaku sudah merasa cukup dengan gaji sebagai PNS golongan IIIB saat ini. Setiap bulan, ia menerima gaji sekitar Rp 3 juta dengan tambahan penghasilan resmi yang diterimanya dari jasa profesi dan transportasi sebagai penghulu setiap kali menikahkan.
“Tidak setiap bulan selalu ada pernikahan, bergantung pada kalender Jawa. Misalnya, kalau bulan Jawa Sura, itu sama sekali tidak ada pernikahan,” katanya.
Dengan gaji bulananya itu, Abdul mengaku merasa sangat bersyukur. Penghasilan itu dirasanya sudah bisa mencukupi kebutuhannya bersama istri dan dua putranya. Ia menjadi tulang punggung keluarga karena sang istri fokus menjadi ibu rumah tangga mendampingi tumbuh kembang kedua buah hati mereka.
Jika hanya menuruti rasa kurang, berapapun gaji yang diperoleh akan kurang. Dulu waktu pertama masuk kerja, gaji saya Rp 500.000, itupun cukup saat itu
“Jika hanya menuruti rasa kurang, berapapun gaji yang diperoleh akan kurang. Dulu waktu pertama masuk kerja, gaji saya Rp 500.000, itupun cukup saat itu,” tuturnya.
Abdul mengaku selalu berusaha memegang teguh nasihat sang ayah, Munasir (63)yang kini telah pensiun dari guru SD Muhammadiyah Wedi, dan ibunya Siti Faridah (58), yang bekerja di Pengadilan Agama Klaten. Keduanya tidak lelah membekali nilai-nilai kejujuran kepadanya ketika kanak-kanak hingga dewasa.
Saat mulai bekerja sebagai PNS, orangtuanya tak lupa berpesan agar senatiasa bekerja dengan baik dan rajin sesuai aturan. “Orangtua mengingatkan, rasah (tidak usah) macam-macam,” ujar Abdul menirukan nasihat orangtuanya.
Lega
Setelah rutin melaporkan setiap gratifikasi kepada KPK, Abdul merasa lega, tenang, dan tanpa terbebani rasa bersalah. Ini membuatnya bisa bekerja optimal dan fokus sebagai penghulu. Kepada memberikan pembinaan kepada pasangan calon mempelai sebelum akad nikah, Abdul berupaya menularkan benih-benih kejujuran.
Namun, ia sama sekali tidak pernah menceritakan perihal kebiasaanya melaporkan gratifikasi kepada KPK. Baginya, pelaporan gratifikasi tersebut bukan untuk dipamerkan kepada orang lain.
Apa yang dilakukan Abdul seperti oase yang menyejukan di tengah fakta banyaknya pejabat dari pusat hingga daerah-daerah yang ditangkap KPK lantaran korupsi atau menerima gratifikasi. Perilaku jujur seperti yang dilakukan Abdul itulah yang dibutuhkan bangsa ini untuk maju.
Abdurrahman Muhammad Bakri
Lahir: Klaten, 13 Juni 1982.
Istri: Verawati (35)
Anak: Ahsan Kinza Nubaid (9), Arsyad Barra Nafian (2,5)
Pendidikan:
- SD Muhammadiyah Wedi, Klaten 1988-1994
- Mts Muhammadiyah Wedi, Klaten 1994-1997
- MAN Klaten 1997-2000
- STAIN Surakarta lulus 2000-2008
Pekerjaan: Penghulu KUA Kecamatan Trucuk, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah