Riset dari kalangan akademisi dan LSM tentang Papua hendaknya diperbanyak untuk memberikan pemahaman publik dan penilaian yang tak bias. Sejalan dengan itu, percepatan kesejahteraan juga harus terus dilanjutkan.
Oleh
Edna C Pattisina
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Riset dari kalangan akademisi ataupun lembaga swadaya masyarakat tentang Papua hendaknya terus diperbanyak. Selain menambah pengertian masyarakat Indonesia yang selama ini bias tentang Papua, kesejahteraan dan keadilan masyarakat Papua juga seyogianya terus dipercepat dari hasil riset-riset tersebut.
Hal itu disampaikan Ketua Dewan Pengurus Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Didik J Rachbini yang juga Rektor Universitas Paramadina saat menutup Seri Diskusi Negara Hukum yang diadakan LP3ES, Senin (18/10/2021). Tema yang diangkat adalah Riset Ekonomi Politik Penempatan Militer di Papua dan Tekanan Kebebasan Sipil. Hadir sebagai pembicara, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati; peneliti dari Pusat Riset Kewilayahan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Cahyo Pamungkas; serta peneliti LP3ES dan dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Herlambang P Wiratraman.
Didik mengatakan, justru daerah-daerah konflik seperti Papua harus dipelajari agar bisa menemukan solusi yang tepat. Ia bahkan menyinyalir riset tentang Papua terlalu sedikit sehingga bangsa Indonesia tidak kunjung menemukan solusinya. ”Kita bergantung pada riset-riset dan solusi dari orang luar,” kata Didik.
Herlambang membuka diskusi dengan mempertanyakan respons Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan yang melaporkan Direktur Lokataru Haris Azhar dan Koordinator Kontras Fatia Maulidiyanti ke Polda Metro Jaya. Luhut melaporkan dugaan pencemaran nama baik dan gugatan Rp 100 miliar. Gugatan ini terkait dengan penyebutan nama Luhut sebagai salah satu orang di balik bisnis terkait tambang di Papua. Penyebutan ini dilakukan dalam acara diskusi daring berjudul ”Ada Lord Luhut di Balik Relasi Ekonomi-Ops Militer Intan Jaya!! Jenderal BIN Juga Ada!!”
Daerah-daerah konflik seperti Papua harus dipelajari agar bisa menemukan solusi yang tepat. Riset tentang Papua disinyalir terlalu sedikit sehingga bangsa Indonesia tidak kunjung menemukan solusinya.
Menurut Herlambang, gugatan Luhut itu menjadi sebuah bentuk kriminalisasi. Seharusnya, riset yang dilakukan oleh sepuluh lembaga swadaya masyarakat itu dijawab dengan riset yang lain. Herlambang mengatakan, riset dilakukan oleh #bersihkanIndonesia, YLBHI, Walhi dan Walhi Papua, Pusaka, LBH Papua, Kontras, Jatam, Greenpeace, dan TrendAsia. Pihak-pihak ini diketahui memiliki kemampuan untuk melakukan riset. Herlambang juga memberi catatan bahwa riset ini sudah dipublikasikan sehingga seharusnya menjadi wacana di publik.
Laporan risetnya juga jelas menggambarkan metodologi riset yang dilakukan dan disertai dengan referensi. Argumen yang disampaikan memiliki kekuatan dan koheren. Dengan demikian, kritik yang disampaikan pun memiliki dasar yang kuat. Oleh karena itu, kriminalisasi menjadi pukulan bagi kebebasan warga masyarakat untuk membicarakan negaranya di ranah publik. ”Jadi, mereka yang tidak siap dikritik atau baper kalau berhadapan dengan kritik sebaiknya tidak usah menjabat,” kata Herlambang.
Asfinawati menyebutkan, somasi menekankan pada kata ”main” yang disampaikan dalam diskusi daring. Menurut Asfi, ada kalimat yang dilihat hanya lewat penggalan-penggalannya saja. Justru hasil riset secara umum tidak pernah dibantah oleh pihak-pihak yang disebutkan namanya.
Yang ingin saya tunjukkan juga, ketika pejabat publik dikritik, yang disampaikan pengacaranya adalah ’kami manusia biasa’, padahal ada atribut dan otoritas yang melekat.
”Yang ingin saya tunjukkan juga, ketika pejabat publik dikritik, yang disampaikan pengacaranya adalah ’kami manusia biasa’, padahal ada atribut dan otoritas yang melekat,” ujar Asfi.
Adanya kewenangan yang dimiliki seorang pejabat publik, termasuk mengatur dan membuat anggaran, membuatnya bisa dikritik oleh publik. Selain itu, walaupun semua orang sama posisinya di depan hukum, ketika dalam kondisi tidak melakukan somasi, tentu pejabat publik berbeda dengan rakyat biasa.
Ada beberapa riset yang menurut pengalaman YLBHI akan memicu perhatian dan memiliki risiko besar. Isu itu terkait Papua dan agraria. Oleh karena itu, secara internal, teman-teman di LBH telah bersiap ketika mengemukakan hasil penelitiannya bahwa akan ada serangan seperti kriminalisasi. Akan tetapi, hal ini membuat para peneliti di LSM itu semakin bersemangat mengadakan penelitian tentang hal-hal yang terkait ekonomi dan politik, terutama kebijakan dan praktik kebijakan pemerintah di bidang tambang dan agraria tanah.
Memonopoli kebenaran
Tidak ada orang yang boleh memonopoli kebenaran di Papua.
Sementara Cahyo mengatakan, kekerasan yang berlatar belakang kepentingan eksploitasi tambang telah terjadi bertahun-tahun. Penelitian terkait hal ini juga sudah banyak dilakukan. Beberapa riset itu sejalan seperti sorotan dalam riset yang menyebutkan ada skenario besar untuk membuat masyarakat Papua mengungsi agar tanahnya bisa digunakan untuk tambang.
Menurut Cahyo, telah banyak riset yang mendaftarkan ribuan orang Papua yang mengungsi seperti dari Nduga dan terakhir kasus di Maybrat. Ia juga menekankan pentingnya riset tentang Papua.
Pasalnya, riset akan membuka pandangan orang-orang yang rasis terhadap kebudayaan dan orang Papua. Riset ini juga bisa mengkritik pembangunan yang berbasis pada sistem reproduksi kapitalisme dan pertumbuhan yang membutuhkan militer untuk berproduksi. Pada prinsipnya, riset harus dilakukan sebanyak mungkin pihak dari berbagai sudut pandang. ”Tidak ada orang yang boleh memonopoli kebenaran di Papua,” kata Cahyo.