Puisi-puisi Made Adnyana Ole
Made Adnyana Ole, lahir di Tabanan, tinggal di Singaraja, Bali. Menulis puisi, cerpen, dan esai.
Pasar Hewan Rubaya
Di sela riuh pasar hewan pagi hari
Mintalah si petani harga tinggi
Sebagai ganti kesetiaan pada masa lampau
dan penawar cinta pada gulma dan sisa lahar
Oh, ya, juga selembar nota
dan cap jempol dari muka bersih tangan saudagar
sebagai bukti tulis di masa kini
bahwa ia telah berhati-hati menjadi petani
Ini sapi bali, Tuan
Minum susu setiap pagi dari sisa gizi ketela gunung
Yang direbus istri sepanjang hari
Yang dijual juga jika Si Putu minta baju
dan Si Bungsu minta roti
Ini sapi bali, Puan
Memamah pucuk muda daun gamal
Yang tumbuh dari tadah air hujan
Yang hidup dari udara jernih rongga batu
Tanpa cemar limbah villa
dan sisa basuh restoran tepi sawah
Jika sepakat pada harga
Dan lunas pada cemas
Mintalah si petani satu senyum dan terima kasih
Sebagai ganti kerja dan daya ingat pada tanah
Karena sapi tak minta imbal
Rumput tak mati-mati
meski disabit sepanjang waktu
Di sela riuh pasar hewan pagi ini
Sapi bali menghias diri, tarian hati para petani
Kilau permata dari buah kemiskinan
di kampung paling luar pulau pariwisata
di pangkal paling rendah gunung keindahan
Selalu cemas pada utang
Upah jiwa jadi harapan
Dan di sudut paling terang
Saudagar dengan muka bersih memilih selusin sapi
seperti memilah topi untuk mahkota di hari raya
Ekor tegak, kaki tegak, kepala tegak
Bulu tiarap, mata cemerlang
Untuk disembelih di rumah jagal tengah malam
Disantap raja kecil dan wisatawan besok pagi
Di Rubaya, pasar hewan tak sudi mati
Si petani pulang untuk kembali suatu hari nanti
Barangkali menjual sapi, barangkali main sendiri
Oh, ya, sebelum pulang
Ia singgah di warung madura
Menyantap kuah rempah kambing muda
Ia lewati lawar sapi dan balung kaki
Karena apa yang dijual hidup-hidup di pagi hari
Pantang dibeli setelah mati di kuali siang hari
Singaraja, 2023
Baca juga: Puisi-puisi Wawan Kurniawan
Arabika Kintamani
Terhidang padamu
di atas meja tepi jurang
Kopi panas kaldera
Arabika asam jeruk
Lukisan senja dari celah gunung
Minum, minumlah segera
Sebelum dingin pada cangkir
Sebelum getar pada bibir
Sebelum malam menutup danau
dan kunang-kunang menyamar jadi bintang
Tersangkut di ranting pinus
Lalu bayangkan serumpun petani
Tangan renta dari ceruk beku kampung tua
Memetik biji merah sebutir demi sebutir
Tubuh miring pada cembung bidang kebun
di ujung tajam tikungan jalan
Jauh dari kafe tempatmu duduk
Jauh dari angan
Dekat dari angin
Petik merah saja. Hanya yang merah
Matang, segar dan manis
Petik merah saja. Agar yang muda
punya masa depan menjadi tua
Yang hijau punya jeda di batang tunggu
Nikmat waktu, nikmat menanti hari
Agar terawat martabat biji
Terjaga marwah hitam serbuk pati
Hingga terhidang padamu
panas usia di atas meja
Teguk, teguklah segera
Kopi kintamani
Arabika asam jeruk
Sebelum danau mati dan hutan rebah
Sebelum padam api gunung
ditiup surat janji dan puja-puji
Lalu bayangkan serumpun petani
Berbaris di kebun wangi
Tak lagi milik sendiri
Singaraja, 2023
Geguritan 5 Buah
Alpukat Mentega
Kupotong alpukat
Seakan memotong lunak mentega
Segi empat, sisi-sisi tak rata
Tapi segala wujud
Lumat pada jilat
Lebur pada liur
Tak perlu keju, apalagi es batu
Beragam nikmat
Lunas dikandung alam
Duku Hutan
Setelah musim berhenti
Tupai hutan menyisakan kerumun duku
Pada batang pohon dekat tanah
Petik! Jangan gigit segera
Dari duku belajar menunggu
Kulit layu, keriput pada biji
Dan sebelum enyah pahit getah
Peram keinginan, agar matang hasrat
Matang segala tuju
Nangka Kebun
Di kebun, nangka muda jadi sayur
Nangka matang jadi pelajaran
Tentang rindu dan rekat
Maka jangan pisahkan
Getah dari buah, onak dari nikmat
Rindu dari istri
Kodrat nangka adalah getah
Tabiat getah adalah rekat
Nasib rekat adalah rindu
Rumpun Pisang
Pisang emas pisang hijau
Pisang raja dan pisang batu
Tak usah cemas soal rupa
Dicipta begitu banyak nama
Agar ritual tak jemu-jemu
Di meja suci pada hari yang ayu
Lambung minta isi
Nama-nama diberi makna
Melambung di jantung hati
Anggur Bali
Anggur bali, bukan buah kunyah
Ia diteguk para pemabuk
Setelah jadi uap di restoran
Tapi kau kunyah juga
Kecut melemparkan nasibmu
Pada limbah wisata
“Tak ada lagi pemabuk!” katamu
Barangkali mereka jenuh
Minum di surga
Singaraja, 2022-2023
Baca juga: Puisi-puisi Matdon
Terpanggil Nama Tumbuh-Tumbuhan
Nama tumbuh-tumbuhan
Dipanggil begitu kerap, dilupa berkali-kali
pada hari-hari raya pandemi
Mimba, tumbuhan hamba
Daun runcing berjajar rapi
Alis mata suci para dewi
Ambil 40 helai
Campur air setengah gelas
Campur cinta sepenuh hati
Jadikan jus setengah kental
Bagi dua
Setengah untukmu
Setengah untuk kekasih tersayang
Maka pahit tak kenal ampun
Tapi sakit diberi ampun
Sayang tubuh
terbitlah imun
Di perumahan tepi kota, anak-anak memasang kain
pada mulut dan hidung, juga pada lubang rasa
Karena debu terlalu ringan, tumbuhan telanjur ditebang
agar jalan terasa lapang, mata terasa terang
Sementara di sekolah, nama-nama tumbuhan jadi ilmu
Hapal nama latin, alpa nama jamu
Kunyit, tumbuhan rendah
Umbi kecil rimpang kecil
Terumbu tanah semut serangga
Asam jawa, tumbuhan raksasa
Buah melengkung, penuh dan lunak
Sabit mainan sekalian petani
Parut-parutlah kunyit, didihkan dalam panci
Kupas asam, jangan kupas sunyi di hati
Panas air kunyit, suam air asam
Hangat-hangatkan jiwa, tumbuhkan gairah
Campur-baur, tambah sedikit madu
Minum sesuka-suka
Maka sepat wangi tak biasa
Sedikit keluh mungkin sembuh
Dan biarkan luruh
segala haus
Di restoran pusat kota, dua pelayan membakar daging
Meramu sup, sedikit kubis, begitu banyak kaldu di atas api
Seorang kurir pun panas-panas menanti
di tepi jalan, di bawah rambu baja, jauh-jauh dari pohon perindang
Sementara di satu rumah, anak-anak menunggu makan siang
Sembari menghapal jenis tumbuhan obat nusantara
Kelor, tumbuhan biasa
Daun bulat mungil bersusun
Manik gelang para ibu
Rontok-rontokkan daun, panas air bening
Peras dan cincang di atas kayu
Aduk kelapa parut, aduk ludah di lidah
tabur garam, juga bumbu sekadar
Makan siang siap sedia
Maka rasa asing dan harum nikmat dicerna
Usus bersih, piring bersih
Lega perut, legalah kesehatan
Di sudut desa, pada sudut kecil kebun tanpa surat berharga
Anak-anak belajar menanam apa saja
Tak bertanya tentang pahala, apalagi manfaat
Tapi mereka hapal pantun tumbuh-tumbuhan
Jeruk nipis, biji kapulaga
Kunyit pelepah, kayu manis berdaun
Mulut tipis, gigi bergula
Pahit disepah, manis dikulum
Daun piduh pohon samirata
Jahe berurat, sirih melilit menara
Lestari tumbuhan hanya kata-kata
Hilang khasiat karena pikun dipelihara
Singaraja, 2022
Kue Kayu Sugih Pancasari
Jika tak berat jalan ke kota
Nikmati sedikit kue ringan
Sebelum memotret diri
Bersama lumut gapura dan padang hijau
Di Pancasari
Ini adonan beras giling
Kecil bulat, dibakar tungku tanah
Dengan pewarna gurih daun kayu sugih
Juga pewarna sedap gula nira
Kayu sugih
Hijau tak begitu terang
Kaya kata di lidah rasa
Gula nira
Merah kental pendar cahaya
Guna rasa di lidah kata-kata
Singaraja, 2023
Baca juga: Puisi-puisi Taty Haryati
Bubur Sayur Baturiti
Jalan ini hanya ceruk bukit landai
Tujuan menanjak pagi hari
Buah tangan turun pada senja
Nasib pun berliku
Menikung pada lembah keinginan
Di kiri kanan sebagian orang menanam benih
Sebagian sukacita memetik sayur
Untuk dipajang di tepi jalan
Tapi untuk bubur sarapan pagi
Mereka petik sayur liar
Yang tumbuh begitu saja
bersama rumput pematang dan akar pagar
Rebus setengah matang
Pakis lingkar, sawi pengah
bayam duri dan gulma sawah
Berbaku-hantamlah digiling rempah
Sirami kuah, usap sambal sekilas
Dengan tangan yang tumbuh di sela kabut
Bubur kental beras merah
Sayur liar akar pagar, semak cuaca
Santap hangat-hangat di sela dingin uap pagi
Terciptalah penanda waktu yang tepat
Untuk tak leha pada geliat musim
Pada ruang yang tak lekang
Lalu pahami dengan nikmat
Ceruk jalan, tujuan pagi hari, buah tangan pada senja
Mana yang mesti diikat
Dihitung cermat-cermat
Mana yang dibiarkan liar
Digulung semak-semak
Singaraja, 2023