Ricardo Melukis Natal
Ini warna rindu milikmu? Kurasa kau perlu menambahkan sedikit warna merah di sekeliling sini. Merah lambang cinta.
Sunyi di kepalanya sering ia tuang ke dalam beragam warna di iPad dengan pensil khusus yang selalu ia bawa dalam tas kecilnya. Warna-warna tanpa suara itu selalu bercipratan tak beraturan di rongga kepalanya, lalu jatuh di atas layar gawai delapan inci yang selalu mengikuti perjalanan tubuhnya.
Dulu, dengan jari mungilnya, ia sering diajari melukis abstrak kubisme milik Picasso, tetapi di atas kertas dengan pensil dan pewarna krayon atau di atas kanvas dengan cat air. Setelah kepindahannya di kota ini, ia diajarkan bermacam cara dan teknik melukis. Juga belajar berkenalan dengan beragam jenis warna, seperti ia mengenali warna dirinya sendiri.
”Menurutmu apa warna rindu?”
Senyum gurih perempuan berkerudung di depannya mengembang bak rengginang. Ia tahu bocah kecil di depannya begitu berbeda dengan temannya. Umurnya memang belum genap enam, dan ia selalu punya pertanyaan aneh. Seolah ada benda padat dan ganjil di kepalanya yang harus diencerkan setiap hari. Barangkali jika besar nanti ia pantas dipanggil filsuf ketika tempo hari menanyakan kenapa awan bisa menumpahkan air, bukankah awan tak punya mata?
”Coretan biru, kuning, dan merah ini bentuknya seperti laba-laba menurutku. Apa menurutmu rasa rindu punya warna?”
Isi kepala bocah di depannya sedang dipancing. Ia sedang berusaha membuka pintu imajinasinya. Betapa bertahun yang lalu ada kenangan yang tertinggal dalam tempurung kepalanya dan tak mungkin dihapuskannya. Itu sebab, kenapa bocah di depannya sering berkata sedang menggambar kesepiannya, rasa rindunya, dan entah apa lagi yang seharusnya kata-kata itu belum selayaknya keluar dari bibir seorang anak-anak.
”Apakah kesepian bisa menjelma laba-laba?”
Perempuan itu terjebak dari pernyataan yang baru saja ia ucapkan. Ia sadar sedang menghadapi seorang anak yang berbeda. Dipandanginya dengan saksama coretan biru, kuning, dan merah dari cat air yang saling tumpang tindih. Membentuk pola tertentu dengan campuran garis lurus bersiku dan lengkung berirama. Bentuknya mirip seekor binatang. Ia mencoba sekali lagi menerjemahkan.
Apakah kesepian bisa menjelma laba-laba?
”Ini warna rindu milikmu? Kurasa kau perlu menambahkan sedikit warna merah di sekeliling sini. Merah lambang cinta. Biru adalah warna rindu. Kuning merupakan gambaran kemuliaan. Jika lukisan ini adalah gambar kesepianmu, aku bisa sedikit mengencerkan warna merah ini. Memang sedikit pudar, tetapi ia harus tetap ada. Cinta di dunia ini tak akan bisa lenyap, hanya kadang berkurang kadang bertambah. Tiga warna dasar pembentuk semesta ini harus selalu ada. Nah, ia memang seharusnya ada menggantikan yang tidak ada dan telah hilang di sini.”
Bocah di depannya manggut-manggut dengan polos. Ia masih terduduk di lantai, bersila, dengan ujung jari sedikit terkena noda cat air. Matanya bulat bening bersinar mirip butir kelereng, memandang antusias perempuan di depannya yang memegang salah satu kuasnya. Perempuan itu menggoreskan warna merah terang yang baru saja dituang ke dalam palet, menyusur di pinggiran warna biru.
”Apa menurutmu biru itu warna rindu?”
”Cinta selalu datang bersama rasa rindu. Lebih tepatnya seperti ....”
Belum selesai ia menjelaskan lebih perinci, perempuan itu mendadak bangkit dan beranjak dari duduknya ketika tiba-tiba perempuan lain di ujung paviliun memanggilnya. Tanpa berucap apa pun setelahnya, perempuan itu segera beranjak, berlalu pergi menyusuri lorong paviliun yang ditumbuhi lili paris di kiri dan kanan. Kini, bocah yang masih terduduk di bawah teras paviliun di sebelah taman itu sendirian. Ia terus memandangi punggung perempuan itu hingga menghilang ketika di depan sana, ia berbelok ke kiri, lalu lenyap dari pandangan.
Apa menurutmu biru itu warna rindu?
Kenangan puluhan tahun lalu itu masih saja membekas di kepalanya. Hari ini ia sedang ingin mentraktir dirinya sendiri. Setelah kesuksesannya mengangkat trofi juara pertama dalam gelaran seni lukis di Queen’s Gallery, ia pulang dari London menuju Aberdeen. Tujuh jam perjalanan dalam kelas first class sudah ia pesan jauh-jauh hari. Ia akan lebih tenang merakit imajinasinya dalam rangkaian gerbong kereta yang membawa tubuhnya, di layar iPad kesayangannya. Walau tak tahu kenapa, tanpa sadar tangannya selalu diarahkan untuk menggambar kesepiannya dalam coretan aneh. Bulatan merah dengan delapan kaki biru. Di bawahnya, coretan lengkung kuning dan garis siku tegas tumpang tindih menimpa delapan kaki tadi. Bentuknya sekilas memang mirip laba-laba. Tampaknya memang benarlah ucapan suster yang pernah mengajarinya melukis di Jogja itu.
Dalam lamat-lamat, saat deretan pohon oak dan pinus bertabur salju terlihat di tepi jendela berlarian melawan laju arus kereta, ia perlahan merapatkan mafela di leher. Berusaha menjajarkan kepingan sesuatu di kepala. Ia menunduk, melihat lagi coretan di iPad. Satu kejadian yang membuatnya tak akan pernah melupakan hari indah Natal bersama teman-teman yang senasib dengannya. Lukas, Natalie, Martin, Brian, Rain, Maria, lalu Deon dan Diaz si kembar. Teman-temannya sering mengajarinya bermain patok lele. Juga sering menertawakannya saat ia mengucap bahasa Jawa dalam logat Batak. Namun, di sanalah ia dikenalkan dengan gudeg dan bakpia jogja.
Temannya di Jogja dulu banyak yang dipinta untuk membuat pohon cemara dari ranting bambu dan ornamen lain dengan kain batik sebelum malam misa. Paling berbeda dengan teman-temannya, ia selalu diminta untuk membuatkan lukisan Natal yang akan diletakkan di kanan kiri altar. Tidak semua paham arti lukisan abstrak miliknya. ”Lukisanmu adalah gambaran keberadaan Tuhan, harus diringi hati yang suci untuk mengartikannya. Mata yang penuh dosa tak akan mampu menerjemahkan,” begitu ucap suster yang merawatnya.
”Selamat ulang tahun Ricardo.”
Baca juga: Cerpen Tato, Ciuman, dan Sebuah Nama
Sehari setelah Natal, ia sudah sering mendengar ucapan itu, di hari yang kata orang istimewa, tetapi baginya sangat biasa saja. Ia lebih suka mencari jawaban secara perinci segala pertanyaannya di dalam kepala. Kenapa Romo Lukito yang membaptisnya tak punya anak, kenapa Martin temannya beribadah di gereja yang berbeda, kenapa teman-temannya di Jogja tak punya nama marga, dan masih banyak pertanyaan lain yang mengendap dalam kepala untuk segera dicairkan. Juga sebuah pertanyaan kepada Tuhan, kenapa ia selalu dipertemukan pada kesepian?
Hampir dua dekade silam, ia dipisahkan dengan orangtuanya ketika gempa dahsyat di Meulaboh. Ia harus terpisah dengan ayah ibunya ketika tsunami itu datang dan meratakan semuanya. Kunjungannnya dari Mandailing sudah ia rencanakan jauh-jauh hari demi merayakan kelahirannya bersama keluarganya di Aceh, juga merayakan kelahiran Yesus yang Agung. Untung tak dapat ditolak, ia yang baru berusia lima terapung di atas papan dan ditemukan oleh tim Basarnas.
Seminggu setelah kejadian itu, takdir membawanya ke Pulau Jawa, satu daratan yang belum pernah ia kunjungi. Tubuh mungilnya dibawa anggota TNI yang mengadopsinya dan membawanya ke Kota Bakpia, Jogja. Dua tahun kemudian, ujian kembali datang. Gempa Jogja membuat kedua orangtuanya tewas. Ia ditemukan menangis dalam pelukan ayahnya di antara puing-puing bangunan. Ia lalu dirawat suster di yayasan panti yang masih dalam naungan paroki gereja yang sama di mana orangtua angkatnya tinggal.
”Selamat ulang tahun Ricardo Marbun.”
Baca juga: Bejo di Negeri Straya
Ia sudah sering mendengar ucapan itu sehari setelah Natal dirayakan. Namun, ia tak pernah merasakan hari itu berbeda dengan yang lainnya. Apalagi ketika delapan sahabatnya tewas dalam kebakaran di gedung panti yang merawatnya. Ia selalu bertanya, kenapa Tuhan selalu memisahkannya dengan orang-orang yang menyayanginya?
Ucapan lembut itu seolah tak dihiraukannya. Ia masih terus asyik mencampurkan beragam warna di atas layar kaca gadgetnya seolah suara itu hanyalah bisik kalbu yang tak perlu dijawab. Gelagatnya tetap tak acuh. Hingga gerakan tangan yang lembut di pundaknya itu membuatnya melihat siapa yang baru saja berucap. Pria paruh baya dengan badan tegap, rambut belah pinggir rapi dengan sedikit uban di atas telinganya yang pernah memberi ucapan selamat kepadanya di Jogja.
”Romo Lukito? Kapan ke sini?”
Ia sedikit terbata. Kaget. Kagum. Dadanya bergetar. Ia buru-buru berdiri dan menyilakan Romo duduk. Namun, beliau menolak.
”Duduklah. Aku buru-buru dan memesan tiket tanpa nomor kursi. Kau sudah pesan tiket itu jauh-jauh hari. Romo tak ingin mengganggu konsentrasimu.”
Ia kembali duduk dalam rasa sungkan. Romo perlahan mendekat di sebelah bangkunya. Lalu melihat coretan di iPad kesayangannya yang selalu ia bawa.
”Pablo Picasso telah memilih tubuhmu untuk reinkarnasi demi melanjutkan cita-citanya yang belum terwujud.”
Dalam rasa sungkan dan malu dipuji, wajahnya memerah. Tersenyum renyah, lalu dengan kalimat merendah, ”Saya masih pembelajar dan terus akan belajar Romo. Dua puluh tahun lalu, ada utang Romo yang belum terbayarkan. Romo lupa mengajariku melukis Natal. Menurutku, lukisanku cenderung statis dan begitu-begitu saja. Kalau boleh tahu, dalam rangka apa Romo jauh-jauh ke sini? Di sini tak ada gudeg, tak ada bakpia, Romo memang betah setiap hari harus makan roti isi selada tanpa daging cacah?”
Pablo Picasso telah memilih tubuhmu untuk reinkarnasi demi melanjutkan cita-citanya yang belum terwujud.
Dalam nada sedikit menggoda, ia tersenyum meledek. Romo Lukito tertawa. Lalu satu ucap dua puluh tahun lalu mengingatkannya pada hari kelahiran Yesus yang Suci. Seorang anak di depannya selalu merasa gagal melukis Natal dalam coretan warna yang ia buat. Baginya, ia tak ingin pujian. Ia ingin lukisannya ada yang mengkritik atau memberi saran. Namun, ia tak pernah mendapatkannya. Dalam hati, Romo Lukito paham, bocah kecil di depannya telah tiga kali melewati ujian Tuhan dalam kepedihan. Dipisahkan dengan orang-orang yang mengasihinya. Kenangan lalu itu tak mungkin dilenyapkannya. Orang Batak dan Minang selalu ditegaskan untuk merantau demi kehidupan yang layak. Dan sosok tubuh di depannya adalah bukti nyata bagaimana ia begitu kuat menjalani tempaan dan ujian dari Tuhan.
”Kelahiran Yesus adalah cara Tuhan mengenalkan diri-Nya. Penyambung pesan damai dan kasih ke seluruh umat manusia. Kamu masih terus merasa gagal dalam menggambarkan rasa sukacita itu dalam goresan tinta dari tanganmu. Kamu masih terus dibayangi masa lalu, padahal begitulah adanya. Manusia bisa mati, tetapi tidak dengan kenangan yang ditinggalkannya. Di bumi ini, apakah kamu temukan tempat untuk membunuh kenangan dan melenyapkannya? Kamu datang jauh-jauh ke Eropa demi melupakan ingatan itu. Namun, justru kamu telah berhasil menghadirkan cinta orang-orang yang mengasihimu dalam setiap lukisanmu. Apa itu salah? Bukankah kelahiran Yesus juga wujud cinta dan kasih Tuhan yang dihadirkan-Nya ke dunia?”
Sungguh, ada yang lebih sejuk selain hawa dingin di dalam gerbong kereta. Jawaban itu membuat hatinya lega. Matanya membulat sebening kaca. Berpuluh tahun lalu ia menunggu ucapan itu dari teman-temannya, tetapi ia tak pernah mendapatkannya. Hari ini, hatinya tiba-tiba merasa gembira. Dalam deret pohon-pohon pinus yang tertutupi salju di kiri dan kanan yang berlarian berlawanan arah, ia tersenyum dalam sukacita dan sangat paham bagaimana ia akan melukis Natal kali ini. Senyum delapan sahabatnya yang telah menjadi pelayan Tuhan di surga tiba-tiba menerawang di angkasa.
Baca juga: Seekor Buaya di Sungai Karang Tambak
Dody Widianto, lahir di Surabaya. Karyanya tersebar di berbagai media massa nasional, seperti Koran Tempo, Republika, Media Indonesia, Suara Merdeka, Kedaulatan Rakyat, Solo Pos, Radar Bromo, Radar Madiun, Radar Kediri, Radar Mojokerto, Radar Banyuwangi, Singgalang, Haluan, Rakyat Sumbar, Waspada, Sinar Indonesia Baru, Tanjungpinang Pos, Pontianak Post, Gorontalo Post, Fajar Makassar, Suara NTB, dan Rakyat Sultra.