Dermaga yang Tak Kunjung Rampung
Koteng bergegas membenarkan resleting dan celananya. Ia juga mengusap bibirnya penuh dengan lengan bajunya. Tampak seorang perempuan yang membelakangi punggungnya juga turut serta membetulkan pakaian dan rambutnya.
Sampan telah sandar di pundak pantai. Kewek kembali ke darat lagi-lagi dengan tangan kosong. Hanya lapar dan letih yang mengisap tubuhnya. Semenjak pembangunan dermaga yang mangkrak itu, kini menjadi Kewek dan kewek-kewek lainnya membutuhkan perjuangan yang lebih dari biasanya.
Laut yang biasanya memberi ikan dengan ruah, kini hanya memberi sampah beragam rupa, bongkahan batu, dan beton yang tak ada guna. Tercecer akibat amuk ombak yang tak suka. Hanya ada dua pilihan bagi dan menjadi kewek hari ini. Menjadi kewek hari ini berarti harus rela mendayung sampan lebih jauh atau dipaksa pada pilihan menyerung sampan juga menggantung dayung, kail, dan jala.
Berbeda dengan Kewek yang bimbang dan para ikan yang terusir, dermaga yang mangkrak itu sebaliknya menjadi tempat terbaik bagi para remaja yang diamuk cinta namun limit uang sakunya, duda, janda, dan para pria wanita berhidung dan berpipi belang.
Dermaga yang mangkrak itu menjadi saksi gejolak asmara mereka sembari menanti fajar merangkak dari ufuknya. Mereka duduk berjejer pada sisa-sisa batu dan beton yang menjadi aksi kisah kasih mereka dan banyak pula dari mereka yang memadu kasih pada sampan yang telah diserung—ditutupi dengan pelepah kelapa karena sudah tak lagi dipakai dan hanya menjadi tempat bermukim kadal dan sepupu-sepupunya—sebagai mahligai mereka yang sedang sedap-sedapnya dibodohi cinta.
Dermaga yang mangkrak itu menjadi saksi gejolak asmara mereka sembari menanti fajar merangkak dari ufuknya.
Tubuh letih, perut yang selalu lapar, hasil tangkapannya yang tak pernah lagi menampakkan batang insangnya membuat Kewek tak pernah ambil pusing dengan kehadiran, kebahagiaan, dan permasalahan yang dibawa para pencinta itu. Kewek tak pernah peduli pada pria dan wanita yang dipergoki, lalu digebuki suami atau istri sahnya di dermaga yang tak rampung itu.
Ia pun tak acuh pada para perempuan dan laki-laki patah hati yang meringkuk, tersedu, bahkan mencaci sekuat dan sekeras-kerasnya dengan beragam serapah. Apalagi pada seorang pengasih yang rela terjun ke laut demi membuktikan cintanya pada sang kekasih. Kewek sungguh-sungguh tak peduli.
”Udah numpuk di warung Inak Icok,” ucap istrinya semalam sebelum melaut. Malam itu ia menanyakan kabar terakhir utang mereka di warung Inak Icok. Jawaban istrinya kini terus mengiang, ketika ia melangkah meninggalkan sampannya di pundak pantai.
Baca juga: Rumah Trembesi
”Aku sudah malu berutang lagi. Apa tak sebaiknya kau cari pekerjaan yang lain?” kata istrinya kembali malam itu yang makin memberatkan langkah Kewek untuk kembali pulang.
Kewek berpikir keras kabar apa yang akan dibawanya nanti sampai rumah. Pada hari-hari yang lalu, kabar seperti kabar hari ini tak mampu menyunggingkan senyum istrinya. Sebaliknya, wajah istrinya merengut, dilipat, dan dibuang ketika mendengar kabar yang sama dari Kewek yang pulang melaut.
Sebelum meninggalkan pantai secara utuh, Kewek menghela napas di bawah pohon nyiur yang menjadi saksi janji suci Kewek dan Maemunah. Istrinya yang kala itu menjadi pujaan hati para pemuda di kampungnya berhasil luluh hatinya oleh si Kewek.
Kewek bukan pemuda yang tampan, tinggi, kaya, apalagi berpendidikan tinggi. Kewek hanyalah pemuda yatim piatu yang berhasil meraih hati seluruh warga kampung—termasuk Maemunah dan keluarganya—karena keterampilannya membuat sampan. Keterampilannya itu diperolehnya dari mendiang ayahnya, yang konon dari cerita para tetua kampung, ayahnya merupakan salah satu nelayan yang paling berpengaruh di kampungnya.
Kewek bukan pemuda yang tampan, tinggi, kaya, apalagi berpendidikan tinggi. Kewek hanyalah pemuda yatim piatu yang berhasil meraih hati seluruh warga kampung.
Bukan hanya terampil membuat sampan dan perkakasnya, ayah Kewek juga nelayan yang tangguh. Tiap kali ayahnya turun ke laut, tangkapannya selalu melimpah. Laut dan seisinya tunduk pada kail dan jalanya. Hasil tangkapan ayahnya yang meruah kemudian sebagian dijual, sebagian lagi dibagikan kepada warga kampung dan nelayan lainnya yang minim hasil tangkapannya. Oleh itulah, ayah Kewek dikenal sebagai nelayan tangguh, terampil cum dermawan.
Namun, sebaik-baiknya manusia tetap saja ada yang tak suka. Begitulah nasib ayah Kewek yang mati tragis karena kiriman sokek dari orang yang tak menyukainya. Pada akhir hidup ayahnya, Kewek mengurusinya seorang diri.
Ibunya mati jauh lebih dulu. Saat itu Kewek berusia tiga tahun. Sepulang melaut, demam tinggi menggeroti tubuh ayahnya. Lalu keesokan harinya, kaki ayahnya gatal dan terasa bagai ditusuk pisau berkali-kali kemudian membusuk pada hari berikutnya. Begitu seterusnya yang terjadi pada organ tubuh ayahnya yang lain. Ayahnya mati dalam keadaan membusuk.
”Kewek mengajakku menikah.” Tutur Maemunah kepada orangtuanya berpuluh tahun yang lalu. Orang tua Maemunah yang mengagumi kedermawanan dan kepiawaian ayah Kewek semasa hidupnya langsung merestui keinginan anaknya itu. Kewek dan Maemunah menikah dengan dibiayai dari hasil upah Kewek membuat sampan dan sokongan mertuanya. Selepas dua tahun mengecap pernikahan dan belum juga memiliki buah hati, mertua Kewek susul-menyusul mati karena uzur.
Baca juga: Turun Tanah
Satu tahun setelah itulah proyek dermaga itu berlangsung selama hampir lebih dari tiga tahun lamanya, namun sampai hari ini tak kunjung jua rampungnya. Kewek dan para nelayan lain diharuskan rela menyandarkan sampan-sampan mereka di pundak pantai yang tak seperti sediakala.
Kewek duduk di bawah pohon nyiur dengan jala dan dayung turut serta disandarkannya. Tanpa satu pun hasil tangkapan. Kewek sekonyong-konyong merindukan senyum istrinya yang pernah menjadi pujaan satu kampung itu yang hari-hari ini tak pernah lagi didapatnya meski telah satu rumah. Juga Kewek merindukan giat para nelayan yang selalu riang ketika pulang melaut yang sekarang sudah tak terlihat lagi.
***
Koteng bergegas membenarkan resleting dan celananya. Ia juga mengusap bibirnya penuh dengan lengan bajunya. Tampak seorang perempuan membelakangi punggungnya juga turut serta membetulkan pakaian dan rambutnya. Mereka tersenyum dan membuang napas jauh setelah adegan di sampan yang diserung itu berakhir cepat dan melelahkan.
”Aku pulang dulu,” ucap perempuan itu setelah pakaian dan rambutnya terasa rapi.
”Aku antar?” sahut Koteng dengan senyum dan kedipan mata seperti kelilipan.
”Tak usah macam-macam!” jawab perempuan itu, lalu melanjutkan, ”Mana?”
Koteng merogoh kantongnya. Mengeluarkan uang dua ratus lima puluh ribu dari kantong celana.
Baca juga: Surat untuk Emak
”Nanti aku tambah lagi.” Sembari Koteng menyerahkannya.
”Asal kau janji. Kau akan setia padaku,” sambung Koteng dalam pada wajah si perempuan.
Si perempuan hanya membalasnya dengan senyum dan berlalu meninggalkan Koteng. Koteng menatap lekat lenggok bahenol dan aduhai perempuan itu hingga pantat perempuan itu menghilang dan meninggalkan Koteng dan pantai. Agar tak menimbulkan kecurigaan dari warga lain yang nantinya kemungkinan akan berpasasan dengannya, Koteng memilih pulang melalui jalan lain. Koteng melipir ke arah barat. Tempat para nelayan menyandarkan perahu yang masih digunakannya.
***
”Dari mana Teng?”
Wajah Koteng seketika pucat demi mendengar kalimat dari bawah pohon nyiur itu. Ia tersentak melihat Kewek yang bersandar pada pohon nyiur lengkap dengan peralatan memancingnya.
”Eee... tak ada....” Koteng mengatur napasnya dan melanjutkan, ”hanya jalan-jalan saja. Di rumah membosankan.”
Koteng melipir ke arah barat. Tempat para nelayan menyandarkan perahu yang masih digunakannya.
Kewek bangkit dari sandarannya. Meraih dayung dan jala. Melemparkannya ke pundaknya. Ia mendekat ke arah Koteng. Meniti wajah Koteng hingga ujung kakinya. Mata Kewek berhenti pada satu bekas di leher kiri Koteng, lalu bertanya, ”Leher kau kenapa?”
”Oh ini..., eee..., ini..., eee..., itu...,” Koteng kelimpungan. Tangannya berusaha menyembunyikan noda merah pada lehernya dan mencari jawaban yang pas buat pertanyaan Kewek yang sedang memikul dayung dan jala. ”Bekas itu..., eee... kadal..., iya..., bekas kadal tadi..., aku tadi ketiduran di sampan Amak Mahyu yang diserung itu. Terus kadal mematok leherku dan aku terbangun,” terang Koteng lancar.
Kewek hanya manggut-manggut. ”Mau pulang barengan?” sambung Kewek.
”Duluan saja. Aku masih ada urusan,” jawab Koteng.
”Baik.”
Kewek berlalu meninggalkan Koteng yang masih terlihat limpung dengan leher memerah. Kewek melenggang pulang. Tanpa hasil tangkapan.
***
Baca juga: ”Gift”
Sesampainya di rumah, seperti biasa Kewek langsung menuju dapur menata jala dan dayungnya. Istrinya di dapur sedang memasak. Salam dari Kewek seperti hari-hari yang lalu tak pernah digubrisnya.
”Ngutang lagi?” tanya Kewek setelah jala dan dayung selesai ditata.
”Tidak,” jawab istrinya.
”Dapat uang dari mana?”
Tak ada sahutan.
”Bukankah kita tak ada simpanan?” Todong Kewek lagi.
Istrinya tak menjawab. Wajahnya tenggelam dalam tungku. Kewek masih berdiri menunggu jawaban, menatap punggungnya. Kewek tak berusaha menelisik lagi, ia hanya berharap mendapat jawaban segera dari istrinya.
Setelah tak kunjung mendapatkan jawaban, Kewek mengalah dan berlalu meninggalkan dapur menuju ruang tengah rumahnya. Kewek memeriksa ruangan itu, matanya mencari barang apa yang kemungkinan berharga yang mungkin saja dijual istrinya. Namun, tak satu jua pun barang di rumahnya yang memungkinkan untuk berharga.
Istrinya tak menjawab. Wajahnya tenggelam dalam tungku.
Kewek makin tak tenang, ia kembali ke dapur, ”Apa yang kau jual?” tanyanya kembali kepada istrinya.
Mendengar berondong tanya Kewek, istrinya membalikkan badan dan menjawab ketus, ”Tak ada yang kujual!”
Kewek terkesiap. Ia tak siap. Tatapnya lekat. Berhenti pada satu titik, lalu bertanya, ”Lehermu kenapa?”
Todongan Kewek benar-benar membuat Maemunah kelimpungan. Tangannya berusaha menutupi lehernya merah dan Maemunah berusaha terlihat baik-baik saja.
”Bekas kadal?!” sambung Kewek sembari meraih parang.
Baca juga: Kejadian di Tambang Pasir
Hubbi S Hilmi, lahir di Labuhan Haji, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Cerpen, esai, dan resensinya pernah dimuat di sejumlah media nasional dan media lokal. Buku kumpulan esai pertamanya terbit dengan judul Silsilah Percakapan (Jejak Pustaka, 2022).