Yang Datang dari Masa Lalu
Engkau menepilah dari ingatan.
Setelah banyak daun-daun, kenangan, dan usia yang gugur,
senja selalu memadukan sakit dan rindu berkepanjangan.
Lantas aku tidak menjadi apa-apa atau sesiapa di hatimu.
Selain sebuah bayang-bayang.
Engkau menjengukkan kepala ke dalam ruang kelam sesekali.
Aku memunguti tetesan madu dari bibirmu
Sekali lagi.
Baca juga: Puisi-puisi Handry TM
Ronde Jahe Gardujati
Bernostalgia pada malam
ketika kau dan aku bukan api,
melainkan rebusan air jahe,
dimatangkan peristiwa,
dibesarkan air mata dan tawa
Kita ciptakan semangkuk kecil porsi kebahagiaan
dari serenceng lain yang kita punya
Tahun-tahun berlalu,
kita telah menjadi api,
saling membakar, saling menghangatkan,
tapi tidak mengabukan,
melainkan memasak bersama.
Mengulang menu yang berusaha
untuk tidak itu-itu saja
Semangkuk ronde jahe di Gardujati:
kehangatan yang selalu tercipta
dari senyum yang tak membosankan,
dari tatap mata yang menentramkan
Masih.
Kau di sebelahku berkata,
”Kapan-kapan kita coba menu lain, ya!”
Dan aku tahu, kita selalu menemukan alasan
untuk bertahan.
Baca juga: Puisi-puisi Warih Wisatsana
Dia Harus Pergi
Dia harus pergi. Menuju musim yang lain.
Kembali membilang jarak dalam mil.
Aku menjadi butir-butir padi yang merunduk.
Dimatangkan kenangan.
Menunggu musim berganti.
Di tahun yang lain.
Baca juga: Puisi-puisi Inggit Putria Marga
Impian Musim
Pada jendela kereta cepat
kabar itu membawa dedaunan kering
menghunjam bumi dengan kerelaan ditungkus suhu -4°C
di belahan bumi yang lain
perbedaan waktu mengirim nyanyian penghiburan
”Selamat pagi,” katamu.
Hangat uap kopi mengepul di atas cangkir
menarikan huruf demi huruf percakapan
tentang buku, tentang pesta, juga nona-nona
Lengkung pelangi menggurat di langitku setiap kali
Sebelum musim gugur kali ini, ingatlah
musim panas telah mempertemukan dua cangkir kopi
dan kita menyimpan mimpi demi sampai
pada musim yang lain.