Emas dan Batuk Tarman yang Menggila
Tarman terseok-seok menuju rumah karena batuk yang membuatnya sampai terbungkuk-bungkuk menahan dada yang sesak. Beberapa kali ia terjerembab ke tanah. Pandangannya mulai berkabut.
Nek Mun menyemburkan nasi dan secubit ikan goreng dari mulutnya. Tangannya yang kurus dan keriput meraba-raba lantai beralas tikar pandan yang menjadi alas tidur sekaligus tempat ia melakukan segala aktivitas selain buang air di rumah itu. Tidak banyak tempat di rumah berlantai semen itu, hanya ada satu kamar, dan ruang yang merangkap ruang tamu dan ruang makan. Sementara dapur dan kamar mandi berada di belakang. Tubuh tuanya memang tak butuh lagi kasur empuk, asal ada tikar pandan dan kain panjang yang biasa ia gulung sebagai bantal, sudah cukup untuk tidur. Nek Mun tidak ingin terlalu merepotkan anak laki-laki bungsunya yang sudah mau menampungnya hidup.
Wajah Nek Mun–yang memang sudah keriput–terlihat mengerut. Mulutnya yang nyaris tak bergigi mendecak-decak, seperti bayi yang pertama kali mencoba bubur beras.
”Ikannya kok pahit,” keluhnya.
Tarman tengah lahap menyantap ikan goreng yang diambil dari bubu miliknya di sungai tadi pagi. Ditambah semangkuk tumisan eceng gondok yang juga ia bawa dari sekitaran sungai. Mendengar ibunya kembali mengeluhkan rasa ikan Tarman menoleh sesaat, lalu kembali pada piringnya. Ia kembali melanjutkan suapan sambil tangan kirinya menggaruk-garuk kaki dan tangannya yang sudah memerah dan mengelupas.
”Mana? Ndak ada kok. Sudah lah, Buk, makan saja, jangan banyak cincong. Kalau Ibuk gak mau sini buat aku.”
Tanpa bertanya, Tarman mencomot potongan ikan goreng dari piring Nek Mun–ibunya. Lalu tanpa bersalah melanjutkan makan, sambil terus menggaruk-garuk bagian tubuhnya yang sudah mengelupas. Beberapa bagian bahkan sudah menjadi borok yang mengeluarkan nanah kekuningan. Nek Mun hanya menghela napas, lalu kembali meraba-raba untuk menghabiskan sisa nasi dan sayur tumis di piringnya. Bayangan asap putih di matanya—yang awalnya hanya berupa titik, kini sudah menyebar hampir menutupi keseluruhan bola matanya. Ia seolah tenggelam dalam gumpalan awan putih yang hanya menutup di bagian mata.
Baca Juga: Reinkarnasi Babi
Selepas makan, Tarman meraih baju kaus usang yang sudah compang-camping di bagian bahunya. Ia lalu menyingkap tirai dan melongok ke dalam kamar, melihat istrinya yang tengah mengganti popok bayi mereka yang berumur lima bulan.
”Gimana si Kirana? Masih panas?” tanyanya sambil menyulut sebatang rokok, lalu terbatuk-batuk.
”Tadi masih muntah-muntah, Bang. Aku takut Kirana kenapa-kenapa.”
Lina–istri Tarman mengangkat bayinya, lalu memberikan botol berisi air susu yang terlihat lebih encer dari seharusnya. Bayi itu mengisap perlahan, matanya yang kecil terlihat mulai sayu dan berkedip perlahan.
”Gak apa-apa itu, biasa bayi sakit. Nanti bawa saja ke Bidan Ratih, minta puyer. Aku yakin besok juga sehat. Sudah, aku mau pergi dulu.”
Tarman menghisap kuat rokoknya, batuk-batuk lagi sebentar sambil membuang asap sekenanya. Tarman menuju teras, lalu mengambil peralatan yang disandarkannya di dinding samping rumah. Sebuah palu besar dan sebuah piringan berbentuk kuali hitam dengan permukaan yang lebih pipih. Ia kembali terbatuk, kali ini lebih keras. Lalu meludahkan dahaknya ke tanah, terlihat bercak merah ikut keluar. Segera Tarman menyekanya dengan pasir agar tak dilihat oleh istrinya. Ia duduk di sebuah bangku kayu sambil menyarungkan sepatu bot plastik yang terlihat kotor bekas lumpur yang mengering.
”Abang mau ke tambang?”
Bayi itu mengisap perlahan, matanya yang kecil terlihat mulai sayu dan berkedip perlahan.
Lina datang mendekat dan duduk di sampingnya sambil mengayunkan bayinya yang mulai terlelap di dalam gendongan kain jarik. Tarman hanya mengangguk sambil menghabiskan sisa rokok dan membuang puntungnya ke tanah, lalu menginjaknya hingga gepeng.
”Kata mahasiswa-mahasiwa yang datang tempo hari, ini semua karena tambang itu. Kita semua jadi sakit, Bang,” ujar Lina hati-hati.
Namun, selembut apa pun bahasa yang ia gunakan tak dapat menghindari tersulutnya emosi Tarman.
”Maksud kau apa?” bentaknya sambil menatap Lina dengan wajah tak ramah.
”Kemarin mereka datang ke sini, melihat kondisi Ibu, terus nanya-nanya soal air yang kita pakai sehari-hari, sumber makanan, susu si Kirana, semua, Bang. Ya itu, katanya semua penduduk sini sakit karena tambang itu. Gak berizin, dan pakai kimia berbahaya.”
”Halah, tau apa mereka? Bocah ingusan lahir kemarin sore aja sok ngomentari hidup orang. Memang mereka yang kasih kau makan? Kalau gak karena tambang itu, dari mana kita makan? Susu si Kirana memang mereka mau ngasih? Sudahlah, kalau mereka datang lagi, usir saja. Sok ngatur!”
”Tapi mereka itu mahasiswa kesehatan, Bang.”
”Tahi kucing!”
Tarman meninggalkan istri dan anaknya tanpa menoleh. Lalu menuju ke arah sungai tempat tambang yang ingin ditujunya. Tak jauh dari tepian terlihat sebuah pondok kayu yang dibangun ala kadarnya. Dari jarak beberapa meter sudah terdengar suara mesin yang memompa pasir dan batu-batu dari dasar sungai. Tarman menyapa beberapa rekannya yang sudah lebih dulu tiba. Temannya itu menoleh dan menyapa sesaat saat Tarman mencolek bahunya.
Tarman lalu menyapa bosnya yang sudah tiba. Pria berbadan tambun itu tersenyum padanya lalu memberi kode untuk mendekat. Ia memperlihatkan kerikil-kerikil kecil keemasan di tangannya dengan wajah semringah.
”Lihat, Man. Apa aku bilang, lebih banyak di sekitar sini,” ujarnya sambil menepuk-nepuk bahu Tarman yang terbuka.
Tarman ikut tersenyum. Dalam hatinya ia berharap upahnya pun ikut naik jika hasil bertambah. Selama ini ia sungkan menyinggung hal itu pada bosnya, takut kalau ia tak diajak kerja lagi. Tarman tak punya kemampuan lain. Kerja apa lagi yang bisa diharapkan di kampung ini selain tambang. Pun kalau ia menambang sendiri ke sungai belum tentu hasilnya akan sebanyak menggunakan mesin.
Halah, tau apa mereka? Bocah ingusan lahir kemarin sore aja sok ngomentari hidup orang.
Selepas melihat-lihat, Tarman kemudian kembali berkutat dengan perannya di tambang ini, memukul batu-batuan yang berukuran besar. Kerikil dan bebatuan kecil akan dimasukkan kembali ke dalam mesin untuk kembali dihancurkan dan disaring. Proses selanjutnya tentu saja pemisahan dengan pencampuran zat kimia bernama merkuri. Tarman sebenarnya mengakui kalau yang dikatakan para mahasiswa itu pada istrinya adalah betul. Namun, Tarman sendiri kurang tahu pasti apa dampaknya pada kesehatan.
Untuk mendapatkan emas murni, proses dilanjut dengan pembakaran biji emas untuk mendapatkan hasil murni yang diinginkan. Kalau menambang sendiri Tarman harus membawanya ke toko lagi, makanya ia mau ikut andil menjalankan penambangan liar ini.
***
Hari semakin sore ketika Tarman memohon diri untuk pulang. Alasan membawa Kirana ke bidan ia gunakan agar dapat pulang lebih awal. Sejak tadi dadanya sangat sesak, batuknya makin menggila. Tarman terseok-seok menuju rumah karena batuk yang membuatnya sampai terbungkuk-bungkuk menahan dada yang sesak. Beberapa kali ia terjerembab ke tanah. Pandangannya mulai berkabut. Tarman lebih mempercepat langkahnya.
”Lina!”
Baca Juga: Namaku Demensia
Belum lagi menginjak kaki di teras rumah, Tarman berteriak memanggil istrinya. Namun, tak ada sesiapa pun yang keluar. Pintu kayu rumah setengah permanen itu tertutup.
Berulang kali ia kembali memanggil, tapi nihil. Tarman pun memaksa dirinya bangkit, tapi ia memang tak menemukan siapa pun di sana, termasuk ibunya yang hampir buta. Tarman pun mulai murka, dadanya makin sesak, batuknya menggila, dan dahaknya bercampur darah yang lebih banyak dari sebelumnya.
Tarman ingat satu tempat, ia pun memaksa kembali kakinya melangkah. Benar saja, ia melihat Lina di depan puskesmas pembantu, wajahnya terlihat semuram awan kelabu.
”Lina! Setan memang, kenapa ke Bidan gak tunggu aku dulu,” repetnya.
Lina terkesiap, ia lantas berdiri dan berlari menyusul suaminya yang berjalan lambat.
”Bang, Kirana, Bang. Kirana mati, Bang ....”
Lina meraung dan berteriak seperti orang kesetanan. Sejak tadi ia berusaha menahan tangisnya. Namun, melihat kehadiran Tarman semua terluapkan.
”Jangan bercanda kau, Lina!” omelnya sambil mendorong tubuh istrinya kesal, tak percaya dengan apa yang dikatakan Lina.
Mendapat perlakuan seperti itu Lina makin histeris, beberapa orang di sekitar mendekat, berusaha menenangkan wanita itu.
”Anak kita mati, Bang. Kirana sudah mati!” pekiknya lagi.
Tarman masih tak percaya dan menepis tangan Lina yang mencoba meraihnya.
Tarman mendekati pintu klinik tempat Bidan Ratih praktik. Benar saja, di tempat itu terbaring Kirana yang sudah ditutupi kain jarik yang digunakan Lina tadi sebagai gendongan.
Di samping jenazah kecil itu terlihat ibunya yang buta meraung sambil meraba-raba tubuh cucunya.
Tarman kembali batuk, dan batuknya semakin menggila.
Depok, 29 Agustus 2023
Syifa Aimbine