Lelaki yang Melukis Awan
Hanya ada sesosok wajah wanita di tengah-tengah awan itu. Wanita tersebut adalah kekasihku, Nia.
Suasana yang awalnya hening dan senyap kini berubah menjadi semakin kencang dan bergelombang. Puluhan hingga ratusan orang di desa, setelah menyembunyikan laki-laki yang mereka ikat di sebuah tiang, para pria berbondong-bondong membawa lelaki tersebut untuk dikurung di sebuah ruangan kecil ujung desa. Hal itu terjadi karena lelaki itu sering dianggap gila oleh penduduk setempat.
Ia selalu memandang langit dengan kuas lukis di tangan kanannya, terpesona oleh keindahan wajah yang terbentang di sana. Entah hal apa yang dipikirkan lelaki itu, yang jelas saat ia berkeliling desa ia selalu memukulkan kuas lukis itu pada setiap orang yang lewat di jalan. Orang-orang menganggapnya sebagai seorang lelaki yang terlalu naif dan tidak realistis. Tetapi, lelaki tersebut tetap tak goyah dengan pendapat orang lain. Ia percaya bahwa jika ia benar-benar berusaha, ia akan bertemu dengan kekasihnya.
Sesekali ia sering bercerita kepadaku dan teman-temanku saat sedang bermain di lapangan, bercerita tentang kekasihnya yang kini telah tiada.
***
Ia selalu memandang langit dengan kuas lukis di tangan kanannya, terpesona oleh keindahan wajah yang terbentang di sana. Entah hal apa yang dipikirkan lelaki itu.
”Aku ingin kerja di Prancis. Maaf jika kita tidak bisa bersama lagi.”
Kata itu yang kudengar terakhir kali kita berjumpa. Hingga kini masih menggenang di pikiranku. Sangat sulit untuk melupakan dirimu yang dulu selalu hadir di kala sepi. Sekarang aku adalah rumput yang tumbuh di air, gampang hanyut oleh banjir.
Padahal, aku sudah berusaha mencari penggantimu. Tapi apa yang terjadi. Kau tak bisa hilang dalam benakku. Mereka, perempuan-perempuan selainmu, tidak ada yang pantas bagiku. Hanya kau seorang yang dapat mengerti perasaanku. Tapi, semenjak hari itu, kau menjadi perempuan yang tak berakal. Meninggalkanku hanyut dalam kesendirian. Andai saja aku bisa membelah tempurung kepalamu dan melihat seperti apa isinya, maka pasti akan kulakukan. Apakah segitiga? Apakah persegi? Apakah lonjong? Atau mungkin kosong? Tidak ada isinya. Aku ingin sekali membaca apa yang ada di otakmu.
”Ini kesempatan terakhir. Aku harus berangkat ke sana,” ucapmu dengan girang dan bahagia via SMS kepadaku.
Semenjak hari itu, ketika kau mendapatkan pesan singkat dari sebuah perusahaan luar negeri, sifatmu kini berubah seratus derajat. Kau merasa bak Ratu Balkis. Sedangkan aku hanya seorang budak nestapa. Setiap kata yang keluar dari mulutmu harus kuturuti. Mungkin sebagai laki-laki aku berhak merasa terhina. Tapi anehnya, aku tetap tunduk terhadap sebuah cinta palsu itu.
”Sepertinya aku akan berangkat ke Prancis besok malam. Maaf jika aku tidak sempat berpamitan denganmu. Aku harus buru-buru.” Pesan yang tak berperasaan itu menyelip di teleponku.
Baca juga: Pengasingan ke Jawa
Setelah membaca pesan itu, hati terasa terpotong berkeping-keping. Aku tidak terima jika kau memperlakukanku seperti itu. Aku harus menghampirimu. Entah bagaimana caranya. Yang jelas aku harus menemuimu untuk memperjelas janji cinta kita tiga tahun lalu. Kuhubungi nomermu, tidak ada respons. Kukirimkan sebuah surat, tidak terbalas. Rasa takut menyeruak ke dalam hati ini. Tidak sabar untuk menunggu kabarmu. Hingga kudatangi Ibumu dan menanyakan perihal dirimu.
”Sekarang ia tinggal di Hotel Casa Mea,” kata Ibumu ketika aku berada di rumahmu.
”Baik terima kasih atas informasinya, Bu.”
”Ngomong-ngomong untuk apa kau menanyakan alamat putriku? Kau mau menyusulnya? Emang kau punya uang?”
Semua pertanyaan dari Ibumu tidak sanggup aku jawab. Aku langsung beranjak pulang dari rumahmu seperti orang gila. Aku sadar, pekerjaan menjadi pelukis tidak bisa diandalkan. Tapi aku tidak akan putus asa. Kucoba melukis setiap hari. Semua yang kulihat selalu dilukis. Dari sekian banyak lukisan, tidak ada yang dapat menarik hati orang lain. Segala usaha telah dilakukan. Dari membuka galeri lukisan, hingga menyebarkannya di media sosial. Dengan harap ada orang yang tertarik dengan lukisanku. Akhirnya, ada seorang pengusaha minyak tertarik ke salah satu lukisanku. Lukisan yang menggambarkan seorang perempuan yang sedang berdiri di tepi pantai.
”Ngomong-ngomong untuk apa kau menanyakan alamat putriku? Kau mau menyusulnya? Emang kau punya uang?”
”Lukisan ini sungguh menarik. Bagaimana kalau saya beli dengan harga seratus juta?”
”Sebenarnya lukisan ini tidak dijual, Pak. Ini lukisan tentang kekasihku dan aku tidak bisa serta merta menjualnya.”
Sebenarnya sangat berat jika harus menjual lukisan itu. Akan tetapi untuk menyusul dirimu ke Prancis, mau tidak mau aku harus menjual lukisan itu.
”Baiklah, tawaran Bapak saya terima.”
Setelah menerima uang yang begitu banyak, tanpa pikir panjang kusalurkan uang-uang itu untuk membeli tiket pesawat menuju Prancis. Selebihnya akan kutabung untuk masa depan kita. Ketika pesawat terbang, bagiku perjalanan menuju Prancis sangat singkat. Mungkin karena rasa cinta ini menggebu ingin cepat bertemu.
Sesampainya di Prancis, tidaklah sulit untuk menemukan tempat tinggalmu. Tidak perlu bertanya kepada puluhan bahkan ratusan orang. Cukup bertanya ke dua atau tiga orang saja dan aku bisa berada di hotelmu.
”Apakah benar, ada yang bernama Nia di hotel ini,” tanyaku kepada seseorang resepsionis hotel itu.
”Sepertinya ada. Ia tinggal di lantai sepuluh.”
Setiap anak tangga kunaiki satu persatu. Bentuknya berundak-undak. Memerlukan tulang lutut yang kuat untuk bisa naik ke atas sana. Kupikir, kekasihku akan sehat jika setiap hari ia harus melakukan hal ini, menaiki anak tangga yang berjumlahnya puluhan bahkan ratusan.
”Apakah lantai sepuluh masih jauh, Pak?” tanyaku kepada seorang lelaki tua yang berpapasan denganku di tangga.
”Sebentar lagi. Paling tiga lantai lagi sampai.”
Kunyalakan lagi api semangat dalam dada agar aku dapat terus menaiki beberapa anak tangga lagi. Selain itu, rasa ingin bertemu dirimu seakan menguatkan kakiku menujumu. Hingga tidak terasa lantai sepuluh sudah aku singgahi.
Tanpa berpikir lama, kuketuk pintu hotelmu. Hingga beberapa menit berlalu dirimu tidak ada respon. Semakin lama kuberdiri, semakin keras tanganku mengetuk pintumu. Hingga suara dari ketukan pintu itu terdengar ke seseorang wanita yang sedang duduk di ujung balkon.
Baca juga: Ridwan Merebut Dunianya
”Ada apa ya?”
”Saya sedang mencari Nia? Apakah anda mengenalnya?”
”Sini duduk di balkon dulu, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan.”
Padahal, aku belum mengenal wanita itu. Anehnya, aku turuti saja ajakannya. Walaupun aku tidak tahu apa yang ada di benaknya. Bisa saja ia berniat memberikan informasi tentang Nia atau mungkin ingin mencelakaiku. Tidak yang tahu apa kata hatinya. Ah, yang jelas aku hanya bisa mengikuti ajakannya.
Sebuah balkon penuh bunga menjadi isi dari pandanganku. Tempatnya begitu bersih dan nyaman. Aku sempat takjub memandang berbagai bunga penghias pagar besinya. Begitu indah sehingga aku tercengang mematung. Karena aku diam saja mengamati tanamannya, ia menepuk bahuku agar aku kembali sadar,
”Sini duduk dulu!”
”Kenapa kau mengajakku ke sini? Bukankah kita belum kenal?”
”Memang, kita belum kenal. Tapi aku kasihan kepadamu. Aku akan ceritakan sebuah kisah tentang Nia.”
Ia bercerita perihal sifat Nia yang sering pulang kerja larut malam. Katanya, Nia sering pergi ke bar malam-malam. Hal itu tidak membuatku percaya dengan ceritanya. Sampai ketika ia bercerita tentang Nia yang hilang tanpa jejak pada suatu malam. Ia dan teman-temannya bahkan tidak tahu Nia di mana, tidak ada yang tahu keberadaan Nia sekarang. Bahkan, kepolisian setempat sudah mencarinya dan belum ketemu juga.
”Terima kasih atas ceritanya,” ucapku sambil beranjak dari kursi.
”Ah sial. Kenapa harus sia-sia perjalanan ini,” umpatku dalam hati sambil menjambak-jambak rambutku sendiri.
***
Baca juga: Lonceng Gereja
Aku mendengar dengan khidmat cerita yang dilanturkan lelaki gila itu. Setelah puas mendengarkan omong kosongnya, aku menatap langit dan kuambil tas yang berada di pinggir lapangan. Sebuah kanvas dan kuas di dalam tas yang dibawa dari rumah kuambil. Tangan ini bergerak sendiri. Menari mengikuti perasaanku yang sedang kacau balau.
Dari sebuah titik, timbul garis lurus dan garis lengkung yang menghasilkan sebuah lukisan. Lukisan tentang awan yang lapang tanpa bulan dan bintang. Hanya ada sesosok wajah wanita di tengah-tengah awan itu. Wanita tersebut adalah kekasihku, Nia.
***
Musyafa Asyari, Mahasiswa Prodi Manajemen Pendidikan Islam UIN Prof KH Saifuddin Zuhri, Purwokerto, Jawa Tengah. Bergiat menjadi anggota SKSP (Sekolah Kepenulisan Sastra Peradaban). Karyanya pernah terpublikasikan di beberapa media online atau cetak seperti Jawa Pos, Ma’arif NU Jateng, ngewiyak.com, cerano id, Borobudur Writers, dan lain-lain. Sekarang sedang berdomisili di Ponpes Darul Ghuroba.