Emas
Penglihatan Hatimah kian kabur. Kepalanya semakin berat. Dan tiba-tiba saja ia rasakan tubuhnya demikian ringan, melayang, bergerak menuju sosok-sosok yang memanggilnya itu.
Mencari kerang di siang hari adalah siksaan bagi Hatimah. Ia tak tahan terik. Dan seperti kali ini, dalam jongkoknya mencungkil pasir pantai surut ia menangis diam-diam.
Hanya itu cara ia melampiaskan kepedihan hatinya menghadapi nasib sebagai orang miskin, yang mengharuskannya mencari tambahan penghasilan dengan berpanas-panas seperti ibu-ibu lain di desa pantai.
Lalu kembali hatinya menyesali Maredun, suaminya yang menjadi penyebab kemiskinannya.
Dulu mereka hidup berkecukupan. Hatimah tak perlu bekerja karena Maredun seorang pengepul ikan, dengan pendapatan cukup banyak.
Tapi dua tahun lalu Maredun kawin lagi dengan Masita dengan alasan ingin punya anak, sebab Hatimah mandul. Istri keduanya ini sangat berkuasa, mengalahkan kuasa Hatimah sebagai istri tua. Dan tuntutan hidup mewahnya yang tak bisa ditolak membuat bisnis sang suami jatuh.
Masita malah pergi sebelum memberi Maredun anak. Maredun hancur, stres, lalu stroke. Hatimah-lah yang menanggung pahitnya, sebab ia yang merawat lelaki itu dalam kejatuhannya.
Hatimah mengusap air mata. Duduk lesu di atas batu karang, tatapannya menumbuk teman-temannya, ibu-ibu desa pantai yang terus jongkok mencari kerang. Sibuk mereka memungut hasil, memasukkannya ke dalam ember masing-masing, disertai canda tawa.
Tapi dua tahun lalu Maredun kawin lagi dengan Masita dengan alasan ingin punya anak, sebab Hatimah mandul.
Pandangan perempuan itu beralih mengitari bentangan pasir di sekelilingnya, yang menyilaukan, yang membuat matanya tak tahan berlama-lama menentangnya.
Tiba-tiba terbersit dalam pikirannya seandainya saja bentangan pasir itu memendam bongkahan emas. Lalu bisa ia cungkil seperti mencungkil persembunyian kerang. Menyenangkan membawa pulang barang berharga itu, yang pastinya membuat ia kaya.
Hatimah tertunduk, memejamkan mata, menggeleng-geleng, mengusir pikiran itu sebab malu pada dirinya sendiri dengan berkhayal begitu rupa.
Ia bangkit, melanjutkan pekerjaannya, dengan pasrah, tapi matanya basah.
Air matanya menitik ke dalam embernya yang masih kosong.
*
Baca juga : Pohon Larangan di Bengayoan
Maredun tak berdaya. Tubuh sebelah kanannya lumpuh total. Suaranya pun tak jelas. Seharian terbaring di kasur.
Hatimah memandangi empat ekor nyamuk mengitari lelaki itu. Malas ia mengusirnya, seperti malasnya ia malam ini memanaskan obat rempah yang biasa dibalurkan ke seluruh badan suaminya itu sebelum tidur.
Hatimah lelah, jenuh, jengkel, sakit hatinya selalu mencuat setiap usai mencari kerang. Dan harapan agar Maredun mati saja kembali mengisi kepalanya.
Sungguh, ia merasa Maredun lebih baik mati ketimbang menjadi beban bagi dirinya. Cintanya telah tergerus pada si sakit itu sejak dulu menghianatinya, dan membuatnya miskin.
Ia yang hendak berbaring duduk kembali di samping Maredun yang tertidur lelap. Telinganya menangkap sayup-sayup suara tetangganya mengaji.
Hatimah ingat dirinya sudah lama sekali tak mengaji, tak shalat. Dua tahun lebih, sejak ia jatuh miskin. Dirinya merasa tak lagi punya waktu untuk itu, sebab setiap saat waktunya habis untuk memikirkan hidupnya yang tak akan lagi bisa berubah menjadi baik. Dari pagi hingga sore ia juga menjadi buruh serabutan di pantai, kalau tak mencari kerang.
Justru Maredun yang tak henti shalat dalam ketidakberdayaannya. Hatimah tahu itu dari gerakan-gerakan badan dan bibir semampunya suaminya itu di atas kasur.
Menyeringai sinis Hatimah tiap melihatnya. Apalagi, jika Maredun seperti mengisyaratkan permintaan agar dirinya juga shalat.
Sungguh, ia merasa Maredun lebih baik mati ketimbang menjadi beban bagi dirinya.
”Kau tobat? Telat! Ternyata dalam keadaan lumpuh dan setengah bisu kau masih bisa berpikir tentang shalat,” sentak Hatimah. ”Kenapa kau tak membantuku berpikir tentang bagaimana keluar dari kesulitan hidup ini?”
Hatimah sadar bahwa isi kepalanya setiap saat hanyalah hidup yang sulit, yang disesalinya terus menerus, berkecamuk dengan impian-impian hampa tentang kembali sejahtera, kalau tak bisa kaya. Dan ia mulai berani membenar-benarkan diri bahwa tak apa ia tak shoaat, tak mengaji, sebab waktunya terlalu sedikit di tengah ”kesibukan” memikirkan kesulitannya itu, di tengah sedikitnya ia beristirahat karena mengejar uang penopang kebutuhan.
Membenar-benarkan diri pula bahwa tak durhaka dirinya mengabaikan Maredun, mengabaikan perawatannya, bahkan mengabaikan ketaatannya pada lelaki yang menurutnya telah lebih dahulu berdosa pada dirinya itu.
Bayangan bongkahan emas di balik hamparan pasir pantai kembali menggoda Hatimah.
Digeleng-gelengkan kepalanya lagi, berusaha lagi mengusir bayangan itu. Akal sehatnya menyadarkannya bahwa ia telah berpikir yang tidak-tidak.
Tapi semakin diusirnya bayangan itu, semakin lekat dan menguasai hatinya.
Perempuan itu meremas-remas kepalanya, menarik-narik rambutnya, sebagai upayanya untuk melawan kilau bongkah emas yang kini terhampar jelas di depannya.
Dan ia menangis.
**
Baca juga : Buaian Rahim Patriarki
Dua kali sudah Hatimah tak ikut mencari kerang. Ibu-ibu desa pantai meyakini bahwa dirinya sedang tak mau meninggalkan Maredun sendiri.
”Setia sekali Hatimah pada suaminya itu,” kata Base sambil memasukkan kerang ke dalam ember.
”Iya, Maredun beruntung mempunyai istri pemaaf, yang sudah ia khianati tapi tetap saja merawatnya bahkan menghidupinya dalam keadaan tak berdaya.” Itu sambutan ibu-ibu lain, senada.
Mereka tak tahu bahwa di rumahnya Hatimah sedang tergolek lemah, berperang dengan hatinya yang sudah dikuasai bayangan bongkah-bongkah emas di pasir pantai.
Hatimah terus menggeleng-geleng, meremas-remas kepala, menjambak-jambak rambutnya, berusaha agar dirinya tak dikuasai oleh bayangan emas itu, yang kini kehadirannya diikuti pula suara-suara aneh yang memanggil, seperti dari arah pantai.
Suara-suara aneh itu tak jelas, tapi nyata-nyata memintanya datang ke sana, memberitahukannya tempat-tempat bongkahan emas terpendam!
”Pergi! Pergiii!” seru Hatimah panik.
Tapi bayangan bongkahan emas itu, suara itu kian mendekat padanya.
”Tidak! Tidaaak!” jerit perempuan yang kini rambut dan wajahnya kusut itu.
Ia menangis lagi, meratap-ratap pula.
Terdengar erangan Maredun.
Gemeretuk geraham Hatimah. Membara hatinya memandang lelaki itu.
***
Suara-suara aneh itu tak jelas, tapi nyata-nyata memintanya datang ke sana, memberitahukannya tempat-tempat bongkahan emas terpendam!
Sendiri, tanpa seorang pun ibu-ibu pencari kerang lain di sekitarnya, Hatimah berjalan gontai menyusuri pantai yang terik. Tangan kirinya yang menenteng ember ia rasakan begitu lemas. Seperti badannya, yang sudah dua hari kurang mendapat asupan.
Ya, dua kali tak mencari kerang, dua hari ia tak punya uang untuk membeli kebutuhan dapur. Untung masih ada seikat kecil ubi simpanannya. Itu yang ia rebus untuk mengganjal perutnya. Maredun tak lagi terlalu ia perhatikan, sebab belakangan suaminya itu pun semakin susah menelan makanan.
Dipukul angin panas pantai ia tak kuasa melangkah. Kepalanya pening. Maka ia duduk di atas batu karang.
Menangis lagi, kali ini bukan karena meratapi nasibnya yang buruk, melainkan karena takut pada bayangan bongkahan emas yang belum juga mau hilang dari hati dan pandangannya.
Ia cemas bayangan juga suara yang memanggil itu akan membuat dirinya lupa, atau hilang kendali di pantai, hingga hal-hal buruk menimpanya. Seandainya tak dipaksa keadaan karena harus mendapat uang pembeli makanan, tak akan ia datang mencari kerang hari ini.
Perut Hatimah berbunyi. Laparnya makin terasa. Maka ia tak bisa berlama-lama duduk. Kerang harus ia dapatkan untuk nanti secepatnya dijual buat pembeli beras.
Ia melangkah lagi menuju hamparan pasir tempat biasa ia temukan banyak kerang. Angin panas memukulnya terus. Dan pening kepalanya kian keras. Tatapannya pun menjadi nanar. Pemandangan kabur.
Tiba-tiba dari arah laut bermunculan sosok-sosok putih. Banyak sekali, berdiri dengan rapat. Tak jelas rupanya. Yang pasti Hatimah melihat kedua lengan mereka masing-masing terulur ke depan dengan tangan mengepal.
”Kemari! Kemariii…!”
Penglihatan Hatimah kian kabur. Kepalanya semakin berat. Dan tiba-tiba saja ia rasakan tubuhnya demikian ringan, melayang, bergerak menuju sosok-sosok yang memanggilnya itu.
Pada jarak yang tak lagi terlalu jauh, sosok-sosok itu membuka kepalan tangannya, dan memancarlah cahaya dari sana. Cahaya dari bongkahan emas!
”Kau akan kaya! Kau akan kayaaa…!”
Baca juga : Bukit yang Tidak Selesai Dibangun
Suara sosok-sosok itu begitu riuh, tak memberi kesempatan buat Hatimah untuk mengendalikan dirinya yang sesaat sadar dengan kondisinya yang terbawa halusinasi.
Jadilah ia kian dekat dengan sosok itu, yang kini jelas-jelas sedang menyodorkan bongkahan emas kepada dirinya.
Hatimah terpana. Darahnya berdesir memandangi bongkahan-bongkahan emas di hadapannya. Maka ia pun bergerak lebih dekat.
Kini ia dan sosok-sosok itu seperti menyatu. Atau tepatnya ia seperti masuk ke dalam mereka. Tapi… ia menjadi tak bisa bernapas. Ia merasa tenggelam.
Hatimah meronta-ronta. Terus meronta-ronta dengan tangan menggapai-gapai ke atas.
Tapi, semakin meronta tubuhnya semakin masuk ke dalam sosok-sosok itu.
”Allah! Allaaah! Kak Mareduuun! Kaaak…!” seruannya tak bisa keluar karena sosok-sosok itu membekap mulut dan hidungnya.
Lalu gelap.
Sore, jasad Hatimah berhasil ditemukan oleh warga.
”Kasihan Hatimah,” ucap Base. ”Ia orang taat. Demi menghidupi diri dan suaminya ia tak peduli lagi pada waktu terlarang mencari kerang. Akibatnya Hantu Penunggu Pantai menjerumuskannya ke dalam palung.” (Sumbawa Timur, 31 Januari 2023)
Yin Ude, penulis dari Sumbawa, karyanya berupa puisi, cerpen dan artikel dipublikasikan di berbagai media cetak dan online. Telah menerbitkan buku tunggal Kumpulan Puisi dan Cerita Sajak Merah Putih (2021), Novel Benteng (2021) dan Antologi Puisi Jejak (Penerbit Lutfi Gilang, 2022). Puisinya termuat pula dalam belasan antologi bersama penyair Indonesia. Terbaru adalah Antologi Puisi Raja Kelana Komunitas dari Negeri Poci (2022).