Anjing yang Malang
Menjelang tiba di depan rumah itu, Sujoni minta berhenti, lalu ”nyelonong” begitu saja masuk. Berlinanglah kedua mata Beck.
Di satu titik batang sungai dengan alurnya yang cukup panjang, aliran airnya dibelokkan ke surge tank untuk mengisi waduk, yang logikanya sepanjang alur itu akan kering. Akan tetapi, rupanya tetap terisi air dari genangan-genangan yang bersumber dari rembesan-rembesan, juga dari mata-mata air yang besar-kecil di sekitar yang terus memancar.
Belasan orang dari kampung terdekat tak membiarkan fenomena itu. Batang-batang sungai ditata, diatur-diatur, genangan dibendung dengan lumpur dibuat kolam untuk budidaya ikan, atau dibuat kotak sawah—walaupun letak-letaknya sporadis karena terhambat batu-batu besar-kecil.
**
Kini, tanaman padi milik Sujoni sedang matang, sekitar sepuluh harian lagi akan dipanen. Padi-padi itu tumbuh baik dan normal sehat. Sujoni telah memeliharanya dengan intensif sesuai teknis budidaya bertanam padi di sawah yang diwarisi turun-temurun.
Namun seperti biasa, pada setiap padi-padi sedang bernas menguning, di waktu siang hama burung-burung pipit berdatangan mematuki. Burung-burung pipit itu bermigrasi dari sawah-sawah sekitar perkampungan. Lalu ketika malam, babi hutan kerap kali merusak, memakan padi-padi sekaligus mengacak-acak tanaman padi. Babi-babi hutan itu berasal dari hutan-hutan yang berada di atas kiri-kanan pinggir-pinggir sungai.
**
Seperti malam-malam kemarin, malam ini Sujoni akan sendirian saja di gubuk gedek mungil menjaga padi. Sujoni telah terbiasa tinggal di lokasi yang cukup jauh ke mana-mana itu, berteman dengan suasana yang sepi hingga teradaptasi, yang jangankan pada malam hari sunyi mencekam, ketika siang pun lengang senyap.
Baca juga : Makan Tak Boleh Beremah
Entah pada pukul berapa, Sujoni terbangun mendengar suara ”ngok! ngok! ngok! ngok!” babi hutan. Dengan tergesa, senter besar yang tersimpan di bawah kusen jendela satu-satunya diambilnya. Hanya bersarung, tergopoh-gopoh keluar dari pintu pendek, melewati amben sempit, lalu turun hati-hati meniti tangga gubuk.
Usai beberapa langkah kaki di jalan setapak yang dibuat dadakan di tepi sungai, cahaya senter diarahkan ke hamparan tanaman padinya. Cahaya senter telah diarahkannya berkali-kali ke berbeda arah, namun belum berhasil menemukan sesosok hewan berbulu kasar dan berkulit kasar itu. Hamparan yang meskipun relatif datar, tetapi terhalang batu-batu, cukup menyulitkannya.
”Ngok! Ngok! Ngok! Ngok!”
Suara babi hutan kembali terdengar. Sujoni tahu, nguikan barusan bukan dari babi hutan yang tadi, tetapi dari babi hutan yang lain, membuatnya lebih waspada. Saat cahaya senter diarahkan ke batas sawah di sebelah kanan dari hadapannya, di pinggir batu paling besar, terlihat rombongan babi hutan sebanyak lima ekor.
Sujoni memilih mundur, tidak mau sesuatu terjadi yang dapat mencelakai diri. Sujoni dengan setengah berlari kembali menuju gubuknya, meski ini berarti, kerusakan pada tanaman padinya akan bertambah.
**
Pagi-pagi, tanaman padinya diperiksa. Mengurut dadalah Sujoni. Tanaman padi yang diserang mencapai seperempat dari seluruh luas sawah. Dengan lunglai, tanpa sarapan, Sujoni pun pulang ke rumah, tidak menuju gubuk.
Di rumah, tampak Iroh sedang menanak nasi di dapur. Melihat suaminya datang dengan lesu, Iroh langsung bertanya, ”Ada apa Kang?”
”Aku pusing dengan nasib tanaman padi kita, saat malam diserang babi hutan. Kalau siang diganggu burung-burung pipit.”
”Aku belum bisa membantumu Kang. Kau kan tahu, aku sedang kurang begitu sehat. Aku butuh obat dan asupan makanan yang bergizi.”
”Obat, ya banyak kan di warung. Kalau makanan yang bergizi, ya jangan manja, kita kan orang susah. Kan banyak lalap-lalapan, bukankah juga sehat?”
”Iya Kang. Kita hidup miskin karena nasib juga. Kampung kita jauh ke mana-mana, dikelilingi hutan.”
”Kau punya saran tidak, agar sisa tanaman padi kita bisa selamat dari gangguan babi hutan dan burung pipit? O ya, boleh kan radio transistor itu aku pinjam dulu untuk disimpan di gubuk?”
”Sudah saja bawa anjing ke gubuk kita, agar aman. Radio itu, iya bawa saja.”
**
Sujoni tidur lagi di dalam gubuk yang sempit. Kali ini tidak sendiri, tetapi ditemani Beck, anjing hitam remaja yang didapat secara cuma-cuma dari tetangganya.
Sekitar pukul 22.00, di satu rimbun barisan tanaman padi, ada babi hutan sedang mengunyah padi. Beck yang tiduran di tangga diterangi cahaya lampu teplok terbangun karena suara kerosak-kerosak, lalu spontan menyalak, ”Guk! Guk! Guk! Guk!”
Babi hutan yang disalak bergeming, malah mengarahkan mukanya ke arah suara. Beck menjadi takut, meskipun tetap menyalak, tetapi bersiap-siap berlari.
Suara salakan yang tak berhenti membuat Sujoni yang sedang tidur bangun langsung meraih senter dan golok.
Beck tak henti menyalak.
Di luar pintu, Sujoni mengarahkan cahaya dari lampu senter ke sekeliling. Cahaya lampu terhenti di sesosok babi hutan.
”Babi hutan sialan!” Sujoni mengumpat. Babi hutan yang hanya satu ekor itu lantas berlari karena melihat golok berkilat teracung di tangan Sujoni.
Usai dirasa aman, Sujoni kembali ke gubuk meneruskan tidurnya, sedangkan Beck tetap tidur sambil berjaga di teras depan gubuk menjaga padi. Entah pukul berapa ia tidur.
Baca juga : Teman Perjalanan
**
Ketika tiba pagi, usai memeriksa tanaman padi, Sujoni membuat nasi liwet di pinggir gubuk yang beratapkan asbes. Beberapa saat kemudian, nasi liwet pun tanak. Dengan alas piring seng dan ikan asin, Sujoni sarapan. Beck, juga ikut sarapan: hasil campur baur antara nasi liwet dan ikan asin.
Usai sarapan, Sujoni menjerang air untuk menyeduh kopi. Seraya menunggu air matang, kembali ke dalam gubuk untuk meraih plastik kemasan berisi tembakau yang tergeletak begitu saja di lantai bambu.
Kertas papier dikeluarkannya, dicomotnya irisan daun tembakau secukupnya untuk dibuat rokok lintingan.
Beberapa saat kemudian, air pun matang. Gelas bambulah yang menjadi media campuran air panas dan kopi sachet. Beck juga tak lupa diberi air putih dalam mangkuk plastik untuk minum.
Sinar matahari pagi mulai meninggi. Dari arah timur, terlihat serombongan kecil burung pipit berdatangan ke arah padi sawah kepunyaan Sujoni.
Sujoni yang sedang menikmati kepulan-kepulan asap tembakau langsung berdiri, setengah berlari menuju sawahnya. Beck tak ketinggalan mengikuti. Sujoni melempar-lemparkan kerikil untuk mengusir burung-burung pipit. Sedangkan Beck seperti biasa menyalak tak henti.
Sujoni mendadak teringat pada Iroh karena biasanya Iroh-lah yang mengusir burung-burung pipit. Sedangkan Sujoni saat ini sama sekali sedang tidak punya uang untuk membeli obat-obat warung dan membeli makanan bergizi.
Namun entahlah, tiba-tiba Sujoni mendadak mempunyai ide, siang ini akan menemui seorang tengkulak untuk menawarkan tanaman padinya.
Saat menuju rumah seorang tengkulak, Beck ikut serta. Keduanya berjalan kaki memotong jalan melewati jalan setapak.
Transaksi tak terjadi, harga terakhir terlalu murah. Sujoni menjadi marah.
Sujoni terus berpikir: bagaimana caranya agar siang ini bisa mendapatkan uang untuk membeli obat dan makanan yang bergizi. Ah tetapi, Sujoni merasa buntu untuk berpikir.
Kali ini di jalan aspal, seraya berjalan untuk pulang ke rumah, muncul ide baru di kepala, akan menemui seseorang di satu rumah berpagar seng tinggi. Di tepi jalan, Sujoni numpang mobil pickup, berjongkok di bak, Beck pun turut serta.
Menjelang tiba di depan rumah itu, Sujoni minta berhenti, lalu nyelonong begitu saja masuk. Usai transaksi, Sujoni menerima uang, yang ternyata dari seorang pengepul anjing. Berlinanglah kedua mata Beck. Beck anjing yang malang.
(Bandung, Juli 2023)
***
Gandi Sugandi
Alumnus Sastra Indonesia Unpad tahun 2000. Saat ini bekerja di Perum Perhutani Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) Bandung Selatan. Telah menerbitkan buku kumpulan cerpen berjudul Keluarga Seni.