Kunci mobil dan tumpukan uang didorong hingga semakin dekat denganku. Hantu kegagalan meniupkan bisik ke telinga. Ingatakanku terlempar pada kesuksesan kedua kakak, pada ekspresi Ibu saat melihat mobil baru kakak.
Oleh
Rizqi Turama
·8 menit baca
Dari tiga anak Ibu, akulah satu-satunya anak yang gagal. Kakak pertama sudah jadi manajer di sebuah perusahaan multinasional. Rumahnya besar dengan tiga mobil mewah berjajar di garasi. Kakakku yang kedua bekerja di tambang minyak. Ia pulang ke rumah sebulan sekali. Di saat itu ia hampir selalu membeli jam tangan baru, ponsel baru, atau barang-barang baru lainnya. Aku sendiri bekerja di sebuah kantor pemerintah daerah yang diangkat sebagai pegawai negeri bukan karena lulus tes, melainkan karena masa pengabdian yang sudah terlalu lama. Meskipun begitu, Ibu selalu bilang, ”Jangan risau. Hal-hal yang begitu bukan masalah bagi Ibu.”
Aku tahu bahwa kasih Ibu seperti cahaya bintang yang bisa menenangkan di saat gundah dan bisa jadi petunjuk saat tersesat, tetapi fakta bahwa aku orang gagal tetap menghantui setiap hari. Hantu itu semakin membesar dan menggelayuti tengkukku setiap jadwal rutin berkumpul di rumah Ibu tiba. Kedua kakakku selalu membawa dan memberikan oleh-oleh. Ibu selalu menyambut dan menerima oleh-oleh tersebut dengan senyum mengembang penuh, raut ceria, dan mata berbinar. Aku tentu juga membawa sesuatu, biasanya martabak manis dengan isian cokelat kacang. Kadang-kadang aku juga membawa benda atau makanan ringan lain. Akan tetapi, barang-barang yang kubawa pasti kalah pamor dibanding barang-barang bawaan kakak-kakakku.
Mungkin cuma perasaanku saja, tapi aku melihat ekspresi Ibu tak sama ketika menerima bawaan-bawaanku. Senyumnya tak penuh, raut cerianya meremang, dan binar pada matanya memudar. Hal itu kecil memang, namun terasa benar membuat bisikan hantu kegagalan semakin memberat di tengkukku. Sepertinya hal tersebut disadari oleh Ibu yang sering menguatkan, ”Pemberian dari anak selalu membuat Ibu tua macam aku merasa terharu. Apa pun pemberian itu.”
”Kalian bertiga pun tak perlu memaksakan diri untuk terus membawa oleh-oleh ketika berkumpul. Ibu sudah tua,” lanjut Ibu, ”tak ada lagi yang benar-benar diperlukan di usia tua ini, kecuali kesempatan mensyukuri hidup. Toh tak lama lagi juga hidup ini harus kutinggalkan.”
Ibu akan tersenyum melihat wajah kami yang merajuk setiap ia membahas soal kematian. Lalu pembicaraan akan dibelokkan ke mana saja agar kami tak merajuk lagi. Mungkin soal tetangga yang membeli kulkas baru, anak tetangga yang belum lama pulang dari berlibur di Bali, atau cucu tetangga yang tak jadi ditilang karena ternyata bapaknya pejabat di kepolisian daerah. Pembelokan cerita seperti selalu membuat anak-anak ibu kembali tertawa riang, kecuali aku.
Menjadi pegawai negeri rendahan di sebuah kantor kecil yang sama sekali tidak ’basah’ bukanlah sesuatu yang menyenangkan secara ekonomi, tetapi cukup kunikmati. Dari tahun ke tahun aku hanya perlu mengerjakan tugas rutin dengan benar. Tak ada bonus dan uang lembur, tetapi juga tidak ada beban tambahan. Seharusnya itu semua sudah lebih dari cukup. Aku telah mencapai sebuah posisi yang bagi sebagian orang hanyalah mimpi. Akan tetapi, pencapaian kedua kakakku membuat semua itu menjadi seolah tak berarti.
Meskipun sering kali diiringi dengan rutukan dalam hati, aku tetap berusaha mengerjakan semua tugas hingga selesai. Alasannya jelas karena aku tak mau kehilangan pekerjaan yang telah berada dalam genggaman. Dengan posisi yang begini saja aku bisa merasa gagal, apalagi jika pekerjaan ini lepas dari tangan. Singkatnya, aku tidak rajin, tetapi memaksakan diri terus bekerja. Rajin yang terpaksa itu pun sebenarnya tak bisa dikatakan betul-betul rajin karena pekerjaan di kantorku sangat jauh dari kata ‘banyak’.
Entah karena bagusnya pekerjaan yang dilakukan atau karena memang tidak ada orang lain, aku diangkat menjadi sekretaris kantor. Sesuatu yang membanggakan. Aku langsung menceritakannya pada Ibu saat pertemuan rutin. Senyum wanita itu mengembang mendengarnya. Hatiku bungah. Dibelainya kepalaku. ”Berarti sudah makin pandai kau cari uang?”
Aku tertegun mendengar ucapan Ibu. Memang ada peningkatan pemasukan, tapi jumlahnya tak sampai sepuluh persen. Jumlah itu betul-betul tak ada apa-apanya jika dibandingkan pemasukan kakak-kakakku. Sungguh aku bingung harus bereaksi seperti apa untuk menjawab pertanyaan Ibu. Akhirnya aku hanya bisa mengangsurkan martabak manis dengan isian keju—bukan cokelat kacang—sembari tersenyum.
”Wali kota masih yang lama?” kakakku yang pertama tiba-tiba buka suara.
Aku jawab dengan anggukan kepala.
”Susah kalau masih dia. Semua orang juga tahu dia tertarik cuma pada olahraga. Dinas tata kota nggak akan pernah dilirik. Kau baru bisa berharap kalau wali kota sudah ganti.”
Aku merasa tidak perlu merespons karena ucapan kakak pertama betul belaka. Bekerja di dinas yang dianaktirikan memang tidak akan membuat kantungmu penuh. Tidak ada proyek apa pun. Tidak ada pekerjaan apa pun, kecuali tugas rutin. Tidak ada pemasukan tambahan dan tiba-tiba aku merasa naik pangkat ke sekretaris di dinas itu tak ada maknanya sama sekali.
”Sudah. Tidak apa-apa. Kau sudah naik jabatan pun Ibu sudah senang,” kata Ibu dengan binar mata yang memudar, ”lagi pula di usia segini apalagi yang Ibu cari?”
Setelah itu, Ibu membahas sepupu kami yang baru pulang dari naik haji untuk yang kedua kalinya.
Waktu membuktikan bahwa ucapan kakak pertamaku betul dan salah di saat yang bersamaan. Ia betul bahwa saat wali kota berganti, kantor tempatku bekerja tak lagi jadi anak tiri. Taman dan hijau kota mulai diperhatikan. Titik-titik yang dulu terbengkalai dan kurang sedap dipandang mulai dibenahi. Di saat yang bersamaan, pendapat kakakku salah karena sama sekali aku tak bisa berharap soal keuangan. Pekerjaan semakin banyak, tapi uang yang masuk tetap sedikit. Aku juga heran dengan hal itu.
Kepala kantor kami tiba-tiba diganti dengan orang baru. Dalam waktu satu tahun ia sudah bisa membeli mobil baru. Di tahun berikutnya ia mengajak keluarganya liburan ke luar negeri. Sementara itu, sebagai sekretarisnya, aku tetap begini-begini saja. Hal yang berubah hanyalah makanan yang kubawa ke tempat Ibu tak pernah lagi martabak kacang, sebab aku selalu membeli martabak komplet.
Aku bingung. Sungguh-sungguh bingung. Sampai suatu hari di tahun ketiga, kepala kantor mengajukan cuti karena akan berangkat umroh sekeluarga. Aku pun ditunjuk sebagai pelaksana tugas harian. Dengan wajah penuh ancaman—hal yang menurutku tak seharusnya dilakukan oleh orang yang akan melakukan perjalanan religius—ia berujar pelan padaku, ”Kerjamu selama ini bagus, tapi jangan berpikir macam-macam selama aku pergi.”
Sebetulnya aku tidak mengerti dan tidak mau ambil pusing atas ucapannya itu. Akan tetapi, seminggu kemudian turun instruksi dadakan dari wali kota untuk melakukan pengadaan barang terkait perbaikan total terhadap taman kota yang ada di selatan. Ia melakukannya karena ada laporan kerusakan dari warga dan laporan tersebut tiba-tiba saja viral di media sosial. Instruksi itu bersifat segera dan urgen sehingga sebagai pelaksana tugas selama kepala kantor pergi, akulah yang mengambil peran.
Lelang pengadaan diumumkan dan hanya dalam hitungan jam seseorang datang lalu duduk di kursi di hadapanku. Wajahnya ramah meskipun senyumnya terlihat dipaksakan. ”Kuharap kau bisa bekerja sama dengan kami seperti Pak Kepala Kantor,” ujar lelaki itu tetap dalam senyum. Tangannya kemudian menyorongkan segepok uang merah dan sebuah kunci mobil.
Ia lalu mengajakku melihat jendela yang ada di sebelah kiri. Dari jendela itu terlihat sebuah Fortuner berwarna putih bersih. Platnya juga putih. Kursi-kursi di dalam mobil itu masih terbungkus plastik bening. ”Ini semua untukmu. Bukan untuk Pak Kepala Kantor seperti biasa,” ia lanjut tersenyum sembari mengeluarkan sebuah kartu bertuliskan nama perusahaan, ”tetapi ingat nama ini untuk lelang nanti.”
Degup jantungku terasa begitu cepat sampai-sampai aku sendiri bisa mendengarnya. Kutolehkan kepala ke mobil di luar sana, lalu kepada orang dengan senyum di wajahnya. Begitu terus hingga tiga kali. Entah bagaimana rupaku saat itu. Satu hal yang pasti, si lelaki berujar lagi, ”Kami memang memberi sedikit lebih banyak dibanding yang biasa kami berikan pada Pak Kepala Kantor karena ini salam perkenalan untukmu. Ambillah!”
Kunci mobil dan tumpukan uang didorong hingga semakin dekat denganku. Hantu kegagalan meniupkan bisik ke telinga. Ingatanku terlempar pada kesuksesan kedua kakak, pada ekspresi Ibu saat melihat mobil baru kakak, juga pada martabak demi martabak yang selalu kubawa di pertemuan rutin di rumah Ibu. Khayalanku membentuk sebuah gambaran sosok aku yang tengah mengendarai mobil putih nan gagah dan memarkirkannya di halaman rumah Ibu. Lalu aku turun dan menyodorkan sebuah jam tangan indah seharga motor baru kepadanya. Senyum Ibu akan penuh. Wajahnya akan ceria. Matanya akan berbinar. Lalu diusapnya kepalaku perlahan-lahan dengan rasa bangga.
Untuk terakhir kalinya aku tolehkan kepala pada mobil putih di luar sana. Kutarik napas dalam-dalam dan kubalas senyuman lelaki yang dari tadi tersenyum kepadaku.
Untuk pertama kali setelah sekian tahun, aku merasa tak ada beban ketika jadwal rutin berkumpul di rumah Ibu tiba. Aku tetap begini-begini saja. Tak ada mobil baru. Tak ada uang yang banyak. Tak ada perhiasan mewah. Senyum Ibu tetap tak penuh. Keceriaannya tetap meremang. Binar matanya tetap pudar melihat bawaanku yang tak lebih dari martabak manis. Tak ada apa pun yang berubah kecuali perasaan di dalam dadaku. Aku tidak lagi merasa sebagai orang gagal kali ini. Hantu yang memberati tengkukku telah menguap. Ia menghilang, seperti senyuman lelaki itu ketika meninggalkan ruanganku.
Rizqi Turama, Dosen Universitas Sriwijaya. Lahir di Palembang, 4 April 1990. Pernah mengikuti workshop cerpen Kompas tahun 2016. Ia pernah memenangi beberapa lomba penulisan cerpen. Dua buku terbarunya berjudul Aku dan Jogja Pukul Dua dan Yang Lebih Bijal
Made Somadita Lahir di Tabanan, Bali 1982. Lulusan ISI Denpasar ini tinggal dan bekerja di Denpasar, Bali. Sejak 2002 setidaknya sudah lima kali pameran tunggal, dan pameran bersama di beberapa negara Asia, dan Eropa. Pernah mengikuti program residensi seni dalam kurun waktu 2011-2015 di Thailand, Perancis, Belanda, dan India.