Kabar Gembira
Ibrahim sering duduk melamun di depan rumah sakit membayangkan wajah ibunya. Dia ingat sering berkata kasar pada Zuryati dan pernah mendorong perempuan itu hingga jatuh dan hampir saja menendangnya.
Saat Sarah hamil enam bulan, Ibrahim mimpi didatangi segumpal daging. Ibrahim menjerit saat benda merah keruh itu melayang-layang di depan mukanya. Dia menunduk dan melihat dadanya telah berlubang. ”Bagaimana mungkin tak ada darah?” katanya.
Ibrahim coba mengejar dan menangkapnya, tapi tak berhasil juga. Segumpal daging yang dikejar Ibrahim telah masuk ke perut istrinya.
Dengan perasaan linglung, Ibrahim terbangun. Lelaki kurus bertubuh jangkung dan berambut keriting itu tak berani menceritakan mimpinya pada siapa pun, termasuk pada istri, bahkan pada bayangannya sendiri.
Ibrahim, sehari-hari bekerja sebagai guru agama di SMA swasta di daerahnya, senang sekali dengan kisah-kisah para nabi. Dia sangat senang dengan dialog Nabi Musa dengan Tuhan. Dialog itu terus mengendon di kepalanya, meronggok di hatinya. Musa, dalam buku yang Ibrahim baca, pernah bertanya kepada Tuhan, ”Di mana aku bisa mencari-Mu?” Tuhan menjawab, ”Carilah Aku di antara orang-orang yang hancur hatinya.”
***
Anak kami lahir di usia kandungan 8 bulan. Beratnya 2 kilogram. Meski begitu, aku tetap merasa sempurna sebagai perempuan, sebagai istri, sebagai ibu baru bagi si bayi.
Bang Ibrahim memberinya nama Sabili. Artinya jalan dan pesona, katanya, setiap kali menjawab pertanyaan saudara dan tetangga yang menanyakan arti nama itu.
Di tengah larangan pemerintah untuk keluar rumah, di sela-sela mengajar dari rumah, Abang selalu menyempatkan diri untuk bermain dengan Bili. Dia bermain cilukba saat menjemur bayi kami di bawah matahari jam 8 pagi. Membacakan dongeng 25 nabi saban malam Jumat atau melantunkan selawat setiap kali selesai shalat. Tak cuma itu, pada Senin malam, Abang rajin mengisahkan tentang dua malaikat yang membelah dada Muhammad kemudian mengeluarkan segumpal daging dari sana. Segumpal daging yang dicuci dengan air suci kemudian dimasukkan ke dada Muhammad lagi.
”Ceritakanlah tentang kelinci atau buaya,” kataku.
”Pagi tadi Abang sudah melakukannya. Abang jadi kelinci dan buaya. Jadi kucing dan mobil tua. Abang ceritakan padanya tentang kisah-kisah lucu dan gembira.”
”Ceritakan lagi. Aku mau melihatnya.” Aku tertawa menggodanya.
”Besok saja. Khusus malam ini Abang mau cerita tentang Pembawa Kabar Gembira.”
”Ya, ya. Yang penting Abang bahagia.” Aku berkata tanpa melihatnya karena sedang menyusui Bili.
Bili, anakku, seperti terbuat dari campuran rasa bangga dan haru. Kelahirannya menjadi gairah bagi keluargaku yang semuanya perempuan: aku, ibu, dan empat adikku. Ismail, ayahku, sudah meninggal dan tak sempat menyaksikan anak-anaknya menikah. Dulu, sebelum meninggal, ayah sering bilang padaku ingin punya cucu laki-laki supaya bisa diajak shalat di masjid.
”Ini pengganti kakeknya, kebanggaan kita semua,” kata Abang, suatu malam, saat aku kembali mengenang keinginan ayah.
Aku mengangguk pelan, lantas tersenyum, dan perlahan tertawa geli karena melihat Bili ngompol dan membasahi kaus Bang Ibrahim. Abang menyusul tertawa sebelum meletakkan anak kami ke kasur, mengganti popok Bili, lalu mengganti kaus Abang sendiri.
Sebagian besar keluarga kami, demi alasan kesehatan, tak diizinkan menemui Bili. Mereka semua berjumpa dengan Bili lewat panggilan video. Zuryati, ibu Bang Ibrahim, selalu mencium layar ponsel sebelum mengakhiri panggilan.
Saat Bili berusia empat bulan, keluarga besar kami, terutama nenek Zuryati, terpaksa harus mengurangi kebiasaannya menciumi layar ponsel. Di usia itu, Bili jadi gampang kaget dan mudah menangis di malam hari.
Aku dan Bang Ibrahim cepat kesal setiap kali melihat Bili menolak diberi ASI. Kami heran, kenapa kami menjadi orang yang tidak sabar.
Maryam, ibuku, meminta aku tetap tenang. Dia menyuruhku membawa Bili ke rumah sakit daerah.
Kebanggaan Bang Ibrahim dan kebahagiaanku berangsur luntur ketika dokter mengatakan bahwa Bili mengalami anemia berat. Hemoglobinnya 6,4.
”Anak bapak-ibu harus transfusi.”
Bang Ibrahim berdiam diri.
”Baik, Dok.” Aku menjawab datar.
Dokter berkata lagi bahwa Bili harus dirawat inap. Kami berdua tak bisa menolak.
Bili keluar dari rumah sakit daerah pada hari kedua belas. Dia masih lincah dan suka tertawa, meskipun mulai sayu di bagian mata.
Nenek Maryam, yang semula tenang karena telah melahirkan 5 anak perempuan, mulai takut dan bimbang. ”Badan dan matanya makin kuning. Segera dibawa ke Jakarta saja.”
”Takut korona,” kataku.
”Yang penting ikuti protokol kesehatan. Aman,” kata ibuku yang sehari-hari bekerja sebagai dokter paru di sebuah rumah sakit daerah.
***
Sejak tiba di Jakarta dan susah payah mencari kontrakan, selain mencuci dan menjemur pakaian Sabili, Ibrahim seperti kehilangan waktu luang untuk membacakan dongeng lucu dan kisah-kisah para nabi. Dia lebih sibuk membereskan kontrakan dan tetek bengek administrasi rumah sakit. Selawat tetap dibaca selesai shalat, tapi tak dibacakan atau dinyanyikan lagi untuk Sabili.
Sementara itu Sarah, perempuan bertahi lalat sebesar biji selasih di ujung hidungnya yang sedikit mancung, lebih sering menangis diam-diam di kamar mandi saat Sabili tidur atau sedang digendong oleh Ibrahim.
***
Setelah menginap beberapa malam di kamar kontrakan, pada suatu pagi, kami pergi ke Rumah Sakit Nasional. Nama Bili dipanggil suster. Kami masuk ke ruang dokter. Seusai pemeriksaan yang cukup lama, dokter Kencana mengatakan bahwa Bili mengidap atresia bilier.
”Atresia bilier?” Abang mengulangi. Pertanyaan itu membentur maskernya sendiri.
”Iya, gangguan fungsi hati. Maaf, ini bukan kabar gembira untuk Bapak dan Ibu.”
”Penyebabnya, Dok?” kataku.
”Sulit menjawab pertanyaan ibu. Yang pasti ini adalah kondisi bawaan lahir, di mana saluran dari hati ke kantong empedu tidak terbentuk normal dan dengan cepat akan menyebabkan sirosis atau kerusakan hati. Limpa dan hati anak ibu sudah mulai rusak.”
Aku tak peduli dengan ucapan dokter. Kepalaku pusing. Pikiranku melantur. Aku mau Bili panjang umur.
”Golongan darah siapa yang sama dengan si bayi?”
”Suami saya, Dok,” kataku.
Bang Ibrahim berdehem.
”Bapak sering minum alkohol?”
”Dulu iya. Sekarang tidak. Sudah berhenti sembilan tahun lalu.” Abang terbatuk.
”Suka merokok?”
”Suka, Dok,” kataku.
Abang mencubit pahaku.
Dokter Kencana menggeleng. ”Sebagai calon pendonor hati, bapak harus berhenti merokok dan rajin olahraga.”
”Siap, Dok,” kata Bang Ibrahim dengan nada kurang yakin.
”Baik,” dokter Kencana bergantian menatap kami, ”Saya sudah hubungkan anak bapak-ibu ke poli Gastro Hepato. Ikuti semua langkah yang diminta dokter poli.”
”Iya, Dok. Terima kasih,” kataku.
”Kembali.”
Kami bertiga pamit keluar.
Selesai menebus obat di apotek, kami membawa Bili pulang ke kontrakan.
***
Selama Agustus sampai September, Sabili menjadi sangat rewel. Perutnya makin buncit dan bayangan hitam tampak jelas di bawah sepasang matanya. Hal itu terjadi pula di sepanjang Oktober, di mana Sabili harus menjalani rawat inap di Rumah Sakit Nasional karena demamnya tak pernah turun selama sebulan. Padahal jenis antibiotik yang diberikan sudah bermacam-macam. Tapi tetap saja si bocah belum dapat disembuhkan.
Di saat-saat seperti itu, Ibrahim justru sering duduk melamun di depan rumah sakit sambil membayangkan wajah ibunya. Dia ingat sering berkata kasar kepada Zuryati dan pernah mendorong perempuan itu hingga jatuh dan hampir saja menendangnya karena si ibu marah lantaran Ibrahim berani menjual rumah mereka. ”Maafkan saya, Bu,” kata Ibrahim saat tersadar bahwa dirinya sedang duduk melamun di depan rumah sakit itu. Permintaan maafnya membentur trotoar, kendaraan, dan akhirnya terbang keawan.
Ibrahim menghela napas, mungkin teringat lagi pada operasi cangkok hati yang biayanya sangat tinggi.
Suatu malam, di akhir Desember, tak jauh dari Rumah Sakit Nasional, tepat di dalam kamar kontrakan yang pengap dan sumpek, setelah menelepon Zuryati, Ibrahim berdoa kepada Tuhan. Dia minta agar dosa-dosa masa lalu kepada ibunya itu diampuni. Dia minta juga supaya Sabili dan anak-anak yang masih hidup diberikan umur panjang. Ibrahim memejam, wajah anak-anak yang setiap minggunya meninggal terbayang; 12 anak meninggal dalam rentang waktu tiga bulan. Meja operasi cangkok hati belum dibuka selama pandemi. Air mata Ibrahim tumpah tanpa bisa ditahan lagi.
Ibrahim tertidur dan terjatuh di alam mimpi. Dalam mimpi itu dia melihat lagi segumpal daging melayang-layang. Dia kembali mengejar dan ingin menangkapnya. Tapi si daging pandai menghindar, lantas melayang keluar lewat jendela kamar.
Sampai di suatu tempat, segumpal daging itu berhenti dan masuk ke dada Sabili. Ibrahim berjalan cepat mendekati anaknya. Tapi langkahnya terhenti karena tiba-tiba melihat sesosok makhluk datang dan merogoh dada Sabili. Makhluk bersayap cahaya purnama itu dengan cepat mengambil segumpal daging tadi lantas melesat terbang ke langit tinggi. Ibrahim menjerit-jerit tak terkendali. Dia berlari menghampiri Sabili.
Saat hendak memeluk tubuh anaknya di dalam mimpi, Ibrahim terbangun dengan keringat mengucur. Dia bangkit, lalu mengelap keringat di jidatnya yang berjerawat. ”Mimpi itu lagi,” katanya.
Setelah mencuci muka dan duduk di tepi ranjang, ponsel pintar Ibrahim yang diletakkan di kasur berbunyi. Dia meraih ponsel, lantas membuka pesan baru di ponsel itu.
Bili sudah sembuh, Bang. Ibrahim membaca pesan dari Sarah.
Wajah Zuryati terbayang lagi, demikian pula wajah Sabili dan anak-anak yang sedang mengantre operasi cangkok hati. Mungkin sekarang dia mengerti pada petanda mimpinya sendiri. Mungkin sekarang dia sadar apa maksud jawaban Tuhan saat ditanya oleh Musa: Carilah Aku di antara orang-orang yang hancur hatinya.
Ibrahim bergegas ke rumah sakit menemui Sarah.
Sarah duduk diam seolah kehilangan tulang belulang ketika Ibrahim tiba.
Sementara itu Sabili tertawa gembira saat Izrail membopongnya menuju pohon tuba yang konon banyak ditanam di dalam surga.
Lampung, 2021-2022
Yulizar Lubay, lahir di Lampung, 24 Juli 1986. Cerpennya yang berjudul Kisah Sinta dimuat di Kompas.Id. Cerpen lainnya, Ikan-Ikan dan Jalanan yang Berlubang, meraih juara ketiga dalam sayembara penulisan kreatif Mastera Malaysia, 7 Oktober 2021. Payung Dara adalah novela perdananya, terbitan Lampung Literature, 2018. Sehari-hari bergiat di Kober (Komunitas Berkat Yakin) Lampung sebagai aktor teater.
Isa Perkasa, lahir di Majalengka, 21 Juni 1964. Pada 1997 mengikuti residensi seniman di Tsuna, Jepang, lalu pada 1999 di Pacific Bridge Gallery, Oakland, California, AS. Sejak 1992 rajin ikut pameran, baik tunggal maupun gabungan. Isa dikenal rajin membentuk kelompok performance art. Mulai tahun 2019 menduduki jabatan Ketua Institut Drawing Bandung serta kurator pada Galeri Pusat Kebudayaan, Bandung. Tahun 1989, karyanya masuk lima besar Philip Morris Indonesia Art Award di Jakarta. Lalu masuk lima besar dan Juror’s Choice Philip Morris Asia Art Award di Hanoi, Vietnam.