11. Hatiku. Hatiku.
Lelaki Lambhorgini berhadapan dengan Marti di sebuah sudut kafe. Mereka menghadapi minumannya masing-masing. Ada pemain piano di sudut lain.
”Kamu dulu menantang aku serius. Sekarang aku sudah serius, bahkan sudah bercerai dari istriku demi kamu. Malah sekarang kamu tidak serius.”
”Tidak pernah ada yang serius selama ini.”
”Aku serius.”
”Seberapa serius?”
”Kawin. Apa yang bisa lebih serius dari itu?”
”Kenapa kamu mau kawin sama aku?”
”Pertanyaan apa ini? Kenapa kamu masih harus bertanya lagi.”
”Lho, kamu mau kawin sama aku kan? Kenapa aku tidak boleh bertanya?”
”Apa aku harus jawab ’aku cinta padamu’ seperti dalam sinetron?”
”Jawab apa saja kèk. Aku kan seorang profesional. Aku akan memperhitungkan apa pun yang kuberikan padamu.”
”Baik. Aku ingin kawin sama kamu karena aku cinta padamu.”
Baca juga: Marti & Sandra (Bagian 8)
Marti menenggak margarita, pinggiran gelasnya segera berlipstik. Melihat lipstik pada gelas itu saja si lelaki Lambhorgini sudah merasa panas dingin.
”Bukan karena mau gratis?”
”Gila kamu! Kamu ingin namamu tercatat dalam semua perusahaanku. Begitu? Kamu ingin setengah dari seluruh kekayaanku?”
”Setengah? Aku ini akan kamu sebut istrimu.”
”Baik. Seluruh milikku adalah milikmu juga. Puas? Sekarang, kapan kita kawin?”
”Kapan? Apa aku sudah bilang setuju?”
”Kamu tidak mau kawin sama aku?”
Lelaki Lambhorgini mendesak dengan bernafsu. Marti menyandarkan punggungnya. Mendongak. Memejamkan mata. Berpikir.
”Sebentar. Sebentar.”
”Kamu belum memutuskan apa-apa?”
”Sudah kubilang aku seorang profesional. Aku harus memperhitungkan semuanya.”
”Apa lagi yang kamu perhitungkan? Dari segi pemasukan sudah jelas kamu tidak rugi. Malah bertambah. Sekarang kamu bukan cuma punya mobil, rumah lengkap dengan kolam renangnya, dan punya villa. Kamu sekarang juga punya bank, punya perusahaan garmen, punya peternakan, punya perkebunan, punya areal HPH. Belum lagi perakitan mobil, usaha pengolahan limbah, dan supermall.Lho, kurang apa lagi?”
Marti menunjuk dadanya.
”Hatiku. Hatiku.”
”Hatimu? Kamu seorang profesional bukan? Kamu pikirkan saja untung atau rugi.”
Marti menatap lelaki itu dengan tajam. Menyulut rokok, menghembuskannya.
”Bahkan seorang profesional pun punya hati.”
”Jadi kamu tidak akan memutuskannya sekarang?”
Marti menggeleng, menenggak minuman.
”Kenapa?”
”Karena aku tidak mencintai kamu.”
Lelaki itu tampak terkejut, tapi menahan perasaan.
”Aku seorang profesional,” lanjut Marti, ”kujual tubuhku, tapi tidak kujual hatiku. Kita ke atas sekarang? Besok pagi-pagi sekali aku sudah harus ada di Singapore.”