Marti & Sandra (Bagian 7)
Sandra mengerjapkan mata. Merasa seolah-olah melihat ibunya di antara mereka yang berada di dalam kaca, dengan sebuah nomor di dadanya.
8. Akuarium
Barangkali tidak ada satu pun yang bisa berdansa di situ. Sebagian pasangan cuma berpelukan. Lengket seperti ketan. Dalam keremangan, salah seorang pramuria mengantarkan tamunya duduk, dan melangkah ke arah toilet.
Ia terkejut melihat Sandra di gang menuju toilet. Sandra sudah mengisap jempolnya.
”Anak siapa ini? Kok ada di sini?”
Mami muncul, langsung menggendong Sandra.
”Yuk, kita pulang Sandra, sudah terlalu malam untuk kamu sekarang.”
”Anak siapa sih?”
”Si Marti.”
Pramuria itu berbisik.
”Bapaknya?”
Namun, Sandra mendengar, meski tidak menoleh, cuma melirik.
”Mana aku tahu!”
”Kok dibawa ke sini?”
”Apa harus kutinggal di rumah? Bagaimana kalau diperkosa orang? Zaman sekarang, anak ingusan pun diperkosa.”
Pramuria itu menggoda Sandra.
”Aih! Aih! Anak siapa ini? Udah ngantuk ya? Siapa namanya?”
Sandra sudah terkantuk berat digendong Mami.
”Sudah. Sudah. Anak ini akan jadi bener. Jangan diganggu.”
”Apa pula hubungannya?” Pramuria itu menggerundel, ”Pan nggak semua hostes jualan kayak Marti.
Baca juga: Marti & Sandra (Bagian 6)
***
Mami menggendong Sandra menyibak orang-orang yang memenuhi klab malam. Kepala Sandra tergantung di bahu Mami. Dalam keadaan sangat mengantuk matanya melirik sesuatu di hadapannya. Cahaya lampu menyinari wajah Sandra.
Tampak para pramuria dalam ruang kaca dari sudut pandangan Sandra yang makin menjauh. Mereka mengenakan nomor yang besar di dada, bersikap tahu sedang dipandang dari balik kaca. Ada yang bersikap menggoda, ada yang menyisir rambut, ada yang menunduk saja, ada yang membaca, ada yang merajut.
Sandra mengerjapkan mata. Merasa seolah-olah melihat ibunya di antara mereka yang berada di dalam kaca, dengan sebuah nomor di dadanya.
Menembus kabut asap rokok, dalam gendongan Mami, ia melihat semuanya yang tidak perlu dilihat, sampai Mami berada di luar.
”Taksi!”
9. Geisha
Marti wajahnya dirias seperti riasan klasik Jepang. Dalam sebuah ruangan yang luas dengan teras terbuka seorang lelaki bertelekan siku, tidur-tiduran di bawah mengenakan kimono. Menghadapi botol sake dan gelas kecil. Ia menonton Marti yang sedang menari Kabuki-kabukian. Marti bukan hanya dirias, tapi rambut, busana, dan segalanya mirip wanita tradisional Jepang. Marti memegang kipas, bergerak pelan seperti menari, dan menyanyi dengan tekanan sedih.
”Sa-ku-ra … sa-ku-ra …”
Marti menari perlahan-lahan, wajahnya tampak sedih. Namun, setelah lagu itu berakhi,r ia tertawa binal. Dengan langkah terseok karena busana itu Marti mendekat, duduk bersimpuh di dekat lelaki itu.
”Tuan tahu lagu itu kan?”
”Haik! Itu ragu suda terkenar. Tapi dengar ragu itu jadi susa ha? Kita nyanyi karaoke saja ka?”
”O, saya tidak suka karaoke Tuan.”
”Ha? Kenapa?”
”Karaoke suka bohong. Kita pikir kita bisa nyanyi, padahal tidak bisa. Bohong kan?”
”Ah, suda rah. Kita orang semua suka main bohong-bohong. Orang Jepun juga suka bisnis pakai bohong-bohong. Kalau tida bohong, nanti tida bisa bisnis ha? Bohong tidak apa-apa. Bohong itu cuma permainan.”
”O, begitu? Jadi Tuan juga berbohong kepada istri Tuan?”
”Oh? Kita orang Jepun tida usa bohong ya? Di Jepun semua istri suda tahu ada geisha ya? Kita orang lelaki, suami-suami juga, bole nyanyi-nyanyi, bole minum-minum sama geisha ya? Istri-istri Jepun tahu itu geisha pintar nyanyi-nyanyi, pintar bikin minuman ya dan pintar main musik.”
Marti memasukkan tangannya ke balik kimono lelaki Jepun itu, ke dadanya.
”Jadi geisha di Jepang itu pintar menyanyi dan main musik ya Tuan? Apa mereka tidak pintar yang lain?”
Lelaki itu melenguh karena rabaan Marti.
”Maksud Marti-san?”
Marti merebahkan dirinya, mencari sesuatu di balik kimono itu.
”Apa geisha di Jepang bisa seperti ini?”
***
Mami sudah tidur mendengkur dengan baju tidur, tapi Sandra masih terjaga. Ia duduk di tempat tidur, memandang rembulan di luar jendela. Sandra menyanyi lirih. Kamar itu gelap, tapi cahaya rembulan menerangi wajah Sandra.
”Sa-ku-ra … sa-ku-ra …”
Mobil jemputan yang mengangkut para pramuria datang mendecit. Musik dari dalam mobil terdengar keluar berdentam-dentam.
Rembulan yang purnama dilintasi awan. Mobil jemputan yang mengangkut para pramuria datang mendecit. Musik dari dalam mobil terdengar keluar berdentam-dentam. Mereka turun sambil tertawa-tawa. Ada yang mabuk dan nyanyi-nyanyi. Ada yang diam saja, seperti pekerja kantoran langsung masuk salah satu kamar yang berderet-deret. Ada yang lesu, lesu sekali, menyeret langkahnya seperti mau mati.
Nyanyian mereka campur aduk.
”Aku relaaa ….”
”Kisah seorang pramuria …”
”Sa-ku-ra …”
Para pramuria itu melewati kamarnya. Sandra bisa tahu karena pintu kamarnya cuma berstrimin. Salah seorang membuka pintu berstrimin itu.
”Sandra! Belum tidur ya? Ayo tidur. Besok kamu mesti ke sekolah.”
Dengkur Mami yang tidur tengkurap tiba-tiba hilang. Ia melemparkan bantal.
”Huss! Pergi sana! Jangan ganggu anak baik-baik!”
Kemudian merengkuh Sandra.
”Ayo sini Sandra. Tidur.”
Sandra ikut saja, dipeluk Mami dari belakang punggungnya, yang segera saja tidur mendengkur.
Sandra tetap melek.
Ia memandang rembulan, yang masih purnama, dan kini bersih tanpa awan. Memandangnya dari keremangan, Sandra masih menyanyi lirih-lirih.
”Sa-ku-ra …, sa-ku-ra …”