Sukrosono yang raksasa itu ternyata telah berubah wujudnya, menjadi sosok yang tampan, setampan Sumantri, kakaknya. Sumantri dan Sukrosono sama-sama terkejut.
Oleh
Sindhunata
·5 menit baca
”Anak-anakku, waktu itu ayahmu membawa pulang pisang emas yang aku idamkan ketika aku mengandungmu. Aku mengunyah pisang emas itu seutuhnya, buah maupun kulitnya. Tak kurasakan, buah itu manis atau kulit itu asam. Aku hanya merasa, baik yang manis atau yang asam harus kutelan dan kunikmati dalam hidupku,” kata Dewi Sokawati.
Sukrosono tiba-tiba memeluk ibunya dan membenamkan diri di dadanya. ”Ibu, terima kasih kau tidak membuang kulit pisang yang asam itu. Jika kau membuangnya, tak pernah aku akan ada di dunia ini. Meskipun segala hidup yang asam dan pahit harus aku tanggung, dan aku harus menderita karenanya, aku tetap bahagia, karena aku masih boleh hidup di dunia, sampai aku boleh menemani kakakku hingga di tempat penantian ini,” kata Sukrosono terisak-isak di dada ibunya.
”Nak, dari tempat penantian ini aku selalu melihat penderitaanmu. Betapa sedih hatiku, melihat kau hidup sendiri di hutan Jatirasa setelah aku harus membuangmu. Syukurlah, dewa-dewa mengizinkan aku turun sejenak dari tempat ini untuk mengunjungimu dan menghibur dirimu. Aku tahu, selepas dari hutan Jatirasa, penderitaan masih bertubi-tubi mendatangimu. Maka aku selalu memohon, agar dewa-dewa berkenan mengakhiri penderitaanmu. Aku merasa, di tempat ini penantianku amat panjang. Aku sungguh rindu akanmu, Nak. Syukurlah, selesai sudah penantianku, dan sekarang aku boleh bertemu denganmu,” kata Dewi Sokawati sambil menghapus air mata kelegaannya. Ia menciumi Sukrosono, dan melihat di dada Sukrosono masih ada kalung bunga campaka yang diuntainya sebelum ia meletakkannya di tepi hutan Jatirasa. Ia meraba-raba kalung itu, rasanya ia seperti meraba kembali kesedihannya, ketika ia harus meninggalkan anaknya yang tak bersalah itu sendiri dalam kegelapan malam yang amat sepi.
Menyaksikan semuanya ini, Sumantri tiba-tiba menjerit, ”Ibu, maafkanlah aku!” Dan sambil menjerit, ia mencium kaki ibunya, lalu memeluknya erat-erat. ”Ibu, maafkanlah aku, aku adalah buah pisang yang tak berguna itu. Kemanisannya telah mengelabui aku, sampai aku menyia-nyiakan Sukrosono, adikku. Kemanisannya telah membuat aku malu untuk menerima dia sebagai adikku. Padahal dia selalu menolong dan menyelamatkan hidupku, sampai aku boleh bertemu lagi denganmu, di tempat penantian ini.” Isak tangis Sumantri demikian keras, sampai Mega Malang, yang hanya berisi dengan awan kesunyian ini pun ikut merintihkan penyesalan.
”Sudahlah, Nak. Semuanya berakhir sudah. Sudah demikianlah suratan hidup kita. Dan kita sudah menjalankannya. Mati sudah kita lewati. Di tempat ini kita bertemu kembali di tempat penantian ini. Tak akan kita berpisah lagi,” kata Dewi Sokawati memeluk kedua anaknya dengan penuh kasih.
Saat itu, terlihat awan membukakan jendela kenangan. Angin bertiup perlahan, memperdengarkan nyanyian dari kejauhan tentang hari-hari yang telah hilang. Dewi Sokawati memejamkan matanya, kembali ia terbawa terbang ke masa silam, ketika ia bercinta dengan Begawan Swandagni di pelataran kembang kenanga di bawah sinar bulan. Bersama rasa nikmatnya di puncak asmara, ia melihat seberkas cahaya serupa sepasang golek kencana masuk ke dalam rahimnya. Ia merintih puas dan merasakan kebahagiaan tak terkira. Rasanya, ia akan memperoleh anak kembar, yang sama-sama tampan. Sekarang, di tempat penantian ini, ketika ia memeluk Sumantri dan Sukrosono, sepasang golek kencana kembar itu datang kembali. Bulan tampak menyibak awan, dan Mega Malang bertaburan dengan bintang-bintang seperti di bukit Taranggana Sekar. Dilihatnya sebuah bintang yang serupa pisang keemas-emasan. Ia pun teringat, saat ia mengunyah pisang itu, baik buah maupun kulitnya. Terasalah kembali semua manis dan asamnya kehidupan yang ia lalui. Dan betapa terkejut ia, serentak ketika ia membuka matanya, ternyata sekarang ia sedang memeluk dua sosok manusia yang sangat tampan. Keduanya tak lagi dapat dibedakan. Tiada lagi di pelukannya anaknya yang buruk rupa. Sukrosono yang raksasa itu ternyata telah berubah wujudnya, menjadi sosok yang tampan, setampan Sumantri, kakaknya. Sumantri dan Sukrosono sama-sama terkejut. Mereka saling berkaca diri, dan tak dapat membedakan dirinya lagi.
”Ibu, di manakah aku? Sungguhkah aku ini adalah aku?” tanya Sukrosono, yang tak percaya karena merasa dirinya bukan lagi raksasa.
”Kau telah menyempurnakan perjalananmu, anakku. Maka kau boleh kembali ke dalam ketulusan cintaku, ketika aku melakukan perbuatan cintaku yang mengantar kelahiranmu. Saat itu aku merasa ada sepasang golek kencana masuk ke dalam tubuhku, dan aku yakin cintaku akan membuahkan sepasang anak yang tampan seperti golek kencana itu. Ternyata baru sekarang, bayanganku boleh menjadi kenyataan, setelah kau menyelesaikan segala percobaan dan penderitaanmu. Kau memang tampan, anakku, seperti bayanganku saat kau ada dalam kandunganku dulu,” kata Dewi Sokawati dengan rasa bahagia.
Begawan Swandagni, yang dari tadi terdiam, juga terheran-heran dengan peristiwa ini. Ia pun berucap tak mengerti, ”Sokawati, mengapa semuanya ini baru terjadi, setelah kita melewati mati?”
”Begawan, kematian hanyalah menyempurnakan apa yang sudah dijalankan dalam kehidupan Sukrosono. Bahwa Sukrosono menjadi tampan setelah kematian, itu menunjukkan apa yang ia jalankan dalam kehidupannya bukanlah kesia-siaan. Ketampanannya adalah mahkota kemuliaan yang dijanjikan waktu ia dilahirkan. Dan janji itu baru terpenuhi, ketika ia menyelesaikan hidupnya yang panjang dengan penuh cinta, kesabaran, dan pengorbanan,” kata Dewi Sokawati.
Tidaklah mungkin, dan tidaklah diperbolehkan kita sendiri-sendiri melangkah ke tempat kita yang abadi setelah kita mati.
Dewi Sokawati, ibu yang berbahagia itu, lalu berpaling kepada Sumantri dan Sukrosono, ”Selesai sudah semua penantian kita. Kiranya inilah saat kita bersama-sama diperkenankan meninggalkan Mega Malang ini. Sekarang terbukalah bagi kita semua, bahwa tidaklah mungkin, dan tidaklah diperbolehkan kita sendiri-sendiri melangkah ke tempat kita yang abadi setelah kita mati. Itulah sebabnya, sebelum ke sana, kita harus saling menanti di tempat penantian ini. Ke tempat yang abadi itu, kita harus berjalan bersama-sama, anakku.”
Sehabis kata-kata Dewi Sokawati itu, Mega Malang terasa hilang. Mereka berempat berdiri di tepi satu-satunya awan yang tertinggal. Mereka merasa awan itu demikian kokoh karena disangga oleh tiang-tiang penderitaan, pengorbanan, dan kematian. Tak mungkinlah mereka jatuh, karena tak mungkinlah kematian mengembalikan mereka kepada kehidupan. Kematian itu hanya akan mengantarkan mereka ke seberang. Di seberang sana mereka melihat tempat yang indah bukan buatan. Tempat itu sama sekali baru. Tapi mereka merasa, mereka pernah melihat tempat itu.