Sukrosono melihat, di tempat itu ada binatang-binatang yang dulu menemani dia di hutan Jatirasa. Singa, ular, badak, babi hutan, kera-kera berlari-larian di sana. Ia seperti berada lagi bersama mereka, seperti dulu di Jatirasa. Ia bermain-main bersama mereka. Mandi bersama mereka di telaga yang ada di sana. Dikenalnya kembali satu per satu ikan yang berenang-renang di dalamnya. Waktu seakan tiada lagi. Ia bersenang-senang sepanjang hari. Ia bahkan berjumpa lagi dengan macan yang menyusuinya bagaikan seorang ibu. Ia merasa bahagia di sana. Sama dengan ketika ia berada di Jatirasa dan belum mengenal dunia. Hanya, ada bedanya pula. Di Jatirasa, ia merasakan kesendirian dan kesepian di tengah binatang-binatang dan keramaian hutan yang menemani. Tapi di tempat baru di seberang sana itu ia merasa kesepian itu sudah tiada. Bahkan ia tidak melihat sama sekali tempat ia diletakkan sendirian, ketika ia dibuang di malam hari di tepi hutan Jatirasa. Tempat baru itu seperti Jatirasa, hanya bedanya di sana kesepian dan kesedihan sudah tiada.
Sumantri juga merasa mengenal tempat itu. Di sana tumbuh pelbagai pohon buah-buahan yang dulu sering dipetiknya. Buah manggis, mangga, durian, duwet, kepundung, jambu, dan lain-lainnya. Sungai jernih mengalir, dan ia teringat, di sana ia sering bermain. Ada juga pematang-pematang, tempat ia berlompat-lompatan. Burung-burung kuntul beterbangan. Dan angkasanya kekuning-kuningan dengan sayap burung kepodang. Teringatlah ia akan saat di mana ia menyanyikan lagu Lihatlah itu burung kepodang, sambil mengelus-elus adiknya yang tertidur nyenyak di pangkuan. Pohon-pohon bambu berderit-derit ditiup angin. Dan didengarnya gemercik air. Ia mengenal suara itu, dan dilihatnya di sana pancuran buluh bambu, di mana ia ber jumpa pertama kali dengan adiknya. Saat yang amat membahagiakannya. Saat itu hilang dan sekarang datang kembali. Ya, ia merasa semua itu seperti pernah dialaminya ketika ia dulu hidup dengan bahagia di Jatisrana. Tempat yang dilihatnya setelah ia mati ini sungguh seperti Jatisrana. Tak heran, bila menjelang kematiannya, ia selalu mengatakan pada dirinya, ia sungguh rindu untuk pulang ke Jatisrana. Kerinduannya telah menjadi kenyataan. Tempat ini sungguh Jatisrana yang ia rindukan. Tapi lain dengan Jatisrana di mana dulu dia hidup, di tempat ini tak perlu didera oleh cita-cita. Ia takkan tertipu lagi oleh hasratnya yang membawa dia pada sia-sia.
Ikuti Cerita Bersambung di Rubrik Sastra:
Di seberang sana membentang telaga yang berceplok-ceplok dengan bunga padma aneka warna. Helai-helai bunga kuning, biru, dan merah berpendaran indah. Hujan turun, airnya bepercikan bagaikan pancuran emas semburat menghiasi jagat. Di lain tempat memancar sebuah bintang cemerlang seperti angsa mengeram. Dan di telaga jernih angsa-angsa putih berlarian, sayapnya bagaikan awan-awan beterbangan. Bunga-bunga tanjung, campaka, dan nagasari menebar harum. Burung tadahasih tidak lagi bersuara sedih karena rintik-rintik hujan sudah turun menjadi kekasih. Pemandangan yang demikian indah di seberang ini mengingatkan Dewi Sokawati dan Begawan Swandagni akan mangsa kalima di Jatisrana. Dulu di Jatisrana, setiap kali mangsa kalima datang, mereka merajut impian tentang cinta yang tak berkesudahan. Ternyata cinta itu demikian rapuh, dan mereka harus berpisah dalam kesedihan dan penyesalan. Baru sekarang, di seberang ini, saat mereka memandang anak-anaknya yang terlepas dari penderitaan, mereka boleh merasakan cinta sebagai kebahagiaan.
Apa yang di seberang tak hanya hendak dipandang. Ke sana mereka ingin secepatnya menyeberang. Maka mereka segera meninggalkan tepi awan, tempat mereka berpijak. Jalan ke tempat penantian mereka sangatlah panjang, mereka harus berjuang melewati hidup penuh dengan beban dan percobaan. Ketika mereka sudah saling bertemu di tempat penantian, jalan ke seberang itu rasanya ringan dan tanpa halangan. Memang tiba-tiba tampak pelangi membentang dan menyediakan diri sebagai jembatan. Lewat jembatan pelangi itu mereka menuju ke seberang. Di bawah jembatan terlihat sungai yang sangat lebar, airnya mengalir dengan amat derasnya.
Sumantri menengok ke bawah, ia merasa seperti sedang menyeberangi Bengawan Gangga, di muaranya ia mati sebagai pahlawan Maespati. Kini di jembatan pelangi ini ia merasa, betapa keliru bayangan orang tentangnya. Ia memang mati, bukan sebagai pahlawan yang gugur di medan perang, tapi sebagai jiwa yang rindu untuk pulang ke dalam keabadian. Sekarang keabadian itu telah dekat di seberang. Selangkah lagi ia sudah sampai di sana. Dan ketika ia menatap ke seberang, ia terkejut bukan buatan. Dilihatnya di sana berdiri Darmawati. Darmawati melambai-lambaikan tangannya. Wajahnya cantik berseri-seri.
Darmawati memang sudah lama menanti di seberang ini. Sepanjang hidup sampai kematiannya, ia dengan tulus mencintai Sumantri. Tulusnya cinta itu yang membuat ia boleh lebih dahulu sampai di seberang ini, menunggu Sumantri. Di seberang ini, Darmawati tampak amat jelita. Bunga tanjung menyelip di telinganya. Dan hiasan kepalanya adalah bunga-bunga katangga yang gugur. Bibirnya memerah indah, menyunggingkan gairah bunga katirah yang rela diisap lebah. Dadanya seperti menyimpan sepasang bulan purnama. Dan siapa yang tak ingin memeluk pinggangnya yang melentur seperti tangkai bunga asana?
Sumantri merasa sangat bahagia, ternyata ia boleh bertemu kembali dengan Darmawati di seberang ini. Ia demikian yakin, hanya dialah yang sedang dinanti dan diharapkan oleh Darmawati. Ia merasa, cinta Darmawati sendirilah yang memperolehkan apa yang tidak diperolehnya ketika hidup di dunia. Dan apa yang diperoleh Darmawati setelah mati ternyata jauh lebih indah daripada apa yang ia inginkan ketika ia hidup. Memang di seberang ini, Sumantri tak ragu lagi, ia akan bisa membalas cinta Putri Widarba itu sehabis-habisnya, dan selama-lamanya. Cinta yang abadi itu memang baru bisa diperoleh di seberang sini.
Di Jatisrana yang abadi ini, cinta adalah Ilahi.
Demikian mereka tiba di seberang yang amat indah. Adakah mereka telah tiba di surga? Jika memang demikian, mengapa surga itu ternyata demikian dekat dengan dunia, dan hampir sama dengan dunia? Mungkin itulah sebabnya ketika di dunia, mereka membayangkan surga adalah Jatisrana. Jika demikian, surga tak lain adalah Jatisrana yang mereka temukan kembali. Hanya bedanya, dulu di Jatisrana, mereka mengalami cinta itu mudah patah dan rawan untuk terpisah. Di sini, di seberang sini, di surga ini, mereka benar-benar mengalami, cinta tak akan lagi terpisah untuk selama-lamanya. Ternyatalah sudah, di Jatisrana yang abadi ini, cinta adalah Ilahi.