Bulan seakan tahu akan keinginan mereka. Bulan yang tadinya seperti sebilah gading remang-remang kini menjadi bundar dan bersinar terang benderang.
Oleh
Sindhunata
·5 menit baca
Sumantri lalu mengelus halus rambut Dewi Citrawati. Sekujur badannya menjadi panas, ketika tangannya meraba-raba dada Putri Magada itu. Dan Dewi Citrawati merintih-rintih, merasakan berahi yang berkecamuk di tubuhnya. Panasnya berahi mereka mengalahkan malam yang dingin. Bulan yang tinggal separuh tak memberi kehangatan. Namun berahi yang tersembunyi sekarang memancar bahkan lebih panas daripada panas matahari di waktu siang. Berjatuhan kembang-kembang kemuning, ketika mereka berguling-guling. Terserang berahi yang dahsyat, sejenak di benak Sumantri terlintas pertanyaan, jangan-jangan dengan berahi macam ini ia dilahirkan. Pikirannya melayang ke kisah yang pernah diceritakan ayahnya di Jatisrana. Ayahnya, Begawan Swandagni mengakui, waktu itu ia benar-benar dirangsang oleh berahi akan ibunya, Dewi Sokawati, ketika mereka berdua di pelataran pertapaan Jatisrana, telanjang di bawah sinar bulan purnama. Mereka melakukan perbuatan asmara yang sangat indah. Kelak ayahnya mengingkari nafsu berahinya, dan menganggap karena berahi nafsu ibunya, maka lahirlah Sukrosono, adiknya, raksasa yang buruk rupa itu. Sedangkan ayahnya merasa bercinta dengan cinta yang suci, hingga lahirlah dia, Sumantri, manusia yang sempurna ini. Sukrosono dibuang karena anggapan ayahnya tentang kesucian itu. Sekarang, ia yang katanya adalah buah dari cinta yang suci, merasakan sendiri berahi itu, ketika ia berguling-guling dalam perbuatan asmara bersama Dewi Citrawati. Ia seperti mengulang perbuatan ayahnya di pelataran Jatisrana. Adakah perbuatannya ini adalah kutukan dari cinta yang suci tanpa berahi itu? Kalau demikian, bukan adiknya, Sukrosono, tapi dia sendirilah yang terkena oleh kutukan itu. Hanya sejenak pikiran ini datang mengganggunya. Sebentar kemudian, ia sudah larut dalam ketelanjangan berahinya, ketika ia boleh menikmati tubuh Dewi Citrawati. Sekarang ia mengalami sendiri, tak benarlah kata-kata ayahnya bahwa nafsu berahi itu tidaklah suci. Andaikan benar pun, ia tidak ingin terlepas dari kenikmatan bersama Dewi Citrawati itu. Ia tidak peduli lagi juga seandainya ia terkutuk oleh berahi. Apalagi ketika ia mendengar nikmat rintihan Dewi Citrawati.
”Sumantri, mengapa aku harus menunggu demikian lama untuk merasakan malam seperti ini,” bisik Dewi Citrawati lirih di telinga Sumantri. Ia kelihatan tak berdaya lagi, dan hanya menyerah pada perbuatan asmara Sumantri.
”Aku pun tak mengira malam seperti ini akhirnya boleh kualami, Citrawati,” balas Sumantri. Dengan gejolak nafsu, ia mencium bibir Dewi Citrawati yang mekar seperti merahnya bunga katirah. Tubuh Putri Magada ini terasa demikian hangat. Ia menggeliat merasakan perbuatan nafsunya yang amat memberinya nikmat.
”Sumantri, akankah kauberikan padaku belaian bulan yang kunantikan itu?” pinta Dewi Citrawati. Suaranya mendesah, seperti tak tahan lagi menahan tubuhnya yang gelisah. Sumantri merasa, Dewi Citrawati seakan sudah hendak tiba di ujung perbuatan cintanya. Dan bulan seakan tahu akan keinginan mereka. Bulan yang tadinya seperti sebilah gading remang-remang kini menjadi bundar dan bersinar terang benderang. Di bawah sinar bulan ini, Dewi Citrawati begitu terpesona melihat wajah Sumantri yang demikian tampan karena asmaranya. Sebaliknya, Sumantri tak pernah membayangkan, Dewi Citrawati demikian cantik ketika ia merintih di ujung berahinya. Sumantri memberikan apa yang diminta Dewi Citrawati. Langit tampak berjumbai dengan helai-helai sinar bulan. Dan Dewi Citrawati merasa seperti dibelai dengan belaian bulan. Pada saat itulah ia merasa tubuhnya meledak dalam kepuasan, seperti bunga Wijayakusuma yang mekar karena dibelai cahaya bulan.
Sumantri pun merasakan kenikmatan, ketika melihat tubuh Dewi Citrawati tergolek tak berdaya karena perbuatan berahinya. Namun pada saat itu juga ia terkejut, melihat awan yang turun mendekat, dan dari balik awan itu terdengar suara, ”Kakakku, tak mungkin aku berpisah darimu. Kutunggu engkau di Mega Malang, sampai saatnya tiba aku akan menjemputmu.” Jelas di telinga Sumantri, suara itu adalah suara adiknya, Sukrosono. Suara itu membuatnya merasa sedih dan hampa. Tiba-tiba terbayang kematian di mukanya, justru ketika ia sedang berada di puncak kenikmatannya.
Dewi Citrawati pun segera bangun. Ia tidak tahu apa yang sedang dipikirkan Sumantri. Namun ia bisa merasakan kesedihannya. Dan anehnya, kesedihan itu juga meliputinya, justru pada saat ia baru saja dipuaskan oleh rasa nikmat asmara yang tak terkira. Ia merasa, ada sesuatu yang telah hilang dari dirinya. Ia merasa apa yang hilang itu adalah Dewi Sri yang selama ini ada dalam dirinya. Selama ini ia merasa dirinya tersiksa, karena Dewi Sri adalah nasib yang menghilangkan kebebasan dan hasrat insaninya. Tapi mengapa sekarang ketika Dewi Sri itu pergi dari dirinya, ia justru merasa kehilangan sesuatu yang berharga dan menentukan hidupnya. Ia sedih, dan merasa terjauh dari kebahagiaan. Dan ia tersadarkan, kebahagiaan ternyata bisa dimilikinya, bila ia tak memusuhi dan menjauhkan diri dari nasibnya. Ia tercekam oleh kekosongan, saat Dewi Sri, yang ia anggap sebagai nasib itu, sudah tidak ada dalam dirinya lagi. Sekarang ia memang telah menjadi Dewi Citrawati yang tanpa Dewi Sri lagi. Saat inilah, ia merasa ia seperti bukan siapa-siapa lagi.
Ia tersadarkan, kebahagiaan ternyata bisa dimilikinya, bila ia tak memusuhi dan menjauhkan diri dari nasibnya.
Bulan mulai suram. Dan Sumantri maupun Dewi Citrawati sadar, hari telah larut malam. Mereka harus segera pulang. Sumantri mengantar Dewi Citrawati ke tepi telaga Sunyalaya, mengenakan kembali semua kainnya. Tak lupa ia mengambil anak panah Cakrabaskara yang tadi dilemparkan Dewi Citrawati, setelah ia mencabutnya dari leher Sukrosono. Sumantri mengantar Dewi Citrawati pulang kembali ke istananya. Terlihat di sana asap dupa masih mengepul. Tanda Prabu Arjunasasrabahu belum meninggalkan semadinya. Sumantri berpisah dari Dewi Citrawati. Mereka berdua pulang ke dalam kesepian dan kekosongannya sendiri-sendiri.