Sukrosono seakan tak ingin terbebani lagi dengan apa saja yang pernah ia miliki. Ia tak ingin mempunyai apa-apa lagi.
Oleh
Sindhunata
·4 menit baca
”Sumantri, ketahuilah, dia adalah raksasa yang telah menyelamatkan hidupku,” kata Dewi Citrawati. Sambil berkata demikian, terputarlah kembali masa lalunya. Dan pada lelaki di hadapannya, ia pun bercerita tentang kisah ketika sebagai Dewi Sri sebelum ia menitis ke Dewi Citrawati. Ia adalah dewi cantik, yang harus menitis di dunia. Sebelum ia menemukan siapa yang harus dititisinya, ia harus menyembunyikan dirinya. Kendati sudah menyembunyikan diri, tak urung banyak juga yang mengejarnya, karena ia tetap tidak dapat menyembunyikan kecantikannya. Ia menyamar menjadi Dewi Tunjung Biru, ketika ia dikejar-kejar raksasa Kaladaru. Pada saat itulah ia bertemu dengan seorang raksasa kecil yang mau menolongnya. Ia melihat raksasa kecil itu begitu baik hati, dan ia merasa aman dalam lindungannya. Kemudian Kaladaru mengetahui juga tempat persembunyiannya. Ia pasti jatuh ke pelukan Kaladaru, jika tak ada raksasa kecil itu di sampingnya. Akhirnya Kaladaru binasa digigit dengan taring raksasa kecil itu.
”Sumantri, raksasa kecil itu tak mengenalkan namanya, karena ia juga sedang dalam pengembaraannya. Ternyata, dia adalah adikmu, Sumantri,” kata Dewi Citrawati yang kembali mengenal dirinya sebagai titisan Dewi Sri. Lalu ia melanjutkan lagi, ”Ia adalah raksasa kecil yang kesepian. Sebagai rasa terima kasihku, kuberikan buah dadaku, dan kubiarkan dia menyusu sepuas-puasnya padaku. Kekuatan susuku ternyata meresap ke dalam taring kanannya. Pantaslah sekarang aku seakan merasakan kembali kekuatan susuku itu, ketika aku melihat taringnya yang tajam itu. Dan lihatlah, anting-anting yang ada di telinga kiri adikmu. Itu adalah anting-anting kananku, yang kuberikan padanya. Tidakkah anting-anting ini sama dengan yang kukenakan di telinga kiriku?” Memang, Sumantri melihat, ada anting-anting indah melekat di telinga kiri Sukrosono. Sementara ia tidak memperhatikan selama ini Dewi Citrawati hanya mengenakan anting-anting yang sebelah saja. Ternyata anting-anting itu adalah pasangan anting-anting adiknya.
”Sukrosono, kau telah menyelamatkan aku. Namun karena aku, kau harus mati di tangan kakakmu. Maafkanlah aku raksasa kecilku.” Dewi Citrawati lalu menciumi wajah Sukrosono, seperti dulu dilakukan Dewi Tunjung Biru sebelum mereka berpisah di gunung yang dipenuhi dengan pohon dewadaru, setelah kematian raksasa Kaladaru. Seperti terlihat tadi, merasakan ciuman itu Sukrosono tersenyum dengan senyum yang demikian manis, senyum yang berterima kasih karena cinta. Dan senyum itulah yang mendahului Sukrosono sebelum sejenak kemudian mengembuskan nafas untuk terakhir kalinya. Sungguh suatu pemandangan yang penuh haru. Sumantri bercucuran air matanya. Bahkan Dewi Citrawati yang kembali merasa dirinya sebagai Putri Magada pun tak bisa berhenti menahan tangisnya.
Bulan seakan sengaja berdandan untuk menyambut Sukrosono yang berpulang.
Begitu Sukrosono mengembuskan nafasnya yang terakhir, senja segera menghilang, dan malam pun datang. Sumantri dan Dewi Citrawati terheran, melihat tubuh Sukrosono tiba-tiba menghilang dalam malam. Namun seketika itu juga malam menjadi sangat indah. Tak pernah rasanya ada malam seindah itu. Saat itu bulan menyembul dengan amat cantiknya. Bulan seakan sengaja berdandan untuk menyambut Sukrosono yang berpulang. Terang pun bersinar dengan seketika, membangunkan bunga-bunga malam dari tidurnya. Tampak Sukrosono melayang-layang naik menembus awan. Sementara sedang tampak bulan berayun-ayun, seribu bulan berjatuhan turun. Di antara bulan-bulan itu beterbangan burung-burung kuntul, kepalanya berjambul dengan bunga-bunga menur. Burung-burung itu terus terbang, tanpa peduli dengan jejak yang ditinggalkan. Burung-burung kepodang beterbangan ke sana kemari, meski hari masih jauh dari pagi. Mereka terbang seperti mencari sarangnya yang abadi. Semuanya yang indah ini kemudian menghilang pergi. Sukrosono seakan tak ingin terbebani lagi dengan apa saja yang pernah ia miliki. Ia tak ingin mempunyai apa-apa lagi. Apa yang tertinggal padanya hanyalah taring kanan, di mana tersimpan cinta yang tak mungkin ia usir. Taring yang seperti gading itu tinggal menjadi bulan sabit yang menyinari bumi.
Bulan sabit itu masih cukup terang bagi Sumantri dan Dewi Citrawati untuk bisa saling berpandangan. Setelah Sukrosono pergi, mereka merasa tiada lagi mempunyai pegangan. Mereka tidak tahu apa yang harus mereka lakukan. Pada saat itulah Sumantri seakan baru sadar, bahwa di hadapannya Dewi Citrawati hampir tiada berbusana lagi. Memang Dewi Citrawati hanya mengenakan kain seadanya, karena tergesa-gesa ke semak-semak ini. Sumantri menerawang tubuh yang indah di balik kain seadanya itu. Rasanya, tinggal sedikit saja ia menariknya, Dewi Citrawati akan telanjang di hadapannya. Dewi Citrawati sendiri sejak di telaga tadi sudah terangsang berahi. Melihat pandangan mata Sumantri yang meminta, berahi pun mendatanginya lagi. Diserang berahi demikian, tak mungkin mereka berdua menghindar, walaupun baru saja mereka tertimpa kesedihan.
”Citrawati,” sapa Sumantri sambil memegang pundak Dewi Citrawati. Ia seperti kaget sendiri dengan ucapannya. Ia mengira, Dewi Citrawati akan marah.
”Sumantri, akhirnya kau memanggil aku dengan namaku.” Dewi Citrawati justru tersenyum bahagia mendengar panggilan itu. ”Dengan memanggil namaku, kau menerima diriku, Sumantri,” sambungnya.
”Aku tak ingin kembali kepada kesendirianku, Citrawati.” Kata Sumantri sambil perlahan-lahan menanggalkan kain yang tersisa di tubuh Dewi Citrawati. Tak sedikit pun Dewi Citrawati melawan, dan sekarang ia pun telanjang. Dewi Citrawati kelihatan tak sabar, melihat Sumantri menanggalkan apa yang dikenakan. Kini keduanya pun telanjang.