Sumantri lupa, bukan karena panah Cakrabaskara adiknya mati, tapi karena cinta yang dikhianatinya. Ia tak sadar, kesaktian pun punah, ketika cinta tak mendapat balasannya.
Oleh
Sindhunata
·5 menit baca
Sumantri tak merasakan apa yang dirasakan adiknya itu. Ia malah segera teringat, ia sedang meninggalkan Dewi Citrawati sendirian di telaga. Bagaimana jika cepat-cepat Dewi Citrawati menyusulnya dan melihat apa yang sedang terjadi di semak-semak ini? Ia tiba-tiba berpikir, tak ingin lagi ia kehilangan kesempatan untuk berdua bersama Dewi Citrawati.
”Sukrosono, turutilah perintahku. Atau…,” kata Sumantri, sambil mengambil gandewa panah Cakrabaskara yang selalu ada di punggungnya. Dipasangkannya anak panah pusaka pemberian ayahnya. Dan ia mengarahkan anak panah itu ke adiknya. Tak tahulah, dari mana tiba-tiba ia berkehendak demikian. Pasti, ia sedang berada dalam kekalutan hati. Tanpa disadarinya, kekalutan itu telah membangkitkan nafsu amarahnya, yang bisa mengancam dan menyerang siapa saja, juga kepada adiknya yang tercinta.
”Kakakku, dulu kaupukuli aku dengan gandewa pemberian ayah itu. Benarkah sekarang engkau hendak menghabisi aku dengan anak panahnya?” kata Sukrosono. Ia tidak percaya, kakaknya akan melepas anak panahnya. Ia merasa, kakaknya hanya hendak menakut-nakutinya.
”Sukrosono, kau pergi, atau kulepaskan anak panah ini,” kata Sumantri membentak. Ia kelihatan sudah tak dapat lagi menahan diri. Ia melangkah mundur, lalu menggerak-gerakkan gandewa Cakrabaskara untuk menakut-nakuti adiknya. Ia tak tahu lagi, apa yang sedang mengalir di tangannya yang memegang gandewa itu. Semuanya bercampur aduk. Bingung, malu, takut ketahuan, cinta sekaligus amarah terhadap adiknya, cinta dan berahinya yang sedang berkecamuk akan Dewi Citrawati, semuanya ini tak terpisahkan lagi, menyatu menjadi kekacauan dalam keringat di telapak tangannya. Telapak tangannya menjadi licin, dan tak dapat lagi mengendalikan anak panahnya. Maka anak panah Cakrabaskara itu pun terlepas menjadi kekejaman yang bersarang di leher Sukrosono. Sukrosono rebah ke tanah, bersimbah darah. Sumantri terkejut. Dibuangnya gandewa Cakrabaskara, dan ia lari menelungkupi adiknya.
”Sukrosono,” teriak Sumantri tersedu-sedu di atas tubuh adiknya yang tampak sedang meregang nyawa.
”Jangan kau pergi, adikku. Jangan kau tinggalkan aku, Sukrosono. Kau sakti, adikku, kau tak boleh mati. Maafkanlah aku,” teriak Sumantri makin menyayat hati. Adiknya telah mengalahkan raja raksasa, dan menghidupkannya, bagaimana mungkin ia akan mati hanya karena anak panah yang terlepas dari kekalutan hatinya? Adiknya memang sakti, benar bila Sumantri yakin ia takkan mati. Namun Sumantri lupa, bukan karena panah Cakrabaskara adiknya mati, tapi karena cinta yang dikhianatinya. Ia tak sadar, kesaktian pun punah, ketika cinta tak mendapat balasannya.
”Kakakku, aku mencintaimu,” kata Sukrosono untuk terakhir kalinya. Ia menyerahkan hidupnya, karena hidupnya ternyata tak mungkin lagi menemukan cinta. Dan jika tiada cinta, hidup pun akan tiada. Itulah kematian, yang kini diterimanya dengan pasrah. Tapi justru pada saat itulah cintanya menyala bagaikan emas yang telah teruji oleh pelbagai nyala. Pada dirinya, cinta itu takkan padam, walau ditolak berulang-ulang, bahkan oleh saudara yang amat dicintainya. Cinta itu memancar dari mata Sukrosono menjelang ajalnya. Dan mata itu memandang kakaknya dengan mesra. Sumantri memandang mata itu, dan ia menjerit sedih, merasa bagaimana mata adiknya masih memberi cinta bagi hidupnya yang sebenarnya tak terampuni lagi. Ia menangis dan menjerit sejadi-jadinya. Dan jeritan pilu itu sampai ke telinga Dewi Citrawati. Sedari tadi, Dewi Citrawati hanya mengira-ngira apa sebenarnya yang telah terjadi dengan Sumantri. Begitu mendengar jeritan Sumantri, ia pun bergegas mengenakan kainnya, seadanya, dan lari menyusul Sumantri.
Sesampainya di semak-semak itu ia melihat seorang raksasa kecil berlumuran darah. Di luar dugaan Sumantri, Dewi Citrawati ternyata tidak takut memandang wajah adiknya yang raksasa itu. Terlihat, dalam pergulatan terakhir dengan hidupnya, Sukrosono memberikan senyum kepada Dewi Citrawati. Senyum yang demikian manis dan hanya bisa diberikan oleh seorang yang pernah mengenal dan menyayanginya. Dewi Citrawati ternyata mengenal senyum itu, dan ia langsung menjatuhkan diri, menangis dan memeluk tubuh Sukrosono.
”Kau tak seharusnya mati dengan cara begini, raksasa kecilku,” kata Dewi Citrawati. Ia segera mencabut panah Cakrabaskara yang menancap di leher Sukrosono. Dan mengusap darah dengan kain yang dikenakannya. Ia pun menciumi Sukrosono dengan amat mesra. Kasih dan ciuman cinta Dewi Citrawati ini membuat Sukrosono tampak bahagia di ujung hidupnya. Sejenak ia menahan untuk mengembuskan nafas akhirnya. Tapi hanya sejenak saja, dan sebentar kemudian Sukrosono pun mati.
Kasih dan ciuman cinta Dewi Citrawati membuat Sukrosono tampak bahagia di ujung hidupnya.
Melihat semuanya ini, Sumantri menjadi makin terharu, walau ia tidak habis memahami sama sekali. Sementara ia merasa, agar adiknya berpulang dengan bahagia, inilah saatnya ia harus mengakui segala yang selama ini disembunyikannya. Dan melihat perbuatan Dewi Citrawati terhadap adiknya, ia tidak mempunyai alasan lagi untuk menutupi, bahwa Sukrosono adalah adiknya sendiri.
”Paduka, terima kasih, Paduka berkenan menyayangi adik hamba,” kata Sumantri.
”Apa, tidakkah aku salah mendengar? Sungguhkah raksasa kecil ini adikmu, Sumantri?” tanya Dewi Citrawati tak percaya.
”Benar, Paduka, dia adalah Sukrosono, adik hamba,” jawab Sumantri.
”Sumantri, mengapa kau tidak pernah menceritakan apa adanya padaku?” desak Dewi Citrawati.
”Hamba malu, jika Paduka mengetahui adik hamba adalah seorang raksasa,” Sumantri menjawab dengan rasa penyesalannya.
”Sumantri, andaikan kau mengatakan apa adanya, takkan terjadi peristiwa yang menyedihkan ini,” kata Dewi Citrawati bercucuran air matanya. Ia memeluk Sukrosono erat-erat sambil menyatakan penyesalannya juga, ”Raksasa kecilku, maafkanlah aku, akulah yang menyebabkan kakakmu melakukan kekejaman ini padamu.” Sejenak kemudian, ia berpaling ke Sumantri, dan berkata-kata seakan dia bukan Dewi Citrawati.