Polemik Traktat Pandemi
Perlukah Indonesia ikut menandatangani ”pandemic treaty”?
Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO sedang mempersiapkan rancangan perjanjian persiapan penanganan pandemi atau yang disebut juga traktat pandemi (pandemic treaty).
Inisiatif adanya perjanjian atau traktat yang mengikat antarnegara ini dimaksudkan untuk kesiapsiagaan dan respons menghadapi kemungkinan pandemi baru lainnya pada masa mendatang. Kontroversi pun berdatangan dari berbagai pihak.
Perjanjian internasional baru untuk kesiapsiagaan dan respons pandemi pada mulanya diinisiasi Perdana Menteri Inggris Boris Johnson pada Maret 2021. Dengan melihat adanya berbagai perbedaan penanganan pandemi Covid-19 lalu, inisiatif itu kemudian ditindaklanjuti oleh WHO.
Perjanjian ini mencakup berbagai aspek dalam penanganan pandemi, seperti distribusi tindakan medis dan kesehatan layaknya vaksin, obat-obatan, diagnostik, dan peralatan pelindung diri.
Dalam lamannya pada 30 Maret 2021, WHO menuliskan bahwa akan ada pandemi lain dan keadaan darurat kesehatan besar lainnya, tidak ada satu pun lembaga pemerintah atau multilateral yang dapat mengatasi ancaman ini sendirian.
Tujuan utama dari perjanjian internasional baru ini adalah untuk mendorong pendekatan multisektoral yang komprehensif untuk memperkuat kapasitas dan ketahanan nasional, regional, dan global terhadap pandemi di masa depan. Ini adalah kesempatan bagi dunia untuk bersatu sebagai komunitas global untuk kerja sama damai yang melampaui krisis.
Pada 28 Oktober 2021, Working Group on Strengthening WHO Preparedness for and Response to Health Emergencies (WGPR) menerbitkan laporan zero draft.
Rancangan awal ini dibahas oleh World Health Assembly (WHA) yang merupakan badan pengambil keputusan WHO pada 29 November 2021 dan melahirkan badan perundingan antarpemerintah atau intergovernmental negotiating body (INB). Tugas INB ialah merancang dan merundingkan konvensi, perjanjian, atau instrumen internasional WHO lainnya mengenai pencegahan, kesiapsiagaan, dan respons terhadap pandemi.
WGPR kemudian memperbarui laporan zero draft dalam 56 halaman yang jauh lebih lengkap pembahasannya dibandingkan laporan sebelumnya yang berisi 15 halaman berupa penjajakan awal pada 3 Mei 2022.
Di sini, WGPR mengeluarkan analisis dari survei yang dilakukan kepada 276 pemangku kepentingan pemerintahan dan 193 negara anggota WHO dengan periode Desember 2021 hingga 14 Februari 2022. Dari hasil survei tersebut, WGPR memetakan sejumlah hal, seperti tingkat prioritas tindakan, waktu penanganan, hingga rekomendasi yang diberikan responden.
Selang setahun, pada 1 Februari 2023, perjanjian atau traktat ini mulai rilis dalam versi yang lebih komprehensif. Pada Februari dan Maret 2023, INB dua kali melakukan pertemuan untuk membahas kelanjutan perjanjian ini. Di pengujung tahun 2023, INB melakukan pembicaraan dengan negara anggota WHO dan muncul usulan yang berbuah perubahan perjanjian pada 15 Januari 2024 dan periode Februari-Maret 2024.
Seturut pemberitaan WHO, INB direncanakan menyerahkan hasil ubahan perjanjian tersebut pada acara peringatan WHA ke-77 yang digelar pada Mei 2024. Dengan diserahkannya perjanjian tersebut, dimulailah periode penandatanganan atau penolakan (sistem voting) oleh negara anggota WHO terhadap pandemic treaty. Artinya, kurang lebih dalam sebulan Indonesia perlu mengambil sikap terkait perjanjian internasional ini.
Baca juga: Pemulihan Perlu Diiringi Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi
Kontroversi
Perjanjian internasional baru ini tampaknya memberikan keuntungan lebih bagi negara berkembang dan miskin dalam menghadapi kemungkinan adanya pandemi di masa depan. Namun, sejumlah pihak masih mengajukan keberatan dan curiga terhadap tindakan WHO tersebut.
Pasalnya, negara yang mendukung perjanjian ini menginginkan komitmen untuk berbagi data, sampel virus, dan teknologi, serta memastikan distribusi vaksin yang adil.
Permasalahan ini menimbulkan pertanyaan sensitif secara politik mengenai kedaulatan nasional. Khususnya mengenai akses ke lokasi wabah dan potensi penyelidikan terhadap asal muasal penyakit, yang menjadi sumber ketegangan antara pemerintah negara-negara Barat dan China saat pandemi Covid-19 kemarin.
Kala itu, negara-negara Barat menolak terhadap penyelidikan independen yang dilakukan oleh China terhadap kemunculan Covid-19 di Wuhan pada awal tahun 2020.
Kecurigaan dan ketakutan terhadap pandemic treaty juga bukan hanya dialami China, tapi juga negara lainnya yang masih tergolong berkembang dan miskin. Human Rights Watch (HRW), salah satu lembaga yang keberatan dengan pandemic treaty, menyatakan tanpa adanya standar hak asasi manusia selama keadaan darurat kesehatan, keputusan WHO akan menghasilkan kejahatan diplomatik.
Berkaca pada pandemi Covid-19, HRW melihat pemerintah di sejumlah negara menerapkan karantina dan pembatasan lainnya dengan cara yang sering kali tidak sebanding dengan kemampuan ekonomi dan melanggar hak asasi manusia.
Lagipula, ada isu keamanan dan kedaulatan negara dalam pandemic treaty. Negara anggota yang menyetujui harus memberikan pendanaan untuk penelitian vaksin, berbagai data vital, serta pengembangan teknologi kesehatan yang sedang berjalan. Bagi kaum yang menentang, mereka percaya bahwa WHO pun akan mampu memiliki akses hingga tiap tubuh penduduk di negaranya.
Awal Januari 2024, Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus menyatakan bahwa pembahasan pandemic treaty terhambat oleh beredarnya berita palsu, kebohongan, serta teori konspirasi yang berseliweran di media sosial.
Lanjutnya, perjanjian baru ini merupakan tawaran solusi baru demi masalah baru di masa depan yang tentu saja memiliki berbagai risiko. Tedros melihat bahwa semua negara memerlukan kapasitas untuk mendeteksi dan berbagi patogen yang menimbulkan risiko, serta akses tepat waktu terhadap tes, pengobatan, dan vaksin.
Pimpinan INB Roland Driece menyampaikan, negara-negara Eropa menginginkan lebih banyak uang yang diinvestasikan dalam pencegahan pandemi, sementara Afrika menginginkan pengetahuan dan pendanaan untuk mewujudkan hal tersebut, ditambah akses yang tepat terhadap penanggulangan pandemi, seperti vaksin dan pengobatan. Semua ini sudah diakomodasi dalam rancangan pandemic treaty.
Baca juga: Pemerintah Siapkan Langkah Menuju Endemi
Sikap Indonesia
Sejauh ini, pembicaraan terkait pandemic treaty tampaknya belum menjadi perhatian besar. Bisa jadi karena publik dan lembaga pemerintahan masih berkutat pada proses jalannya sidang perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU).
Isu kontroversi pandemic treaty masih belum muncul di lini masa, sehingga berita bohong dan hoaks pun masih dapat diantisipasi.
Sesungguhnya, pandemic treaty memiliki misi luhur, yakni tidak hanya merespons pandemi, tetapi juga dapat mengatasi kesenjangan yang telah ada sebelumnya sebagai langkah kesiapsiagaan.
Dalam pandemic treaty terdapat instrumen yang mencakup klausul untuk menjamin dan melindungi kepentingan tenaga kesehatan, serta perawatan di berbagai negara. Sistem kesehatan akan menjadi kuat dan tangguh hanya jika kepentingan pekerjanya dijamin.
Hingga saat ini, posisi Indonesia tampak condong untuk mendukung pandemic treaty. Dalam Forum Diskusi Kesehatan yang digelar Pacific Exposition pada 28 Oktober 2021, Menteri Luar Negeri RI Retno L.P. Marsudi menyatakan dukungannya atas pandemic treaty sebagai upaya kolektif untuk memastikan akses yang adil ke penyelesaian masalah kesehatan dan teknologi untuk negara berkembang.
Bagaimanapun, masih ada waktu kurang lebih sebulan untuk mengkaji lebih dalam terkait pandemic treaty, terutama konsekuensi serta kemampuan Indonesia untuk berpartisipasi di dalamnya. Lembaga pemerintah terkait, khususnya Kementerian Kesehatan RI, perlu menimbang berbagai aspek untuk jangka panjang. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Penyakit Menular dan Masa Depan