Kerusakan Lingkungan Tambang Timah Senilai Rp 271 Triliun Haruskah Diganti?
Kerusakan lingkungan sebesar Rp 271 triliun itu apakah bisa dituntut secara hukum senilai kerugiannya?
Kasus patgulipat oknum PT Timah (Persero) dengan sejumlah oknum perusahaan swasta di Bangka Belitung merupakan contoh konkret tata kelola pertambangan yang buruk. Timbul kerusakan lingkungan akibat penambangan timah hasil kolusi itu yang diperkirakan mencapai Rp 271 triliun. Lantas, kerusakan lingkungan sebesar itu apakah bisa dituntut secara hukum senilai kerugiannya?
PT Timah (Persero) Tbk merupakan BUMN yang bertanggung jawab terhadap kegiatan hulu hingga hilir komoditas timah di Indonesia sehingga institusi ini memiliki posisi sentral terkait tata niaga komoditas bersangkutan. Sayangnya, kewenangan besar ini relatif tidak dijalankan secara baik. Ada sejumlah oknum yang justru mengakomodasi kegiatan penambangan timah ilegal pada wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk di Provinsi Bangka Belitung pada kurun 2015-2022.
Dampaknya, negara menanggung akumulasi kerugian yang diperkirakan mencapai Rp 271 triliun. Nominal ini diperoleh dari valuasi kerugian akibat kerusakan ekologis, kerugian ekonomi lingkungan, hingga biaya pemulihan lingkungan yang rusak. Selain berdampak berat bagi lingkungan pertambangan, kegiatan ilegal itu juga berpotensi menimbulkan dampak merugikan bagi ekosistem di luar kawasan petambangan. (Kompas.id, 2/4/2024).
Menurut salah satu saksi ahli penyidik, Bambang Hero Sarjono, akademisi dari Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University, kerugian negara senilai Rp 271 triliun itu berasal dari sejumlah kerusakan. Kerugian lingkungan (ekologis) sebesar Rp 157,83 triliun; kerugian ekonomi lingkungan Rp 60,28 triliun; biaya rehabilitasi lingkungan Rp 5,26 triliun; dan kerugian di luar kawasan hutan sebesar Rp 47,70 triliun (Kompas.id, 1/4/2024).
Lantas, bagaimana pemerintah akan bersikap dalam menindak kerusakan lingkungan sebesar itu? Untuk menjawab hal ini, tentu saja pemerintah akan mengacu pada regulasi yang berlaku di Indonesia. Salah satu aturan untuk menindak pelanggaran lingkungan dari aktivitas pertambangan itu adalah mengacu pada Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
UU No 3/2020 itu secara garis besarnya adalah peyempurnaan dari UU sebelumnya terkait pertambangan mineral dan batubara. Ada sejumlah hal yang diubah pemerintah melalui regulasi itu guna membenahi tata kelola pertambangan menjadi lebih baik.
Terkait dengan kasus PT Timah di Bangka Belitung, ada sejumlah pasal dalam UU No 3/2020 itu yang dapat dikaji sebagai bahan analisis terkait sejumlah hal yang menjadi poin pelanggaran. Salah satunya, terkait dengan kepemilikan IUP. Dalam kasus di Bangka Belitung itu, sejumlah perusahaan swasta melakukan aktivitas penambangan (ilegal) di wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) PT Timah dengan ”izin” oknum BUMN bersangkutan.
Baca juga: Tak Dipulihkan, Tambang Timah Rugikan Negara Rp 271 Triliun
Melalui cara kolusi itu, sejumlah perusahaan swasta dengan leluasa mengarap lahan tambang resmi tersebut tanpa (harus) memperhatikan aspek kerusakan lingkungan. Pasalnya, kegiatan pertambangan itu berada di area milik PT Timah sehingga secara normatif menjadi tanggung jawab PT Timah.
Dari praktik itu saja, ada sejumlah sanksi dari UU 3/2020 yang dapat disangkakan. Pelaku kegiatan pertambangan mineral (ilegal) tersebut bukan pemegang izin resmi yang memiliki IUP; izin usaha pertambangan khusus (IUPK); izin pertambangan rakyat (IPR); surat izin penambangan batuan (SIPB); dan izin lainnya yang terkait penambangan di WIUP PT Timah itu. Hal ini sudah termasuk kategori pelanggaran pidana. Sanksinya, para pelaku dapat diancam pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp 100 miliar.
Dalam konteks itu, para pelaku, baik oknum BUMN maupun oknum dari pihak swasta, sama-sama berpeluang dituduhkan dengan poin tersebut. Dengan demikian, ancaman kurungan 5 tahun penjara dan denda maksimal Rp 100 miliar kemungkinan besar akan menunggu mereka di pengadilan.
Reklamasi menjadi kewajiban
Hal yang menarik untuk disimak dari kasus bisnis culas PT Timah di Bangka Belitung itu adalah kerugian negara dari aspek kerusakan lingkungan yang mencapai Rp 271 triliun. Apakah kerusakan sebesar ini akan dibebankan kepada para pelaku atau institusi yang terlibat? Seandainya diganti sekalipun, apakah nominal rehabilitasinya juga senilai kerugiannya?
Mengacu pada UU No 3/2020 terkait klausul reklamasi disebutkan bahwa pemegang IUP atau IUPK pada tahap kegiatan operasi produksi sebelum menciutkan atau mengembalikan WIUP atau WIUPK wajib melaksanakan reklamasi dan pascatambang hingga mencapai tingkat keberhasilan 100 persen.
Rehabilitasi hingga 100 persen itu merupakan poin yang sangat bagus untuk menjamin keberlangsungan keletarian alam di masa depan. Namun, apakah hal itu akan dilakukan PT Timah sesegera mungkin? Kemungkinan besar upaya reklamasi itu masih panjang karena WIUP itu hingga kini masih digunakan untuk operasi produksi pertambangan milik PT Timah.
Operasi produksi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan yang meliputi konstruksi, penambangan, pengolahan, pemurnian, pengembangan, dan juga pemanfaatan. Selain itu, juga termasuk kegiatan pengangkutan dan penjualan, serta sarana pengendalian dampak lingkungan sesuai dengan hasil studi kelayakan.
Baca juga: Kontribusi Timah Bangka Belitung Timpang dengan Nilai Korupsinya
Jadi, dengan status WIUP yang masih aktif tersebut tidak ada keharusan bagi PT Timah untuk segera mereklamasi kerusakan yang ditimbulkan oleh penambangan (ilegal) pihak swasta itu sesegera mungkin hingga pulih 100 persen. Kemungkinan besar PT Timah akan melakukan tahapan rehabilitasi secara bertahap guna memenuhi ketentuan regulasi.
Apalagi, status PT Timah yang merupakan BUMN membuat institusi ini relatif aman terkait keberlanjutan usahanya. Tentu saja dengan jaminan dari negara dan komitmen untuk mereklamasi pascatambang di masa depan, tentu saja IUP milik PT Timah tidak akan dicabut.
Wilayah konsensi PT Timah di Bangka Belitung masih memiliki prospek cerah terkait komoditas timah nasional. Berdasarkan laman babelprov.go.id, sumber daya timah di Kepulauan Bangka Belitung pada tahun 2021 mencapai 2,18 juta ton dengan potensi cadangan sebanyak 1,97 juta ton. Dengan potensi ini, Bangka Belitung mendapat predikat sebagai wilayah penghasil timah terbesar di Indonesia dan menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara penghasil timah terbesar di dunia. Setiap tahun sekitar 80 persen komoditas ekspor Bangka Belitung berupa komoditas timah dengan nilai lebih dari 2 miliar dollar AS.
Masyarakat dan lingkungan merugi
Dari kalkulasi ancaman hukuman dan denda yang didapat dari aturan yang berlaku, tampaknya hal itu relatif bukan menjadi ”persoalan” besar bagi para pelaku kolusi dan korupsi PT Timah. Dengan ancaman denda senilai Rp 100 miliar sekalipun, tampaknya tidak menjadi hal yang relatif berat bagi sebagian oknum pihak swasta yang terlibat. Nyatanya, sebagian di antara mereka hidup bergelimang harta dan mampu memiliki kendaraan supermewah serta pesawat jet berharga ratusan miliar rupiah.
Institusi PT Timah selaku pemilik resmi IUP yang ditambang (ilegal) oleh pihak swasta itu juga tampaknya aman. Perusahaan BUMN ini tidak akan dilikuidasi dan berhenti aktivitas produksinya meskipun secara teori menimbulkan dampak buruk bagi lingkungan akibat praktik oknum yang tidak terpuji.
Baca juga: Korupsi Timah Sisakan Kerusakan Lingkungan dan Anak Putus Sekolah
Masyarakat dan pemerintah daerah setempat harus bersiap untuk melakukan mitigasi semaksimal mungkin karena ada kemungkinan dampak buruk yang akan terjadi di lingkungan setempat. Namun, pemerintah pusat juga harus bertanggung jawab secara maksimal. Pasalnya, PT Timah sebagai institusi BUMN pertambangan sudah menyediakan dan menempatkan dana jaminan reklamasi dan/atau dana jaminan pascatambang. Jadi, seberapa besar skala kerusakannya, pemerintah dan juga BUMN bersangkutan wajib mereklamasi hingga pulih 100 persen.
Pada akhirnya, praktik culas berbau korupsi ini justru sangat membebani negara dan masyarakat setempat sebagai pihak yang terdampak langsung. Kerugian lingkungan di Bangak Belitung akibat penambangan timah yang mencapai Rp 271 triliun itu sangat timpang dengan ketersediaan dana untuk biaya pemulihan lingkungannya. Berdasarkan Statistik Pertambangan Bahan Galian Indonesia 2022, dana pemulihan lingkungan akibat usaha penggalian di Bangka Belitung hanya berkisar Rp 15 miliar. Dengan kewajiban reklamasi hingga 100 persen, perlu upaya ekstra bagi institusi BUMN PT Timah dan juga pemerintah untuk bertanggung jawab memulihkannya. Pada akhirnya, perilaku korupsi tambang itu turut serta melibatkan tanggung masyarakat Indonesia secara luas. (LITBANG KOMPAS)