Korupsi Timah Sisakan Kerusakan Lingkungan dan Anak Putus Sekolah
Timah sudah menjadi komoditas yang dieksploitasi penguasa dan pengusaha hitam sejak era Kesultanan dan kolonial.
Kasus dugaan korupsi pengelolaan timah pada wilayah izin usaha pertambangan PT Timah 2015-2022 yang merugikan negara Rp 271 triliun adalah puncak gunung es dari praktik pertambangan timah yang tidak memberikan manfaat untuk Bangka-Belitung. Praktik culas membuat pertambangan ”Si Emas Putih” hanya memperkaya segelintir pihak dan meninggalkan kerusakan lingkungan serta fenomena anak putus sekolah.
Tidak ada yang berubah dari kehidupan sehari-hari masyarakat di Kota Pangkal Pinang, Pulau Bangka, Babel, Minggu (31/3/2024). Padahal, Kejaksaan Agung baru saja mengungkap kasus megakorupsi pengelolaan timah yang menjerat 16 tersangka sejak Oktober 2023, termasuk sederet orang ternama, seperti pengusaha timah Bangka Tengah Tamron alias Aon, perempuan berjuluk crazy rich Pantai Indah Kapuk Helena Lim, dan suami artis Sandra Dewi, Harvey Moeis.
Baca juga: Harvey Moeis Dinilai Hanya Perpanjangan Tangan, Tugas Kejagung Ungkap Sosok di Baliknya
Bagi warga, mereka tidak asing dengan isu mengenai praktik korupsi pengelolaan timah yang dikendalikan oleh segelintir orang yang tidak tersentuh aparat. Itu sudah menjadi bahan pembicaraan sehari-hari, terutama di warung kopi. Bahkan, jejak praktik itu bisa terlihat di sejumlah lokasi sekitar.
Praktis yang menghebohkan masyarakat hanya nilai kerugian negara yang fantastis akibat kasus tersebut. Salah satu saksi ahli penyidik, yakni akademisi dari Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University, Bambang Hero Saharjo, dalam Kompas.id, 30 Maret 2024, kerugian itu terbagi menjadi kerugian lingkungan ekologis, kerugian ekonomi lingkungan, dan biaya pemulihan lingkungan. Total kerugian kerusakan lingkungan hidup Rp 271.069.688.018.700.
”Kalau kami, tidak heran lagi dengan praktik korupsi pengelolaan timah. Kami sering mendengarnya jauh sebelum kasus ini terungkap dan jejaknya bisa kita lihat. Informasi yang baru kami dengar paling, nilai kerugiannya ternyata sangat besar,” ujar Resha, warga Pangkal Pinang yang dihubungi Kompas dari Palembang, Minggu (31/3/2024).
Ironi di negeri tambang
Pemuka agama Islam sekaligus Rekor Universitas Muhammadiyah Babel, Fadillah Sabri, mengatakan, besarnya nilai kerugian kerusakan lingkungan hidup itu yang membuat masyarakat Babel kesal, marah, dan sekaligus menangis. Betapa tidak, sejumlah tersangka bisa hidup bergelimang harta dari hasil korupsi tersebut. Sebaliknya, masyarakat Babel hidup penuh keterbatasan.
Saat para cukong itu berfoya-foya menikmati keuntungan berlimpah dari korupsi pengelolaan timah, masyarakat di sini hanya menikmati permennya saja. Apa yang mereka nikmati tidak sebanding dengan hasil tambang dengan cara mengais-ngais yang dirasakan masyarakat.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Maret 2023, Babel menjadi provinsi dengan persentase penduduk miskin terendah keempat di Indonesia, yakni 4,52 persen. Hanya saja, Babel menjadi provinsi dengan garis kemiskinan tertinggi di Indonesia, yaitu Rp 874.204 per kapita per bulan.
Artinya, biaya hidup di Babel juga lebih tinggi dibandingkan provinsi lainnya. Itu karena garis kemiskinan mencerminkan nilai rupiah pengeluaran minimum yang diperlukan seseorang untuk memenuhi kebutuhan pokok hidupnya selama sebulan, baik untuk kebutuhan makanan maupun nonmakanan.
”Saat para cukong itu berfoya-foya menikmati keuntungan berlimpah dari korupsi pengelolaan timah, masyarakat di sini hanya menikmati permennya. Apa yang mereka nikmati tidak sebanding dengan hasil tambang dengan cara mengais-ngais yang dirasakan masyarakat,” kata Fadillah.
Selain itu, lanjut Fadillah, ada bencana sosial yang mengintai Babel di masa depan akibat pengelolaan timah yang tidak bertanggung jawab tersebut. Akses kepada penambangan ilegal dan penjualan hasil tambang ilegal yang begitu mudah membuat warga tergiur mendapatkan uang secara cepat dari praktik-praktik tersebut, termasuk di kalangan anak-anak.
Baca juga: Pemufakatan Jahat di Tambang Timah, Jerat Helena Lim hingga Harvey Moeis
Tak heran, merujuk BPS 2023, Angka Partisipasi Kasar (APK) Perguruan Tinggi (PT) di Babel hanya 18,19 persen atau terendah di Indonesia. Sebaran angka putus sekolah di Indonesia pada 2022 menunjukkan Babel menjadi provinsi dengan persentase angka putus sekolah untuk jenjang SMA tertinggi di Indonesia, yakni 3,62 persen.
”Karena terbuai dengan mudahnya mendapatkan uang, banyak generasi muda Babel yang memilih kerja sebagai petambang timah ilegal. Risiko ke depannya apa, masyarakat Babel akan menjadi masyarakat budak karena mereka hanya mampu bekerja tanpa memiliki pengetahuan. Ujung-ujungnya, saat akses kepada kenikmatan sesaat itu tertutup, mereka bingung mau melakukan apa. Akhirnya, kejahatan sosial akan merajalela,” tuturnya.
Lahan kritis
Penjabat Gubernur Babel Safrizal ZA dilansir Babelprov.go.id, 18 Januari 2024 menuturkan, lahan kritis akibat aktivitas pertambangan ilegal di Bebal mencapai 167.065 hektar. Sepanjang 2023, Babel baru mampu memulihkan sekitar 16.000 hektar.
Menurut Fadillah, dari sudut pandang budaya, kerusakan lingkungan yang masif itu telah menghilangkan jati diri orang Babel. Setidaknya, dahulu, Babel dikenal sebagai salah satu daerah penghasil lada atau sahang terbaik di Nusantara. Kini, banyak lahan perkebunan lada yang beralih fungsi menjadi tambang timah ilegal.
Baca juga: Diduga Akomodasi Tambang Timah Ilegal, Suami Sandra Dewi, Harvey Moeis, Jadi Tersangka
Lahan-lahan perkebunan lada lainnya hanya menunggu waktu beralih fungsi karena telah dikepung tambang.
”Sekarang, lahan berkebun semakin berkurang. Lahan yang tersisa juga tidak sehat lagi karena dikelilingi oleh limbah bekas tambang. Mengembalikan lingkungan yang rusak itu tidak mudah, butuh waktu belasan hingga puluhan tahun untuk pohon tumbuh tinggi,” ujar Fadillah.
Krisis turut memperparah konflik satwa dan manusia. Buaya muara (Crocodylus porosus), misalnya, mereka kehilangan habitat alami karena sudah berubah menjadi tambang timah. Hal itu membuat buaya memasuki permukiman manusia untuk mencari sumber makanan.
Berdasarkan data Pusat Penelitian dan Konservasi Satwa Liar Alobi Foundation dari 2016 hingga akhir 2023, jumlah korban manusia yang meninggal akibat serangan buaya mencapai 36 jiwa dari sekitar 200 kasus yang dilaporkan. Sebaliknya, jumlah buaya yang menjadi korban tak terhitung karena sering kali warga langsung mengambil tindakan sendiri dan sulit dicegah.
”Terdapat 12.607 kolong atau lubang bekas tambang dengan luas akumulasi mencapai 15.579,747 hektar di seluruh Babel. Karena pembiaran, tanah di sekitar kolong yang labil sering menimbulkan korban meninggal karena tenggelam ke dalam kolong, khususnya di kalangan anak-anak. Apalagi kedalaman kolong mencapai belasan hingga puluhan meter,” ungkap Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Babel Ahmad Subhan Hafiz.
Terdapat 12.607 kolong atau lubang bekas tambang dengan luas akumulasi mencapai 15.579,747 hektar di seluruh Babel. Karena pembiaran, tanah di sekitar kolong yang labil sering menimbulkan korban meninggal karena tenggelam ke dalam kolong, khususnya di kalangan anak-anak.
Momentum perbaikan
Direktur Babel Resources Institute Teddy Marbinanda mengatakan, pengungkapan kasus korupsi pengelolaan timah oleh Kejaksaan Agung patut diapresiasi. Itu karena para tersangka yang ditahan adalah orang-orang kuat yang melakukan praktik pertambangan ilegal secara vulgar. Selama ini, mereka sulit disentuh, bahkan cenderung tidak pernah disentuh aparat.
Semangat pemberantasan korupsi timah itu wajib disambut oleh pemerintah daerah maupun pusat untuk membenahi tata kelola pertambangan. Kalau kasus itu dibuka secara tuntas dan terang benderang, publik akan tahu bagaimana saja modus dalam korupsi pengelolaan timah yang begitu rumit, banyak celahnya, dan bersifat lintas sektor.
Lagi pula, saat ini, semua aktivitas pertambangan ilegal sedang tiarap. ”Ini adalah momentum perbaikan tata kelola pertambangan timah di Babel. Jangan sampai kita menyia-nyiakannya. Mari kita telan pahitnya pengungkapan kasus ini untuk merasakan manisnya manfaat tambang di kemudian hari,” katanya.
Ke depan, Teddy menambahkan, jangan pernah memberikan celah sedikit pun untuk pertambangan ilegal baik yang dikelola swasta maupun masyarakat. ”Tambang ilegal adalah sumber malapetaka yang membuat hasil timah hanya dirasakan segelintir orang, sedangkan masyarakat cuma merasakan serpihannya,” tuturnya.
Baca juga: Helena Lim Jadi Tersangka Ke-15 Kasus Timah, Kejagung Sita Uang Miliaran Rupiah
Sejarawan dan budayawan Babel yang menerima Anugerah Kebudayaan Indonesia, Dato Akhmad Elvian, mengatakan, sejak timah mulai dieksplorasi dan dieksploitasi secara besar-besaran di era Kesultanan Palembang Darussalam pada abad ke-17, timah telah menggoda sejumlah pihak untuk melakukan penyelundupan ataupun korupsi demi memperkaya diri sendiri.
Di era Sultan Mahmud Badaruddin I (berkuasa 1724-1757), misalnya, banyak pihak yang coba menyelundupkan timah untuk dijual ke pasar bebas yang menawarkan harga 15 dollar Spanyol per pikul (60 kilogram). Sementara itu, harga yang dipatok Kesultanan hanya 10 dollar Spanyol per pikul.
”Salah satu pelakunya adalah orang kepercayaan Sultan Mahmud Badaruddin I, yakni orang China bernama Boen Asiong yang menjual timah ke wangkang-wangkang dari China yang merapat di pelabuhan tersembunyi dekat Mentok.
Boen Asiong sempat dihukum mati tetapi berkat uang sogok kepada sejumlah menteri Kesultanan, hukumannya berkurang hingga hanya dihukum penyitaan harta benda dan kewajiban mengawasi pembangunan benteng serta gudang di Bangka,” ujar Elvian
Memasuki era Sultan Ahmad Najamuddin I (berkuasa 1758-1776), Kesultanan membuat aturan lebih ketat dengan membuat 13 pangkalan yang masing-masing dipimpin oleh keluarga ataupun kerabat Sultan.
Dari pangkalan-pangkalan itu, timah hasil tambang ditampung sebelum didistribusikan ke Palembang dan Batavia. Sultan pun menerapkan aturan hukuman mati tanpa pandang bulu kepada para penyeludup timah.
Baca juga: Ke DPR, Pemprov Babel Persoalkan Sulitnya Izin Tambang Timah Rakyat
Di era Hindia Belanda, Residen Bangka K Heynis tergoda melakukan korupsi dalam pengelolaan keuangan pertambangan timah. Hal itu menyebabkan dirinya dipecat sehingga hanya menjabat singkat dari 10 Desember 1816 hingga pertengahan 1817. ”Dalam pembelaannya, K Heynis mengaku gajinya sebagai pejabat pemerintahan dan pertambangan di Bangka tidak cukup,” kata Elvian.
Hanya segelintir
Sejak di bawah kendali Kesultanan Palembang Darussalam, Hindia Belanda, hingga sekarang, Elvian menuturkan, timah praktis hanya dinikmati oleh segilintir pihak. Berkat timah, Sultan Palembang sempat menjadi salah satu raja Melayu terkaya dengan jejak keraton megah dalam Benteng Kuto Besak dan bisa membangun Masjid Agung di Palembang.
Adapun Hindia Belanda tercatat mengeruk hingga 1 juta ton timah selama berkuasa di Bangka pada 1816-1940an. Berkat itu, Kerajaan Belanda di Eropa menjelma dari kerajaan yang hampir bangkrut karena perang berlarut menjadi salah satu terkaya di Benua Biru. Mereka pun mampu membangun sejumlah kota dari reklamasi laut, antara lain Amsterdam dan Rotterdam. ”Sebaliknya, Bangka semakin terendam,” ujar Elvian.
Kendati demikian, apa yang diperbuat oleh Kesultanan dan Hindia Belanda masih memberikan dampak untuk pembangunan Babel. Paling tidak, Kesultanan meninggalkan sejumlah masjid yang masih bisa dimanfaatkan masyarakat dan membentuk sistem sosial ataupun budaya yang masih berlaku hingga saat ini.
”Pemerintah kolonial meninggalkan banyak perkantoran, fasilitas umum, permukiman, dan akses jalan yang masih dimanfaatkan hingga sekarang,” ujar Elvian.
Baca juga: Mungkinkah Membuktikan Kerugian Perekonomian Negara Rp 271 Triliun di Kasus Timah?
Saat era kemerdekaan, lanjut Elvian, praktik monopoli di era kesultanan dan kolonial terus diterapkan. Namun, hasil timah tidak pernah benar-benar dirasakan oleh masyarakat. Ketika terjadi reformasi, masyarakat diberikan kesempatakan untuk melakukan penambangan. Ternyata, itu justru menimbulkan petaka baru yang tetap ujung-ujungnya hanya menguntungkan segelintir pihak.
”Waktu itu, mulailah kebun-kebun lada beralih fungsi menjadi tambang timah. Nelayan tangkap ikan menjadi nelayan timah. Akhirnya, dampak kerusakan lingkungan menjadi lebih masif. Masyarakat memang bisa merasakan hasil timah tetapi tidak sebanding dengan dampak kerusakan lingkungan yang terjadi. Ujung-ujungnya, yang untung tetap penampung timah alias kolektor. Mereka tidak perlu menambang tetapi bisa mendapatkan timah,” katanya.
Sepanjang sejarahnya, para penguasa coba meraup keuntungan sebesar-besarnya dari keberadaan timah di Babel. Akan tetapi, seburuk-buruknya monopoli yang ada di masa lalu masih menyisakan jejak pembangunan di masa kini. Sebaliknya, para tersangka megakorupsi timah hanya meninggalkan jejak kerusakan lingkungan dan fenomena anak-anak putus sekolah.