Menanti Perdamaian bagi Gaza di Bulan Ramadhan (Bagian 2)
DK PBB menuntut Hamas dan Israel segera melakukan gencatan senjata atas pertempuran di Jalur Gaza selama bulan Ramadhan.
Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa telah mengeluarkan resolusi yang menuntut gencatan senjata segera terhadap perang Hamas-Israel di Gaza. Lantas, bagaimana cara supaya resolusi ini dapat diterapkan secara sempurna oleh kedua pihak yang bertikai?
Harapan akan tibanya perdamaian bagi 2,3 juta warga Gaza mulai terbit di bulan Ramadhan ini. Dewan Keamanan (DK) PBB, melalui Resolusi Nomor S/RES/2728 (2024), menuntut Hamas dan Israel segera melakukan gencatan senjata segera (immediate ceasefire) atas pertempuran di Jalur Gaza selama Ramadhan. Resolusi itu juga meminta pembebasan tanpa syarat semua sandera dan pembukaan akses aliran bantuan kemanusiaan seluas mungkin.
Banyak pihak menilai, resolusi ini adalah harapan terbesar dalam membawa perdamaian bagi Jalur Gaza. Ini tak terlepas dari sifat mengikat yang terkandung dalam resolusi tersebut. Pasal 25 Piagam PBB menyatakan, setiap negara anggota wajib menerima dan melaksanakan keputusan DK PBB. Selain itu, kekuatan hukum resolusi DK PBB juga telah dipertegas melalui Pendapat Nasihat Mahkamah Pidana Internasional (ICJ) dalam kasus Namibia 1971.
Dengan demikian, Israel, sebagai anggota PBB sejak 1949, telah terikat hukum internasional untuk segera melakukan gencatan senjata. Begitu pula Hamas, sekalipun mereka aktor non-negara yang tidak tergabung dalam PBB.
Baca juga: Menanti Perdamaian bagi Gaza di Bulan Ramadhan (Bagian 1)
Pasalnya, Resolusi 2728 juga menggunakan hukum humaniter dan hak asasi manusia internasional sebagai salah satu dasar legalnya. Sebagaimana termaktub dalam Pasal 1 Protokol Tambahan II Konvensi Geneva, Hamas, sebagai sebuah kelompok terorganisasi yang menguasai sebuah wilayah, secara otomatis tercakup sebagai pihak yang harus mematuhi hukum internasional tersebut.
Hamas pun sudah mengakui keterikatannya dengan menyambut baik resolusi DK PBB. Mereka bahkan mengaku siap melakukan pengembalian sandera sebagai pemenuhan salah satu tuntutan resolusi.
Israel tetap bergeming
Walau resolusi telah dikeluarkan dan Hamas siap duduk di meja perundingan, Israel tetap bergeming. Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant bahkan menyatakan, Israel tidak memiliki kewajiban moral untuk mematuhi resolusi dan akan tetap melanjutkan peperangan (Kompas.id, 26/3/2024).
Ungkapan itu rupanya bukan gertak sambal belaka. Mesin-mesin tempur Israel tetap menyerang Gaza pascaresolusi DK PBB diputuskan. Kantor PBB untuk Urusan Kemanusiaan di Palestina (OCHA oPt) melaporkan, setidaknya terdapat 133 warga Palestina meninggal dan 203 lainnya luka-luka akibat serangan Israel pada 27-29 Maret 2024. Dengan demikian, jumlah korban Palestina di Gaza selama enam bulan perang berkecamuk telah mencapai 32.623 orang tewas dan 75.092 korban luka.
Meski Israel menyikapi resolusi DK PBB bak angin lalu, bukan berarti harapan akan berhentinya pertempuran di Gaza akan sirna sama sekali. Sejarah telah menunjukkan, resolusi DK PBB mampu membawa perdamaian terhadap sejumlah konflik di berbagai belahan dunia. Ini berkat sejumlah prosedur yang dimiliki oleh DK PBB dalam memastikan resolusi dipatuhi secara efektif oleh semua pihak yang bertikai.
Baca juga: Perang Gaza Tak Berkesudahan
Berdasarkan Pasal 33 Piagam PBB, ketika tuntutan sebuah resolusi tidak dipenuhi oleh pihak yang bertikai, Dewan Keamanan pertama-tama perlu mengupayakan penyelesaian konflik melalui cara-cara damai. Hal ini mencakup negosiasi, pencarian fakta, mediasi, konsiliasi, kesepakatan regional, ataupun pengadilan internasional. Untuk melakukan upaya-upaya tersebut, DK PBB harus menerbitkan resolusi lanjutan.
Salah satu prestasi Dewan Keamanan dalam menjembatani penyelesaian secara damai ini pernah dialami Indonesia saat Agresi Militer Belanda II. Melalui resolusi Nomor 67 yang diadopsi pada 28 Januari 1949, DK PBB meminta supaya Belanda segera menghentikan aksi militernya di Indonesia. Tak hanya itu, resolusi tersebut juga menjadi dasar terbentuknya Komisi PBB untuk Indonesia (UNCI). Kelak, UNCI berperan besar dalam terciptanya Konferensi Meja Bundar di Den Haag, yang akhirnya Belanda mengakui kedaulatan Indonesia sebagai negara merdeka.
Langkah keras dan tegas
Lantas, ketika upaya-upaya penyelesaian konflik dengan cara damai tak dapat diraih, Dewan Keamanan berhak untuk menerapkan langkah-langkah yang lebih tegas dan keras. Hal ini terutama ketika DK memutuskan bahwa konflik yang dimaksud telah mengancam kedamaian dan keamanan internasional. Sebagaimana tertulis di Bab VII Piagam PBB, sejumlah upaya lanjutan tersebut, mulai dari sanksi ekonomi dan diplomatik, embargo senjata, sampai penerjunan pasukan militer ke daerah konflik.
Salah satu penerapan sanksi paling lama dan berkelanjutan dari DK PBB adalah sanksi pembekuan aset, pelarangan bepergian, dan embargo senjata terhadap NIIS/ISIS dan Al-Qaeda. Sanksi tersebut dilakukan melalui Resolusi 2610 (2021) dan telah mencakup 256 individu dan 89 entitas per 7 Februari 2024. Adapun nama-nama individu dan entitas yang masuk daftar sanksi dihimpun berdasarkan laporan dari negara-negara anggota PBB.
Kemudian, dalam upaya memastikan pertempuran tidak berlanjut dan perdamaian segera tercipta, DK PBB dapat mengirimkan pasukan bersenjata ke daerah konflik. Hal ini ditempuh melalui misi perdamaian yang beranggotakan personel militer atau sipil kiriman negara-negara anggota PBB. Sejak 1948, PBB telah menerjunkan 2 juta personel dalam 72 misi perdamaian di 53 negara.
Baca juga: Biden Minim Aksi Hentikan Perang Gaza
Sejumlah misi yang dinilai berhasil membawa perdamaian adalah misi di Liberia (2003-2018), Pantai Gading (2004-2007), Timor Leste (1999-2002), dan Sierra Leone (1992-2005). Profesor Lise Howard dari Georgetown University menjelaskan, kekuatan utama di balik kesuksesan misi perdamaian PBB tersebut adalah pendekatan yang persuasi minim penggunaan kekuatan bersenjata.
Meski demikian, tak dapat disangkal bahwa kehadiran personel bersenjata dalam jumlah yang cukup memiliki peran kunci dalam membawa kembali perdamaian ke wilayah yang dikoyak oleh konflik. Menurut buku The Oxford Handbook on The United Nations, terdapat temuan bahwa kehadiran pasukan ”helm biru” sebanyak 8.000 personel dapat menurunkan korban jiwa warga sipil hingga 98 persen dibandingkan situasi tanpa adanya pasukan perdamaian.
Salah satu contoh kasus kegagalan misi perdamaian PBB akibat kurangnya jumlah personel dan perlengkapan militer yang memadai adalah misi UNPROFOR saat Perang Bosnia 1995. Kala itu, pasukan perdamaian PBB yang hanya berjumlah sekitar 300 orang gagal mencegah jatuhnya kota Srebrenica ke tangan tentara Serbia yang berjumlah ribuan prajurit. Padahal, DK PBB sebelumnya mengeluarkan Resolusi 819 yang menyatakan bahwa Srebrenica ditetapkan sebagai wilayah aman (safe area) yang bebas dari semua aksi bersenjata.
Tentara Serbia dengan leluasa merangsek masuk ke kota dan melakukan pembunuhan terhadap penghuni Srebrenica yang mayoritas pengungsi dan warga Muslim Bosnia. Pada Juli 1995, tak kurang dari 8.372 laki-laki Muslim Bosnia dibantai pasukan Serbia di Srebrenica. Mahkamah Internasional (ICJ) pada 2007 lantas memutuskan bahwa tragedi tersebut masuk kategori kejahatan genosida.
Pengabaian Israel
Pengabaian Israel terhadap Resolusi 2728 pun dikhawatirkan dapat mengulang mimpi buruk Srebrenica. Terlebih lagi, ini bukan kali pertama Israel menolak resolusi dari DK PBB. Salah satunya adalah terkait resolusi DK PBB Nomor 2334 (2016) yang menuntut Israel menghentikan segala bentuk pendudukan di wilayah Palestina, termasuk Jerusalem Timur. Alih-alih menuruti tuntutan, Israel justru mengecam resolusi itu dan terus merampas lahan Palestina di Tepi Barat hingga sekarang.
Israel dan Palestina boleh dikatakan telah menjadi ujian terberat PBB dalam mewujudkan keamanan dan perdamaian internasional. Setidaknya telah terdapat 190 resolusi DK PBB menyangkut persoalan Palestina sejak 1948. Namun, nyatanya, hingga kini api konflik masih terus menyala di Palestina, bahkan semakin membara.
Baca juga: Mahkamah Internasional Perintahkan Israel Buka Pintu-pintu Perbatasan ke Gaza
Pada 30 Maret 2024, Pasukan Sementara PBB di Lebanon (UNIFIL) melaporkan bahwa pertempuran mulai meluas ke wilayah Lebanon dan Suriah. Situasi ini dikhawatirkan dapat bereskalasi menjadi konflik skala regional. Tentu hal ini membuat keamanan dan perdamaian internasional semakin berada di ujung tanduk.
Dengan demikian, PBB diharapkan dapat mengambil keputusan yang lebih tegas dari sebelumnya supaya resolusi tidak lagi hanya berhenti di atas kertas. Komunitas internasional wajib untuk terus mengencangkan tuntutannya supaya Israel dan Hamas segera meneken kesepakatan gencatan senjata. Sebab, hanya dengan itulah, warga Palestina di Gaza dapat segera mencicipi datangnya perdamaian di bulan Ramadhan. (LITBANG KOMPAS)