Kejahatan perang dan genosida yang dilakukan Israel harus digaungkan agar memiliki resonansi.
Oleh
HAMID AWALUDIN
·4 menit baca
Pada 27 Februari 2024, di depan Kedutaan Besar Israel di Washington DC, Amerika Serikat, hati nurani siapa pun pasti terguncang menyaksikan Aaron Bushnell, tentara Angkatan Udara AS, membakar diri hingga roboh dan kehilangan nyawa. Ketika api merambati tubuh, ia masih teguh berulang kali meneriakkan, ”Free Palestine!”
Sebelum aksi ekstrem itu, Bushnell mengunggah pernyataan di media sosial, ia tak bisa berdiam diri melihat genosida di Gaza. Dunia memang tengah menyaksikan kejahatan perang dan genosida dilancarkan Israel di Gaza. Sejak pecah perang Israel dan Hamas pada 7 Oktober 2023, AS sudah tiga kali memveto resolusi Dewan Keamanan PBB yang menyerukan gencatan senjata segera di Gaza.
Serangan Hamas secara mendadak pada 7 Oktober itu bertepatan dengan 50 tahun serangan Mesir dan Suriah ke Israel, dikenal sebagai perang Yom Kippur, pada 1973. Serangan Yom Kippur itu mendadak, tak terdeteksi, dan membuat Israel keok. Lantas, kenapa Israel tidak belajar dari perang Yom Kippur tahun 1973?
Pertama, Israel belakangan ini terfokus membangun hubungan diplomatik formal dengan Arab Saudi. Beririsan dengan ini, atas prakarsa China, hubungan diplomatik antara Iran dan Arab Saudi sudah dijahit dengan rapi.
Sejumlah negara Barat hingga kini tetap terbius dengan alasan membela diri yang dikumandangkan Israel.
Dalam perspektif Israel, segalanya lebih ”tenang” karena hubungan antara Iran dan Arab Saudi mulai membaik, sementara hubungan baik Israel dengan Arab Saudi juga sedang berproses. Dengan demikian, Iran pelan-pelan bisa diajak kompromi.
Manakala Iran tak lagi menjadi seteru abadi, kegelisahan Israel atas keamanan dalam negerinya berkurang. Selama ini, gerakan perlawanan Hezbollah di Lebanon yang selalu merepotkan Israel adalah gerakan binaan Iran. Kelompok garis keras Hamas pun ditengarai banyak dipersenjatai dan dibiayai Iran.
Kegelisahan Israel terkait Iran juga berkurang karena AS yang menjadi pelindung utama Israel berhasil meredam Iran untuk tidak lagi agresif mengembangkan nuklir.
Bersamaan dengan ini, Israel melalui Abraham Accord menjalin kesepakatan damai dan hubungan diplomatik dengan negara-negara Teluk dan Afrika (Uni Emirat Arab, Bahrain, Maroko, dan Sudan).
Terkait Hamas, Israel alpa mengantisipasi bahwa Hamas, sebagai kelompok perlawanan, bisa beradaptasi dengan perkembangan teknologi mutakhir dan melancarkan serangan jitu pada 7 Oktober itu.
Langkah selanjutnya
Sejak Oktober 2023 hingga kini, korban jiwa akibat serangan membabi buta Israel ke Gaza sudah sekitar 30.000 orang. Infrastruktur hancur, termasuk fasilitas rumah sakit. Suplai makanan terbatasi di bawah kekuasaan Israel. Air bersih nihil. Serangan Israel sudah di luar batas perikemanusiaan.
Semua itu dilakukan atas nama pembelaan diri. Serangan tanpa ampun itu masuk dalam kategori dogma pertahanan tentara Israel: decisive victory.
Berdasar dogma itu, Israel tidak peduli lagi bagaimana cara membunuh musuh, sebagaimana diamanahkan oleh hukum humaniter internasional. Tujuannya, menghancurkan Hamas. Segala cara dibenarkan ditempuh demi mencapai tujuan itu.
Ramifikasi dari perang Israel-Hamas ini bisa saja melibatkan aktor superkuat lain, misalnya China dan Rusia. China memiliki kepentingan untuk menjaga kawasan Teluk agar tetap adem demi kelancaran lalu lintas pengiriman barang-barang mereka ke Afrika.
Selain itu, China juga mengincar negara-negara Timur Tengah sekarang sebagai tempat investasi masifnya.
Rusia pun bisa jadi ikut meramaikan irama gendang perang di Gaza untuk mengalihkan perhatian dunia internasional atas invasi yang dilakukannya terhadap Ukraina.
Rusia mungkin tidak melibatkan diri mendukung Hamas dalam berperang melawan Israel, tetapi melibatkan diri dalam menghadapi keangkuhan AS mendukung Israel, terutama dalam Dewan Keamanan PBB.
Salah satu cara untuk menekan Israel agar segera memasuki gencatan senjata melawan Hamas adalah mengubah alibinya, dari mempertahankan diri menjadi aksi genosida dan kejahatan perang.
Berdasar dogma itu, Israel tidak peduli lagi bagaimana cara membunuh musuh, sebagaimana diamanahkan oleh hukum humaniter internasional.
Sejumlah negara Barat hingga kini tetap terbius dengan alasan membela diri yang dikumandangkan Israel. Kejahatan perang dan genosida yang dilakukan Israel harus digaungkan agar memiliki resonansi.
Dengan agenda genosida serta kejahatan perang dan kemanusiaan, tekanan publik domestik Israel bisa mengimpit Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk menghentikan perang atau segera melakukan gencatan senjata.
Untuk membujuk Hamas, faktor Iran harus jadi agenda tersendiri. Apabila Iran menghendaki Hamas menghentikan perang, besar harapan hal itu bisa dicapai. Iran juga bisa diajak mengerem aksi kekerasan dan perang Hezbollah melawan Israel. Sekali merengkuh dayung, dua pulau bisa terlampaui.
Kita juga bisa mengikuti cara AS menyelamatkan muka sekaligus menghentikan perang melawan Taliban di Afghanistan yang berlangsung 20 tahun lamanya. AS ketika itu bekerja sama dengan Qatar untuk mencapai perundingan damai dengan Taliban. Qatar jadi tulang punggung keuangan gerakan Taliban. AS jeli memahami ini.
Selama ini Qatar juga disebut-sebut aktif menyuplai bantuan ke Hamas. Apa salahnya menggandeng Qatar untuk mencari jalan dihentikannya perang di Gaza. Qatar dan Iran juga bisa dimintai jasa baiknya membujuk Hamas untuk mencapai solusi dua negara, yang selama ini terus ditolaknya.
Solusi dua negara adalah jalan terbaik menyelesaikan konflik Palestina-Israel. Bukan sekadar terbaik, tetapi memang hanya jalan itu yang tersedia.
Ke arah sana segala energi semua bangsa selayaknya dikonsentrasikan. Diplomasi semesta tentang solusi dua negara sangat realistis dan bisa diwujudkan. Selama diplomasi kita menutup diri untuk berunding dengan salah satu pihak yang bertikai di Gaza, selama itu pula peran kita untuk mencari solusi damai di Timur Tengah hanya sekadar jadi catatan.
Hamid Awaludin, Mantan Duta Besar RI untuk Federasi Rusia dan Belarus