”Ferienjob” dan Fenomena Gunung Es Perdagangan Orang
Beberapa mahasiswa Indonesia menjadi korban eksploitasi kerja dengan dijanjikan kerja magang atau ”ferienjob” di Jerman.
Pada 19 Maret 2024 lalu, Badan Reserse Kriminal atau Bareskrim Polri mengungkap dugaan kasus perdagangan orang dengan modus program magang mahasiswa Indonesia di Jerman. Pengungkapan kasus ini bermula dari informasi yang diberikan Kedutaan Besar RI di Jerman setelah menerima empat mahasiswa yang mengaku sedang mengikuti program ferienjobdi Jerman.
Para mahasiswa ini ternyata dipekerjakan paruh waktu dengan kerja-kerja fisik yang penuh eksploitasi. Saat bekerja, durasi waktu kerja mereka bisa mencapai 11 jam. Meski bekerja hingga larut malam, perusahaan tempat bekerja juga tidak menyediakan transportasi jemputan.
Mereka harus berjalan kaki selama 1,5 jam di tengah musim dingin. Sebelum berangkat ke Jerman, para mahasiswa ini diminta untuk membayar sejumlah uang dan dana talangan Rp 30 juta-Rp 50 juta per orang.
Terungkapnya kasus eksploitasi kerja magang atau ferienjob ini membuka fenomena gunung es perdagangan orang. Merujuk UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, disebutkan perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
Beberapa indikator yang dapat dikategorikan dalam tindak pidana perdagangan orang ialah tidak diberikannya fasilitas kerja yang memadai; tidak menerima upah atau imbalan tidak sesuai; adanya jeratan utang untuk membayar biaya pengganti rekrutmen, jasa perantara, biaya perjalanan; pembatasan kebebasan untuk mengadakan kontak dengan orang lain, termasuk keluarga; serta pembatasan atau perampasan kebebasan bergerak.
Hingga saat ini, praktik perdagangan orang masih terjadi di Indonesia. Bahkan, jumlah kasus dan korban perdagangan orang justru meningkat. Berdasarkan data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA), sepanjang tahun 2017 hingga Oktober 2022 tercatat sebanyak 2.356 korban perdagangan orang yang terlaporkan.
Sejak tahun 2019 terjadi peningkatan jumlah korban yang terlaporkan. Jika pada tahun 2019 terdapat 226 korban perdagangan orang, pada 2020 menjadi 422 korban, pada 2021 menjadi 683 korban, dan pada Januari-Oktober 2022 tercatat 401 korban.
Sementara berdasarkan data Polri, selama periode 5 Juni-16 Juli 2023, Satuan Tugas Tindak Pidana Perdagangan Orang melaporkan telah menerima 680 laporan kasus perdagangan orang dengan 2.093 korban.
Dari jumlah itu, modus yang paling banyak ditemukan adalah sebagai pekerja migran atau asisten rumah tangga sebanyak 471 kasus. Kemudian, sebagai pekerja seks komersial (PSK) ada sebanyak 201 kasus dan eksploitasi anak 47 kasus. Modus lainnya adalah sebagai anak buah kapal (ABK) sebanyak 9 kasus.
Terkait dengan modus pekerja migran, sebagian besar korban terjerat karena alasan ekonomi, yaitu tergiur iming-iming penghasilan besar. Sejumlah negara diketahui menjadi negara tujuan perdagangan orang dengan modus pekerja migran, di antaranya Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Taiwan, Jepang, Hong Kong, Korea Selatan, Arab Saudi, Timur Tengah, dan beberapa negara Eropa.
Sejarah perdagangan orang
Praktik perdagangan orang juga menjadi fenomena dunia. Berdasarkan laporan tahunan situasi perdagangan orang yang diterbitkan Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat berjudul ”Trafficking In Person Report 2023” diketahui bahwa ada 115.324 orang korban perdagangan manusia yang teridentifikasi secara global pada 2022.
Jika dibandingkan dengan tahun lalu, jumlah tersebut meningkat sekitar 27 persen. Pada tahun 2021, jumlah korban perdagangan manusia secara global tercatat sebanyak 90.354 orang. Jumlah korban perdagangan orang tersebut juga terpantau meningkat dibandingkan pada tahun 2015 yang mencapai 77.823 orang.
Berdasarkan wilayahnya, korban perdagangan orang terbanyak pada 2022 berasal dari Asia Selatan dan Tengah, yakni 49.715 orang. Diikuti wilayah Eropa sebanyak 24.528 dan Afrika sebanyak 21.790 orang.
Dari laporan yang berbeda, bertajuk ”2022 Global Report on Trafficking in Persons”, diketahui dari 51.675 kasus perdagangan orang yang dilaporkan pada 2020, korban perdagangan manusia paling banyak menyasar perempuan (42 persen).
Baca juga: Menekan Pertambahan Kasus Perdagangan Orang
Melihat sejarahnya, praktik perdagangan orang ini sudah lama lekat dengan peradaban manusia. Bentuk paling awal perdagangan orang dimulai dengan perdagangan budak. Merujuk arsip Kompas dan Kompaspedia, praktik perdagangan orang, yang menempatkan manusia sebagai komoditas, telah berkembang luas pada abad ke-14 saat muncul pasar budak untuk merespons kurangnya tenaga kerja di Eropa serta wilayah koloninya.
Pada abad ke-15, bangsa Portugis mulai mendatangkan budak dari Afrika Barat ke Eropa. Selanjutnya, pada abad ke-16, bangsa Spanyol membawa budak ke tanah Amerika. Selama kira-kira 350 tahun berikutnya, periode yang dikenal sebagai Perdagangan Budak Transatlantik, sekitar 12,5 juta budak dikirim dari Afrika ke seluruh dunia.
Dunia melawan kejahatan perdagangan orang
Praktik kejahatan ini baru ditentang pada 1807 ketika Inggris melarang perbudakan. Disusul Amerika Serikat pada 1820, dan negara-negara lainnya. Hingga kemudian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan perjanjian atau konvensi yang mengatur penghapusan perbudakan dan perdagangan manusia pada 1949. Sejak saat itu praktik perdagangan orang sudah menjadi persoalan internasional yang mengancam keamanan manusia.
Komitmen dunia untuk melawan kejahatan perdagangan orang ini juga ditandai setiap tanggal 30 Juli. Pada tanggal itu, setiap tahun seluruh dunia memperingati Hari Anti-perdagangan Orang atau World Day against Trafficking in Persons. Peringatan ini bertujuan untuk menentang dan meningkatkan kesadaran serta kepekaan masyarakat dunia terhadap masalah kejahatan perdagangan orang. Selain itu, juga untuk mempromosikan dan mendukung hak-hak korban.
Merujuk laman PBB, peringatan Hari Anti-perdagangan Orang pertama kali ditetapkan pada tahun 2013 oleh Majelis Umum PBB. Sejarah penetapannya bermula pada tahun 2003 ketika United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) telah mencatat sebanyak 225.000 kasus perdagangan orang di seluruh dunia.
Komitmen yang sama juga diambil Pemerintah Indonesia. Perhatian serius dalam upaya pemberantasan kejahatan perdagangan orang salah satunya dengan lahirnya UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Peraturan ini memuat aturan yang tegas terhadap para pelaku berupa pidana penjara dan pidana denda. Juga ketentuan mengenai perlindungan saksi dan korban dalam perkara tindak pidana perdagangan orang.
Selain itu, pemerintah juga membentuk gugus tugas melalui Peraturan Presiden Nomor 69 Tahun 2008 tentang Gugus Tugas Pencegahan dan Penanganan TPPO yang bertujuan untuk mengoordinasikan upaya-upaya anti-perdagangan orang di tingkat nasional, termasuk pencegahan perdagangan orang, perlindungan korban, dan penuntutan tindak pidana.
Baca juga: Dijadikan Kuli dan Ditelantarkan, Kisah Mahasiswa Indonesia Ikut ”Ferienjob” di Jerman
Pijakan hukum yang tegas tersebut menjadi dasar bagi aparat penegak hukum untuk terus memerangi praktik perdagangan orang, termasuk bagi pelaku eksploitasi kerja terhadap sejumlah mahasiswa Indonesia yang dijanjikan kerja magang atau ferienjob di Jerman.
Bagaimanapun, perdagangan orang merupakan bentuk pelanggaran harkat dan martabat manusia. Keberadaannya dikecam di semua negara karena merupakan kejahatan serius terhadap kemanusiaan. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Perdagangan Orang di Asia Tenggara, Kejahatan Kemanusiaan yang Tak Kunjung Usai