Menakar Efek THR bagi Perekonomian Nasional
Nilai konsumsi kian melonjak drastis seiring dengan pendistribusian THR yang meningkatkan daya beli masyarakat.
Nilai konsumsi masyarakat kian melonjak drastis jelang Lebaran. Hal ini seiring dengan pendistribusian tunjangan hari raya atau THR yang diterima para pekerja swasta dan juga aparatur sipil negara. Bahkan, THR untuk pegawai pemerintah itu meluas hingga pensiunan dan ahli waris penerima pensiun. Hal ini menambah daya beli masyarakat yang berpotensi mendorong kemajuan ekonomi nasional.
THR masih menjadi andalan sebagian masyarakat untuk melaksanakan tradisi hari raya, termasuk Lebaran. Umumnya, sebagian besar masyarakat ingin melakukan perjalanan pulang ke kampung halaman untuk bersilaturahmi dengan sanak saudara, kerabat, dan sekaligus berlibur ke sejumlah tempat.
Keinginan masyarakat untuk pulang kampung itu tecermin dari hasil survei mengenai arus perjalanan mudik yang dilaksanakan Badan Kebijakan Transportasi Kementerian Perhubungan yang bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik serta Kementerian Komunikasi dan Informatika. Hasilnya, tren pergerakan masyarakat secara nasional diperkirakan mencapai 71,7 persen dari jumlah penduduk Indonesia atau sebanyak 193,6 juta orang. Angka tersebut meningkat pesat dibandingkan potensi pergerakan masyarakat pada masa Lebaran 2023 yang sekitar 123 juta orang.
Angka pergerakan masyarakat itu akan berkontribusi besar terhadap tingginya perputaran jumlah uang yang beredar. Apalagi, selama Ramadhan dan Idul Fitri, kebutuhan belanja masyarakat cenderung meningkat. Tingginya mobilitas para pemudik itu juga turut berimbas terhadap perekonomian daerah tujuan perjalanan. Setiap pemudik akan membelanjakan uangnya untuk kebutuhan selama pulang kampung, mulai dari biaya transportasi, akomodasi makan-minum, belanja barang kebutuhan, hingga berwisata atau liburan. Oleh sebab itu, hari raya Lebaran itu menjadi tradisi yang mendorong naiknya sisi permintaan konsumen. Dampaknya, harga-harga cenderung naik dan jumlah uang yang beredar menjadi semakin banyak.
Dalam konteks belanja, peran THR sangatlah penting bagi siapa pun yang berhak mendapatkannya. Dana ini dapat dimanfaatkan sebagai tambahan biaya yang dibutuhkan menjelang hari raya. Dengan adanya THR, konsumsi rutin bulanan untuk belanja kebutuhan pokok setiap rumah tangga relatif terjaga meski pengeluarannya meningkat seiring banyaknya kebutuhan jelang hari raya.
Pada Lebaran tahun ini, para ASN mendapat kabar gembira dari pemerintah berupa pemberian THR dan juga gaji ke-13. Tunjangan hari besar keagamaan ini diberikan secara utuh setelah empat tahun tunjangan ini dipotong akibat pandemi Covid-19. Untuk tahun ini, pemerintah mengalokasikan anggaran THR sebesar Rp 48,7 triliun.
Baca juga: THR Aparatur Negara Cair 22 Maret, Perputaran Uang di Daerah Bakal Melonjak
Rinciannya, jumlah itu terdiri dari Rp 29,7 triliun yang dialokasikan untuk aparatur negara dan pensiunan di pusat melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Rp 19 triliun untuk aparatur daerah dan guru ASN daerah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Menurut jadwal, THR akan mulai dicairkan pada H-10 Idul Fitri atau 22 Maret 2024.
Selain THR, pemerintah juga menganggarkan gaji ke-13 sebesar Rp 50,8 triliun yang akan dikucurkan pada Juni nanti. Jumlah itu terdiri dari Rp 29,7 triliun untuk aparatur negara dan pensiunan di pusat melalui APBN dan Rp 21,1 triliun untuk aparatur daerah dan guru ASN daerah melalui APBD.
Dengan demikian, total nilai stimulus THR dan gaji ke-13 itu mencapai Rp 99,5 triliun yang akan diberikan kepada sekitar 4,28 juta ASN serta sekitar sejuta anggota TNI-Polri dan pensiunan.
Tentu saja, selain ASN, THR juga akan tersalurkan kepada karyawan swasta dengan besaran mengacu pada regulasi yang berlaku. Menilik pengalaman tahun lalu, THR bagi karyawan swasta diatur dalam Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor M/2/HK.04.00/III/2023. Mengutip aturan tersebut, THR karyawan swasta wajib diberikan perusahaan untuk pekerja/buruh yang telah memiliki masa kerja satu bulan atau lebih. Perusahaan akan menerima sanksi jika tidak membayarkan THR selambat-lambatnya H-7 Lebaran.
Efek ekonomi
Pemberian THR dan gaji ke-13 bagi ASN serta THR bagi pekerja swasta itu tentu akan menciptakan efek pengganda (multiplier effect) bagi pertumbuhan ekonomi nasional.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, pembayaran THR yang kembali utuh 100 persen itu diharapkan bisa menggerakkan konsumsi rumah tangga dan mendorong pertumbuhan ekonomi tahun ini mencapai target 5,2 persen (Kompas.id, 15/3/2024).
Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu mengatakan, di tengah perkembangan ekonomi tahun ini yang masih serba tidak pasti, daya ungkit terhadap daya beli masyarakat perlu diupayakan untuk menopang pertumbuhan ekonomi nasional.
Keyakinan pemerintah itu tampaknya beralasan. Berkaca pada 2023, pemerintah hanya mengucurkan THR bagi ASN dan anggota TNI-Polri serta tunjangan kinerja tetap yang diberikan separuh. Efeknya mampu mendongkrak pertumbuhan ekonomi kuartal II-2023 menyentuh 5,17 persen. Pada periode itu, kinerja konsumsi rumah tangga juga berhasil naik hingga 5,22 persen, terutama karena meningkatnya aktivitas belanja masyarakat seiring datangnya Ramadhan dan Idul Fitri.
Pada tahun ini, pemerintah mencairkan semua komponen THR dan gaji ke-13 seutuhnya atau 100 persen. Semua golongan ASN kali ini kebagian. Dengan nilai THR dan gaji ke-13 yang diterima utuh, potensi uang yang dibelanjakan juga akan lebih banyak. Hal ini tentu saja berdampak signifikan pada perekonomian nasional.
Baca juga: THR, Jaring Penyelamat di Tengah Kenaikan Harga Kebutuhan Pokok
Sementara itu, jumlah nominal THR karyawan swasta diperkirakan jauh lebih besar dibandingkan THR dan gaji ke-13 yang digelontorkan pemerintah. Sebagai perbandingan, potensi nilai THR karyawan swasta bisa mencapai Rp 197 triliun. Jika mengacu pada pekerja penerima upah yang mengikuti program BPJS Ketenagakerjaan, setidaknya terdapat 25 juta pekerja yang tercatat pada tahun 2023. Jika rata-rata mereka mendapatkan THR sebesar Rp 5 juta per orang, akan ada tambahan jumlah uang beredar jelang Lebaran dari kelompok ini sekitar Rp 125 triliun.
Selanjutnya, jumlah pekerja yang bukan anggota BPJS Ketenagakerjaan atau pekerja informal tercatat sekitar 36 juta orang. Jika minimal mendapatkan uang THR sekitar Rp 2 juta per orang, akan ada tambahan belanja lagi senilai Rp 72 triliun.
Akumulasi potensi nilai THR pekerja nonpemerintah itu bisa mencapai Rp 197 triliun atau lebih besar dibandingkan THR dan gaji ke-13 yang digelontorkan pemerintah.
Meskipun demikian, estimasi hitungan tersebut hanya akan terealisasi ketika pekerja sektor swasta itu mendapat kepastian penyaluran THR. Pasalnya, pada Lebaran tahun lalu, masih ditemui sejumlah perusahaan yang menunda pembayaran THR-nya. Bahkan, ada laporan perusahaan yang membayar THR tidak sesuai ketentuan.
Namun, seiring kondisi ekonomi yang mulai membaik, tahun ini diharapkan tidak ada lagi pelaku usaha yang menunda atau mencicil pembayaran THR keagamaan.
Tantangan
Kendati pemerintah optimistis penggelontoran THR dan gaji ke-13 akan meningkatkan konsumsi masyarakat, tampaknya masih ada sejumlah tantangan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara masif tahun ini. Masih ada sisi pesimistis tentang upaya mendorong kemajuan ekonomi nasional itu.
Salah satunya karena rangkaian kegiatan politik selama pemilu dan pilpres tahun ini tampaknya kurang berdampak besar bagi perekonomian. Padahal, sebelumnya pemerintah memperkirakan konsumsi yang disumbang dari belanja seputar politik pada Februari lalu akan mendorong perekonomian secara signifikan. Kini, harapan pada belanja terkait politik tinggal tertuju pada agenda pilkada serentak pada November mendatang. Namun, tampaknya agenda tersebut juga tidak berdampak besar seperti halnya perhelatan pemilu Februari lalu.
Sisi pesimistis tersebut berdasarkan indikator yang ditunjukkan Indeks Penjualan Riil (IPR) pada Januari lalu yang justru tumbuh negatif 3,5 persen month-to-month. Anjloknya kinerja penjualan ini sebagian besar ditopang oleh turunnya pemasaran segmen makanan dan minuman sebesar minus 3,1 persen, pakaian minus 6,9 persen, dan alat komunikasi susut hingga negatif 13,7 persen.
Tren kontraksi awal tahun itu kemungkinan berlanjut pada Februari. IPR diprediksi turun 0,9 persen. Di bulan ketika Pemilu dan Pilpres 2024 digelar itu, penjualan ritel justru menurun dibandingkan Januari 2024. Hampir semua segmen penjualan diprediksi turun kecuali segmen alat komunikasi.
Segmen makanan dan minuman, misalnya, diperkirakan melesu hingga negatif 1,2 persen pada Februari 2024 meski sudah lebih baik dari bulan sebelumnya yang tergerus lebih dari minus 3 persen. Berkaca pada hal tersebut, pilkada serentak November nanti ada kemungkinan akan mencatat tren serupa dan sulit diharapkan bisa memberi sumbangan signifikan pada pertumbuhan nasional.
Baca juga: THR Jangan Jadi Janji Manis Jelang Hari Raya
Sisi makroekonomi lain juga kurang memberikan harapan yang jauh lebih baik. Ekspor barang dan jasa juga masih dibayangi perlambatan ekonomi global. Kinerja ekspor pada Februari lalu tercatat turun 9,45 persen. Penurunan ini telah berlangsung selama sembilan bulan berturut-turut.
Sementara itu, pembentukan modal tetap bruto (PMTB) atau investasi masih berpeluang tumbuh seiring berkurangnya ketidakpastian politik pasca-Pemilu 2024 yang berlangsung aman dan damai. Investor yang selama ini menunggu kepastian hasil pemilu diperkirakan mulai berinvestasi tahun ini dan bisa mendukung pertumbuhan ekonomi.
Meski demikian, ancaman terkikisnya daya beli masyarakat akibat lonjakan harga pangan dan juga barang kebutuhan lain berpotensi menekan pertumbuhan ekonomi nasional. Pada kuartal awal tahun ini terlihat konsumsi masyarakat masih terbebani lonjakan harga pangan dan barang-jasa lain yang telah menyulut inflasi dan mengikis daya beli. Tercatat pada Februari 2024, inflasi bulanan mencapai 0,37 persen dibandingkan bulan sebelumnya.
Secara umum, kondisi keuangan masyarakat tergerus ke level terendah dalam dua tahun terakhir. Hasil Survei Konsumen Bank Indonesia (BI) mencatat Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) berada di level 123,1 pada Februari lalu atau menurun dibandingkan posisi Januari 2024 yang sebesar 125,0. Meskipun masih di level optimistis, hal ini merupakan titik terendah setidaknya sejak April 2022 silam.
Dengan kondisi ekonomi tersebut, Bank Indonesia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi 2024 berkisar antara 4,7 persen dan 5,5 persen. Sementara itu, Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi RI tahun ini hanya akan tercapai sebesar 4,9 persen atau semakin lambat dibandingkan tahun lalu sebesar 5,05 persen. (LITBANG KOMPAS)