Pekerja ojek daring dan kurir paket berharap menerima THR. Namun, sejauh ini belum ada kepastian mengenai hal tersebut.
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA, DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
·4 menit baca
Imbauan negara agar pekerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu berhak diberi tunjangan hari raya menumbuhkan asa para pengemudi ojek daring hingga kurir paket. Mereka berharap itu benar-benar ada, bukan janji manis jelang hari raya.
Sebelumnya, Kementerian Ketenagakerjaan mengimbau perusahaan yang bergerak di bidang ojek daring dan kurir logistik agar memberikan tunjangan hari raya (THR) Keagamaan 2024 kepada para pekerjanya. Hal itu berdasarkan Surat Edaran Menaker Nomor M/2/HK.04/III/2024 tentang Pelaksanaan Pemberian Tunjangan Hari Raya Keagamaan Tahun 2024 bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan. Kabar ini disambut gembira meski ujungnya belum bisa dipastikan bakal seperti apa.
Andi (32), warga Pahundut, Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, misalnya, bahagia dengan kabar itu. Namun, sebelum jadi kenyataan, pengantar paket ini tidak mau banyak berharap. Alasannya, setelah tiga tahun terakhir bekerja mengantar paket ke rumah-rumah, belum pernah sekali pun ia menerima tunjangan hari raya (THR).
”Bila THR itu benar-benar datang, pasti bakal menjadi kado terindah, seperti mimpi di siang bolong,” kata Andi berkelakar saat ditemui sedang beristirahat di Jalan Yos Sudarso, Palangkaraya, Selasa (19/3/2024).
Uang tambahan
Seperti biasanya, siang hari adalah saat paling melelahkan, tetapi juga menggembirakan. Meski keringat mengalir deras, dua keranjang paket di jok belakang sudah mulai kosong. Sudah lima jam ia berjibaku memuaskan harapan warga mendapat paket yang dinantikan.
Tidak puasa karena sebetulnya sedang tidak enak badan, ia istirahat dengan duduk di balik semak-semak. Sebotol air mineral diteguknya. Ia lalu mengeluarkan mi instan. Tidak direbus, ia memakannya begitu saja.
”Inginnya hari ini tidak bekerja, tapi banyak paket yang harus diantar,” katanya. Lagi pula, Andi butuh uang lebih banyak untuk bekal merayakan hari raya Idul Fitri bersama keluarganya.
Oleh karena itu, bila anjuran pemerintah agar pengantar paket seperti dia diberi THR ditepati, bapak dua anak itu senang bukan kepalang. Setidaknya, lelah dan keringatnya dihargai perusahaan tempatnya bekerja. Bekerja di tiga perusahaan paket dalam tiga tahun terakhir belum satu pun perusahaan memberinya THR.
”Selain untuk Lebaran, uangnya mau saya belikan mesin cuci. Kasihan istri saya setiap hari cuci sendiri pakai tangan. Cucian keluarga kami banyak,” katanya.
Dengan upah Rp 1,8 juta per bulan, Andi mengatakan, berat untuk menyisihkan uang buat sekadar beli mesin cuci. Uang itu sudah dialokasikan untuk bayar kontrakan dan biaya makan, dan kebutuhan anak yang masih kecil-kecil. Itu pun sering kali pas-pasan.
”Untuk uang tambahan, saya pernah bantu menyadap karet, bersih kebun, dan banyak lagi,” ucapnya.
Semoga THR itu benar-benar ada. Sedikit banyak bisa membantu masalah-masalah saya ini.
Kisah di Kalteng juga terjadi di Kalimantan Barat. Seperti kisah Nasir (42), pengemudi ojek daring yang pada Selasa siang sedang duduk di pinggir Jalan HOS Cokroaminoto, Kota Pontianak.
Selama bulan puasa, Nasir sepi orderan. Sejak pagi ia baru mengantar satu penumpang. Kepalanya pusing.
”Bagaimana saya harus beli beras nanti. Mana harga beras naik dari Rp 12.000 per kilogram menjadi Rp 16.000 per kilogram,” kata Nasir, yang bila ramai penumpang dapat mengumpulkan Rp 100.000 per hari.
Siang itu, beban pikirannya tidak hanya beras. Ia butuh biaya untuk sekolah dua anaknya yang berumur 3 tahun dan 4 tahun. Semakin dekat dengan Lebaran, semakin membuat pikirannya tidak keruan.
”Semoga THR itu benar-benar ada. Sedikit banyak bisa membantu masalah-masalah saya ini,” kata Nasir yang sempat bekerja di toko material, tetapi lantas dipecat saat pandemi Covid-19.
Biaya kelahiran
Cerita Nasir tak jauh berbeda dengan Dewi (43), pengemudi ojek daring lainnya. Informasi THR memang dengan cepat menyebar dan menumbuhkan harapannya. ”Kemarin kami kontak dengan orang kantor, katanya belum mendapat info sama sekali,” ucapnya.
Dewi juga merasakan orderan pelanggan sepi di bulan puasa. Pada Selasa pagi, ia baru mendapatkan satu pelanggan. Padahal, di hari biasa pada pagi hari sudah ada empat atau lima orderan.
Selama bulan puasa, total dalam sehari mendapatkan 10 orderan. Kalau hari-hari biasa, orderan bisa mencapai 15 orang. Penghasilan dalam sehari di bulan puasa tidak lebih dari Rp 100.000.
”Suami juga sama-sama pengemudi ojek daring. Penghasilan kami sama besarnya. Sebagian kami sisihkan untuk cicilan sepeda motor,” kata Dewi.
Rizki (26), pengemudi ojek daring yang baru lulus kuliah, juga punya harapan sama. THR bakal ikut menyelesaikan sebagian kebutuhan hidup. Salah satunya biaya melahirkan anak pertama.
Akan tetapi, dia tidak terlalu banyak berharap. Bila wacana itu tidak terwujud, ia bakal menyisihkan sebagian penghasilan untuk jabang bayinya.
”Tambahan pemasukan, seperti THR, sangat berarti di tengah situasi kenaikan harga berbagai bahan pokok. Namun, bila tidak ada, saya coba sisihkan dari pendapatan yang ada,” kata Rizki yang tengah menunggu jawaban dari sejumlah lamaran pekerjaan yang ia layangkan ke berbagai perusahaan.
Negara sudah mengeluarkan edaran. Kini giliran pemilik usaha mewujudkannya. Bila tak kunjung terwujud, negara juga yang wajib mengingatkan semua pihak untuk melakukan kewajibannya.