Menyelisik Problematika Kasus Bunuh Diri
Segenap pihak harus turut serta meningkatkan deteksi dini di lingkungan sekitarnya guna mencegah kasus bunuh diri.
Meningkatnya kasus bunuh diri perlu menjadi perhatian serius segenap pihak untuk turut serta melakukan upaya deteksi dini di sekitar lingkungannya. Sebagai puncak persoalan kesehatan mental, perhatian dan dukungan dari keluarga, masyarakat sekitarnya, serta keterlibatan para pemangku kepentingan menjadi langkah mitigasi terbaik guna mencegah sedini mungkin upaya bunuh diri itu.
Tragis dan miris, kata inilah yang bisa menggambarkan fenomena sosial yang terjadi baru-baru ini di Penjaringan, Jakarta Utara. Bayangkan, seseorang yang seharusnya menjaga kelangsungan hidupnya dan keluarganya tiba-tiba memilih jalan pintas dengan melakukan bunuh diri karena tak kuat menahan beban hidup.
Pada Sabtu (9/3/2024), satu keluarga yang terdiri atas empat orang melakukan bunuh diri dengan cara melompat dari lantai 21 gedung apartemen dan jatuh di depan lobi Apartemen Teluk Intan di Penjaringan, Jakarta Utara. Mereka adalah EA (50), AEL (52), JWA (13), dan JL (15).
Dalam insiden itu, korban ditemukan terikat tali secara berpasangan untuk saling mengikatkan diri. Pihak kepolisian memperkirakan ada indikasi pembunuhan dalam kasus bunuh diri ini. Kedua anak dianggap dipaksa untuk melakukan aksi bunuh diri.
Selain kejadian itu, peristiwa bunuh diri sebelumnya juga terjadi di Malang, Jawa Timur, pada Desember 2023. Dalam insiden itu, seorang ayah berinisial WE (44) mengakhiri hidupnya bersama istri dan anaknya, yakni S (40) dan ARE (12) (Kompas, 13/12/2023). Hasil penyelidikan aparat kepolisian saat itu, WE diduga terjerat utang sehingga terdorong untuk melakukan tindakan tersebut.
Kedua kejadian tersebut menjadi titik puncak persoalan keluarga yang harus diakhiri dengan cara tragis. Orangtua mengakhiri hidup dengan bunuh diri bersama anak-anaknya agar keturunannya tidak turut serta menanggung beban persoalan yang dimiliki orangtua.
Fenomena tersebut harus menjadi perhatian serius segenap pihak karena bukan mustahil ada sebagian orang yang saat ini tengah menanggung banyak persoalan tanpa memiliki solusi untuk mengatasinya. Oleh karena itu, perhatian pada keluarga, orang-orang terdekat, dan juga lingkungan sekitar sangat dibutuhkan guna meredam upaya-upaya bunuh diri itu. Semakin tinggi sikap apatis masyarakat, niscaya kasus bunuh diri akan cenderung meningkat.
Baca juga: Bunuh Diri Sekeluarga di Apartemen Penjaringan yang Mengusik Kemanusiaan
Pusat Informasi Kriminal Nasional Polri mencatat, sejak 1 Januari sampai 15 Desember 2023, angka bunuh diri di Indonesia mencapai 1.226 jiwa. Bila dirata-rata, setidaknya 3 orang melakukan aksi bunuh diri setiap hari.
Angka kasus bunuh diri tahun 2023 itu naik dibandingkan tahun sebelumnya yang mencapai 902 orang. Kasus bunuh diri tahun 2022 ini juga meningkat cukup pesat dari tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2021 terjadi kasus bunuh diri sebanyak 629 jiwa dan tahun 2020 sebanyak 640 orang.
Pihak Kepolisian juga mencatat, angka bunuh diri yang tercatat sejak tahun 2018 hingga 15 Desember 2023 mencapai 3.618 kasus. Jumlah kasus terbanyak secara nasional terjadi di Polda Jawa Tengah sebanyak 1.557 kasus, Polda Jawa Timur 688 kasus, dan Polda Bali dengan 512 kasus.
Kasus bunuh diri yang tercatat tersebut bisa jadi merupakan fenomena gunung es. Pasalnya, masih banyak kasus bunuh diri yang diperkirakan tidak dilaporkan atau ditutup-tutupi. Jumlah riil kasus bunuh diri diperkirakan lebih dari tiga kali lipat dari kasus yang dilaporkan.
Hasil penelitian bertajuk ”Indonesia’s First Suicide Statistics Profile: An Analysis Of Suicide And Attempt Rates, Underreporting, Geographic Distribution, Gender, Method, And Rurality” yang terbit Februari 2024 lalu menemukan bahwa Indonesia memiliki tingkat bunuh diri tidak tercatat tertinggi di dunia, yakni 859,10 persen untuk bunuh diri.
Laporan yang sama menyebutkan provinsi dengan angka bunuh diri tertinggi adalah Bali, Kepulauan Riau, DI Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Kalimantan Tengah. Analisis jender mengungkapkan rasio 1: 2,11 antara kasus bunuh diri perempuan dan laki-laki. Di samping itu, tingkat bunuh diri di perdesaan terjadi 4,47 kali lebih tinggi dibandingkan bunuh diri di perkotaan.
Baca juga: Bunuh Diri, Fenomena Sosial yang Dapat Dicegah
Dr Sandersan Onie, salah satu peneliti dari riset tersebut, menyebutkan, masyarakat Indonesia sebagai masyarakat komunal seharusnya dapat memperhatikan tanda-tanda bunuh diri dalam diri seseorang atau sekelompok orang. Namun, sifat masyarakat yang komunal itu justru membuat stigma negatif terhadap orang yang melakukan percobaan bunuh diri semakin kental dan membuat mereka semakin terisolasi.
Sandersan Onie dan rekan di The Lancet Regional Health Southeast Asia, 4 Juli 2023, menyebutkan, keluarga Indonesia bisa melakukan apa pun untuk mencegah pencatatan kasus bunuh diri anggota keluarganya karena malu dan khawatir terhadap stigma masyarakat. Di kalangan profesional kesehatan pun ada aturan tidak tertulis untuk tidak mencatat kasus bunuh diri. Bahkan, rumah sakit pun tidak memiliki mandat untuk melaporkan kasus bunuh diri.
Menurut pengamatannya, pandangan tentang bunuh diri tidak lepas dari stigma seputar masalah kesehatan jiwa yang ada di masyarakat. Banyak orang dengan masalah psikososial masih dieksklusi dari kegiatan sosial.
Sementara di level global, tingkat kematian akibat bunuh diri menurun sejak kurun 2000 hingga 2019. Angka kematian kasar akibat bunuh diri menurun sebesar 29 persen selama periode tersebut sehingga dari 13,0 kematian per 100.000 penduduk menjadi 9,2 kematian per 100.000 penduduk pada tahun 2019.
Jika ditilik berdasarkan kawasan, wilayah Eropa memiliki angka kematian akibat bunuh diri tertinggi dibandingkan lima wilayah lainnya, yaitu mencapai 12,8 kematian per 100.000 jiwa pada 2019. Disusul wilayah Asia Tenggara dengan jumlah 10,1 kematian per 100.000 penduduk pada periode yang sama.
Bukan faktor tunggal
Peningkatan kejadian bunuh diri di Indonesia tersebut menjadi pertanda nyata bahwa kesehatan mental sama pentingnya dengan kesehatan jasmani. Namun, di sisi lain, tak dipungkiri, kesehatan mental sering kali masih dipandang sebelah mata.
Padahal, berawal dari masalah kesehatan mental yang diabaikan itu, perasaan ingin mengakhiri hidup tercipta. Menurut studi, lebih dari 90 persen pelaku bunuh diri adalah orang dengan gangguan kesehatan mental yang tidak mendapatkan penanganan yang tepat.
Bunuh diri ialah titik kulminasi dari rasa frustrasi. Mereka yang bunuh diri merasa tidak ada gunanya lagi hidup. Mereka putus harapan. Mereka memilih menanggalkan beratnya beban dengan cara yang salah, cara yang dilarang oleh agama.
Seseorang memutuskan ingin mengakhiri kehidupannya acap kali bukan keputusan tiba-tiba, apalagi jika penyebabnya depresi. Ada ambivalensi yang sangat kuat sebelumnya yang menyebabkan mereka sering memberi penanda, catatan, dan peringatan kepada orang-orang di sekelilingnya.
Bunuh diri adalah masalah yang sangat kompleks, tidak ada penyebab tunggal untuk setiap kasus. Ada beberapa faktor pendorong yang menyebabkan seseorang memilih meninggalkan kehidupan di dunia ini. Mulai dari lilitan ekonomi, tekanan kehidupan, diputus pacar, ditinggal orang terkasih, hingga penyakit kronis yang tak kunjung sembuh.
Selain itu, bunuh diri juga tak kenal status sosial dan pangkat. Pria-wanita, tua-muda, masyarakat awam atau orang berpangkat, kelompok terdidik, hingga selebritas pun bisa melakukannya. Latar belakang pelaku bunuh diri pun juga beragam, mulai dari pelajar, mahasiswa, ibu-ibu, hingga bapak kepala rumah tangga.
Baca juga: Deretan Kasus Bunuh Diri Sekeluarga, dari Depresi hingga Tekanan Ekonomi
Data Asosiasi Pencegahan Bunuh Diri Internasional (IASP) menunjukkan, orang dengan depresi 20 kali lebih mungkin mati karena bunuh diri dibandingkan dengan orang lain yang tidak depresi. Sejak lama, bunuh diri memang dikaitkan dengan sejumlah gangguan mental.
Ada banyak faktor yang memicu seseorang bunuh diri. Seperti dikutip dari Kompas.id (13/9/2023), salah satunya dikemukakan Douglas Gray, profesor psikiatri di Sekolah Kedokteran Universitas Utah, Amerika Serikat, kepada majalah The U edisi musim panas 2021. Ia menyebutkan, meski berbagai gangguan mental, tekanan finansial, trauma masa kecil, hingga persoalan lingkungan berkontribusi pada bunuh diri, dia memperkirakan 45-55 persen bunuh diri dipicu faktor genetik.
Selain genetika, kondisi otak turut memengaruhi terjadinya bunuh diri. Area otak yang terlibat dalam pikiran dan tindakan bunuh diri adalah bagian otak yang terkait dengan regulasi emosi dan impuls. Ed Ergenzinger di The Psychology Today, 11 Februari 2022, menyebut, gangguan di daerah tengah dan samping pada korteks prefrontal ventral (VPFC), bagian otak di atas pangkal hidung yang terlibat dalam penilaian, penghambatan, dan penggunaan aturan, bisa menstimulasi keinginan bunuh diri.
Di atas VPFC ada korteks prefrontal dorsal (DPFC). Gangguan di bagian ini dan koneksinya dikaitkan dengan tindakan percobaan bunuh diri. VPFC dan DPFC terhubung ke bagian korteks singulat anterior dorsal (dACC) dan insula, bagian yang bisa memediasi transisi dari pikiran untuk bunuh diri menjadi tindakan bunuh diri.
Meski hampir semua gangguan mental dikaitkan dengan peningkatan risiko bunuh diri, risiko bunuh diri terbesar ada pada mereka yang mengalami gangguan bipolar, depresi, dan gangguan spektrum skizofrenia. Gangguan-gangguan tersebut berkaitan dengan perubahan yang terjadi pada VPFC, DPFC, dACC, dan insula.
Bunuh diri juga dikaitkan dengan kemampuan berpikir atau kognitif seseorang. Kim Armstrong dalam Observer, 28 Februari 2022, majalah milik Asosiasi Ilmu Psikologi (APS) Amerika Serikat menyebut, keputusan bunuh diri bisa terjadi dalam waktu singkat. Seseorang bisa saja memiliki pikiran untuk bunuh diri hingga bertahun-tahun. Namun, untuk melakukan bunuh diri, sebesar 25-40 persen tindakan bunuh diri terjadi kurang dari 5 menit sejak keputusan mengakhiri hidup diambil.
Tak boleh abai
Kendati bunuh diri merupakan masalah personal, kenapa seseorang bisa berlaku senekat itu menjadi tanggung jawab sosial. Menjadi tugas semua pihak untuk mencegah orang bunuh diri. Keluarga, misalnya, punya kewajiban memastikan seluruh anggotanya bebas dari tekanan apa pun. Lingkungan juga pantang abai terhadap masalah yang menimpa orang-orang di sekitarnya.
Oleh karena itu, kesadaran akan pentingnya kesehatan jiwa masyarakat perlu terus dibangun. Masyarakat perlu mempelajari dan memahami berbagai hal yang bisa memicu masalah kesehatan jiwa dan cara menanggulanginya sehingga kasus-kasus bunuh diri bisa dicegah. Dalam konteks ini, peran media massa dalam menyosialisasikan kesehatan jiwa juga sangat strategis. Perannya penting dalam memberi informasi dan mendidik masyarakat guna mengantisipasi terjadinya upaya-upaya bunuh diri di lingkungan sekitarnya.
Terakhir, berobat dan berkonsultasi pada psikolog atau ahli jiwa ketika tekanan mental dirasa terlalu berat merupakan kiat agar seseorang mengurungkan niat bunuh diri. Selain itu, kepedulian keluarga, teman, dan lingkungan juga menjadi vitamin penguat untuk mencegah orang lain mengakhiri hidupnya dengan sia-sia. (LITBANG KOMPAS)