Peran Kunci Perempuan sebagai Juru Damai Konflik Geopolitik
Perempuan perlu mendobrak tembok patriarki dan stereotip kultural guna menempati posisi strategis pengambilan keputusan.
Perempuan memiliki potensi besar dalam menciptakan perdamaian di berbagai konflik geopolitik. Namun, tembok tebal patriarki masih menjadi penghalang bagi perempuan untuk menempati posisi-posisi kunci dalam pengambilan keputusan terkait resolusi konflik.
Konflik geopolitik tengah terjadi di sejumlah kawasan di dunia. Muncul pertikaian bersenjata antaretnis, antarbangsa, ataupun antarblok kekuatan demi memperjuangkan kepentingan setiap pihak yang bertikai. Ironisnya, peperangan tersebut menelan jatuhnya banyak korban. Tidak hanya pihak militer, pejuang, ataupun milisi yang bertempur, tetapi juga menewaskan korban sipil lainnya. Bahkan, anak-anak dan kaum perempuan pun turut menjadi tumbal ketegangan geopolitik itu.
Salah satu konflik yang menyita perhatian masyarakat global saat ini adalah pertikaian antara Israel dan Palestina, di mana banyak kaum perempuan turut menjadi korban. Pada 1 Maret 2024, Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perempuan (UN Women) memperkirakan bahwa sedikitnya 9.000 perempuan telah dibunuh oleh serdadu Israel dalam perang di Gaza. Ini berarti, sekitar tiga dari sepuluh korban jiwa Palestina merupakan perempuan.
Saking besarnya skala kerusakan yang ditimbulkan terhadap perempuan, UN Women menjuluki perang Gaza juga sebagai ”perang terhadap perempuan (war on women)”. Pasalnya, selama lima bulan berlangsung, perang telah membunuh 63 perempuan setiap hari, 37 di antaranya adalah seorang ibu.
Hasil asesmen UN Women terhadap 120 perempuan Gaza pada awal Februari memperlihatkan, para perempuan dihadapkan pada ancaman kelaparan yang nyata. Setidaknya sembilan dari 10 perempuan mengaku lebih sulit mengakses makanan dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini menyebabkan mereka sampai harus mengais-ngais sisa makanan di bawah reruntuhan bangunan atau di tempat sampah.
Di belahan dunia lainnya, api pertempuran masih membara di palagan Ukraina-Rusia. Menurut Misi Monitoring Hak Asasi Manusia PBB di Ukraina (HRMMU), terdapat setidaknya 3.093 perempuan dewasa dan 248 anak perempuan tewas dalam perang yang telah berlangsung selama dua tahun itu. Bila dirata-rata, setidaknya terdapat dua perempuan dewasa atau anak perempuan yang tewas setiap hari akibat pertempuran.
Baca juga: Gaza dalam Bayang-bayang Pusara Genosida
Dua konflik tersebut merupakan gambaran bagaimana perempuan menjadi korban langsung dari percikan api konflik geopolitik. Selain harus menghadapi ancaman maut akibat konflik, penderitaan perempuan yang terberat sejatinya terletak di belakang layar.
Studi dari Institut Riset Perdamaian Internasional Oslo (PRIO) pada 2009 menyimpulkan, perempuan lebih rentan terhadap semua dampak tidak langsung (indirect effect) dari konflik daripada laki-laki. Dampak tidak langsung itu datang dalam beragam rupa, mulai dari maltrunisi, penyakit seksual dan kehamilan, hingga kemiskinan ekstrem. Selain itu, perempuan juga menanggung derita terhebat ketika pemerkosaan dan kekerasan seksual acap kali digunakan sebagai senjata untuk menghancurkan moral musuh dalam sebuah pertempuran.
Posisi strategis
Kenyataan bahwa konflik geopolitik terus membawa penderitaan hebat bagi perempuan di berbagai belahan dunia tentu menjadi pil pahit dalam peringatan Hari Perempuan Sedunia (International Women’s Day) yang jatuh pada 8 Maret lalu. Meski demikian, bukan berarti perempuan telah kehilangan harapan untuk dapat mewujudkan kesetaraan jender dan perlindungan hak-hak, terutama bagi perempuan di medan konflik. Salah satu jalan perjuangan tersebut adalah menempati posisi strategis pengambilan keputusan.
Pada tahun 2023, UN Women menemukan bahwa terjadi peningkatan jumlah perempuan yang menduduki posisi strategis di pemerintahan. Setidaknya 17 dari 151 (11,3 persen) negara memiliki kepala negara perempuan dan 19 dari 193 (9,8 persen) negara mempunyai kepala pemerintahan perempuan. Ini berarti terjadi peningkatan masing-masing sebesar 5,3 persen dan 7,3 persen dibandingkan dengan sepuluh tahun silam. Tak hanya itu, setidaknya 22,8 persen menteri kabinet pemerintahan diisi oleh perempuan. Representasi perempuan di parlemen secara global juga terus meningkat, dari 25,5 persen pada tahun 2021 menjadi 26,5 persen tahun 2023.
Baca juga: Perempuan Indonesia Lebih Banyak Mengakses Pendidikan Tinggi daripada Laki-laki
Rilisan daftar 100 Perempuan Terkuat Sedunia 2023 dari Forbes turut menunjukkan bahwa sejumlah perempuan telah menempati posisi-posisi strategis dalam bidang politik dan kebijakan. Sedikitnya empat dari lima perempuan terkuat di dalam daftar itu adalah politisi kunci sejumlah negara dan lembaga internasional. Ursula von der Leyen, yang menjadi Presiden Komisi Eropa sejak 2019, menempati peringkat pertama, diikuti Christine Lagarde (Presiden Bank Sentral Eropa), Kamala Harris (Wakil Presiden Amerika Serikat), dan Giorgia Meloni (Perdana Menteri Italia).
Tembok patriarki dan stereotip
Kehadiran perempuan dalam posisi strategis dan krusial tersebut menjadi salah satu wujud pencapaian perjuangan kesetaraan jender. Meskipun demikian, kaum perempuan masih harus menghadapi tantangan besar untuk membawa perubahan nyata dalam penciptaan resolusi konflik geopolitik. Tantangan itu terutama adalah tembok tebal stereotip dan patriarki yang mengakar kuat di masyarakat.
Tembok tebal itu dapat dilihat dari sebagian besar menteri perempuan yang ditempatkan pada aspek-aspek yang berkaitan dengan keluarga, kesejahteraan dan perlindungan sosial, serta pemberdayaan perempuan. UN Women mencatat, perempuan menempati 84 persen posisi menteri di bidang perempuan dan kesetaraan jender, 68 persen di bidang keluarga dan anak-anak, serta 49 persen di urusan inklusi dan pembangunan sosial.
Menurut Rosa LT Miranda dalam kajiannya untuk PBB pada 2005, hal ini tak terlepas dari stereotip peran tradisional perempuan dalam masyarakat. Miranda menjelaskan, perempuan cenderung diberikan ruang pengambilan keputusan yang paralel dengan domain kultural mereka, yakni pengasuh dan perawat urusan domestik dalam keluarga.
Baca juga: Kiprah Perempuan Kian Besar dalam Perekonomian
Tak pelak, hal itu menyebabkan perempuan masih sangat minim ditemukan menempati posisi strategis terkait konflik geopolitik, terutama di bidang pertahanan, urusan luar negeri, keuangan, dan energi. Hal ini selaras dengan temuan UN Women bahwa perempuan hanya menduduki 12 persen posisi menteri terkait pertahanan dan keamanan, 11 persen di bidang energi. Sementara itu, survei Inter-Parliamentary Union pada 2020 menemukan hanya 60 dari 190 (31,5 persen) negara yang memiliki menteri luar negeri perempuan.
Padahal, perempuan memiliki potensi sangat besar untuk membawa perdamaian terhadap konflik geopolitik. Hal ini telah diakui di dalam Resolusi Dewan Keamanan PBB 1325 tentang Perempuan, Perdamaian, dan Keamanan yang diadopsi pada 31 Oktober 2000. Resolusi tersebut secara khusus mengakui bahwa upaya pembangunan perdamaian dan keamanan akan lebih berkelanjutan apabila perempuan dilibatkan secara setara dalam pencegahan dan pemulihan konflik.
Perempuan sebagai juru damai
Melansir temuan Bank Dunia, melibatkan perempuan dalam perundingan perdamaian memiliki dampak positif untuk mencegah konflik kembali terulang. Selain itu, menyertakan perempuan sebagai negosiator, mediator, atau penandatangan pakta meningkatkan kemungkinan bertahannya perjanjian perdamaian setidaknya selama dua tahun hingga sebesar 20 persen. Riset juga menemukan bahwa ketika perempuan tidak atau kurang dilibatkan, kesepakatan dalam perundingan lebih jarang terjadi.
Sejumlah perempuan telah menunjukkan kepada dunia, bahwa perempuan layak dan harus dilibatkan dalam pembangunan perdamaian. Malala Yousafzai, gadis asal Pakistan yang kini berusia 26 tahun, adalah salah satunya. Penerima Hadiah Nobel Perdamaian termuda tersebut dengan gagah berani melawan rezim teror Taliban dalam memperjuangkan hak-hak perempuan mengenyam pendidikan.
Contoh lain yang cukup fenomenal adalah Ellen Johnson Sirleafm, presiden Liberia ke-24 sekaligus presiden perempuan pertama di benua Afrika. Perempuan penerima Hadiah Nobel Perdamaian 2011 tersebut diakui telah membantu membawa perdamaian bagi Liberia yang dikoyak oleh perang saudara selama 20 tahun lebih lewat kepemimpinannya.
Kelebihan yang dimiliki kaum perempuan terletak pada perspektif yang lebih peka terhadap pemenuhan kebutuhan yang berkelanjutan. Menurut Elisabeth Porter, periset dari Southern Cross University, perempuan kerap mendorong isu-isu terkait kebutuhan keluarga, seperti kesehatan, pendidikan, nutrisi, dan tempat tinggal dalam negosiasi perdamaian.
Porter lantas menambahkan, tujuan sesungguhnya dari resolusi konflik tidak sebatas menyumpal moncong senjata, tetapi juga membangun ulang masyarakat yang luluh lantak akibat konflik. Diperlukan pakta perdamaian yang inklusif sehingga didukung dan dikonsolidasikan pada tataran akar rumput ketimbang hanya disepakati oleh para elite.
Baca juga: Kompleksitas Kesetaraan Hak Perempuan di Indonesia
Porter juga menyebutkan, perempuan mampu membangun kepercayaan terhadap lawan runding karena ia tidak ragu untuk menonjolkan sisi empati yang dimilikinya. Dengan keterlibatan tokoh perempuan, maka isu-isu yang menyangkut kejahatan dan kekerasan seksual terhadap perempuan dapat terangkat dan mendapat pengadilan yang pantas.
Meskipun banyak penelitian dan kajian telah menyimpulkan bahwa perempuan harus dilibatkan dalam perundingan perdamaian, faktanya masih berbicara sebaliknya. Hingga kini, hampir seluruh deklarasi perang atau negosiasi gencatan senjata di konflik-konflik geopolitik cenderung hanya mendorong sosok laki-laki sebagai aktor utamanya.
Padahal, perempuan juga turut menanggung derita yang tak kalah hebatnya dari pertempuran yang terjadi. Dengan demikian, seharusnya kaum perempuan juga memiliki hak dalam setiap pengambilan keputusan terkait konflik tersebut.
Perempuan perlu terus berupaya mendobrak tembok tebal patriarki dan stereotip kultural untuk dapat menempati posisi strategis tertinggi pengambilan keputusan. Hal Ini dapat dilakukan dengan edukasi dan pelatihan politik, kaderisasi inklusif yang bermutu, serta pembangunan kesadaran kesetaraan jender yang berkelanjutan. Dengan demikian, harapannya meja-meja perundingan perdamaian tidak hanya dipenuhi oleh laki-laki, tetapi juga diisi oleh perempuan-perempuan juru damai yang peka dalam memperjuangkan kelompok lemah dan rentan.
(LITBANG KOMPAS)