Meningkatkan Kesehatan Perempuan untuk Pertumbuhan Ekonomi
Kesenjangan kesehatan perempuan butuh perhatian dan investasi yang memadai.
Isu kesenjangan kesehatan perempuan telah dan masih berlangsung hingga saat ini. Kerugian yang ditimbulkan sangat besar. Namun, jika berhasil diatasi, keuntungannya akan sangat besar untuk kemaslahatan manusia, termasuk dampaknya bagi perekonomian.
Sejak pertemuan Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum/WEF) di Davos, awal tahun ini, isu kesehatan perempuan menjadi sorotan. Fokusnya pada gambaran berlangsungnya kesenjangan kesehatan antara laki-laki dan perempuan.
Kesehatan perempuan telah lama menjadi bidang yang kurang mendapat perhatian dan terabaikan dalam konteks kesehatan global. Konsep kesehatan masih mengacu pada ”referensi laki-laki”. Padahal, kesehatan perempuan sama pentingnya dengan kesehatan laki-laki dan butuh ”referensi perempuan”.
Laporan dari WEF dan McKinsey yang diluncurkan di Davos mengungkapkan, rata-rata perempuan mungkin hidup lebih lama dibandingkan laki-laki. Namun, perempuan menghabiskan seperempat hidupnya, bahkan lebih, dalam kondisi kesehatan yang buruk.
Kesenjangan kesehatan perempuan ini setara dengan hilangnya 75 juta tahun kehidupan akibat buruknya kesehatan atau kematian dini. Sebagian besar kondisi kesenjangan kesehatan ini berdampak pada perempuan pada usia produktif atau selama masa kerja mereka, yaitu usia 20 tahun hingga 60 tahun.
Banyak hal yang menyebabkan kesenjangan kesehatan perempuan ini terjadi. Intinya terletak pada kurangnya memprioritaskan kehidupan perempuan seperti halnya laki-laki.
Dalam banyak kasus, perempuan membutuhkan waktu lebih lama untuk mendapatkan layanan kesehatan, lebih lama mendapatkan diagnosis atas penyakitnya, atau mendapatkan perawatan yang tepat. Hal itu bisa karena askes yang sulit terhadap layanan kesehatan ataupun masalah finansial.
Selain itu, juga karena faktor kurangnya dana untuk penelitian mengenai kesehatan perempuan, seperti kesehatan reproduksi perempuan. Ada banyak masalah kesehatan yang dialami perempuan yang belum diteliti dan kurangnya ketersediaan data dalam membangun diagnosis. Penelitian McKinsey menemukan, kurang dari 2 persen penelitian dan inovasi layanan kesehatan diinvestasikan pada kondisi khusus perempuan, selain kanker.
Oleh sebab itu, dunia perlu mendesain ulang layanan kesehatan yang memberi prioritas dan mempertimbangkan perempuan. Juga perlu memastikan modal atau investasi mengalir untuk penelitian mengenai kesehatan perempuan.
Hal itu karena mengatasi kesenjangan kesehatan akan memberi banyak keuntungan. Terutama menguntungkan 3,9 miliar perempuan penduduk bumi, memberi perempuan tambahan tujuh hari sehat dalam setahun atau rata-rata 500 hari seumur hidup.
Keuntungan lainnya, juga dapat meningkatkan perekonomian global sebesar 1 triliun dollar AS pada tahun 2040 dengan mengurangi jumlah kematian dini dan biaya kesehatan, serta meningkatkan kapasitas perempuan untuk berkontribusi pada masyarakat dan perekonomian. Menurut WEF, setiap 1 dollar AS yang diinvestasikan pada kesehatan perempuan diperkirakan akan menambah 3 dollar AS dalam perekonomian.
Baca juga: Peran Kunci Perempuan sebagai Juru Damai Konflik Geopolitik
Dunia kerja
Kesenjangan kesehatan yang kurang memberi fokus pada perempuan ini terjadi dan berdampak sepanjang usia produktif perempuan. Hal yang menjadi ironi, karena kesehatan memegang peranan penting dalam produktivitas dan ikut memengaruhi pertumbuhan ekonomi.
Diabaikannya kesehatan perempuan dalam dunia usaha menimbulkan kerugian ekonomi yang tidak sedikit. Laporan WEF pada 6 Maret 2024 lalu menyebutkan, Kementerian Ekonomi, Perdagangan, dan Industri Jepang memperkirakan kerugian ekonomi bagi masyarakat akibat masalah kesehatan khusus perempuan berjumlah sekitar 3,4 triliun yen Jepang atau setara dengan 23 miliar dollar AS per tahun.
Kerugian akibat kesehatan itu dapat dilihat mulai dari menurunnya produktivitas, meningkatnya biaya perawatan kesehatan, hingga berkurangnya posisi perempuan dalam manajemen atau kepemimpinan akibat pengunduran diri.
Beberapa penelitian menjelaskan hal tersebut. Survei oleh Japan Broadcasting Corporation NHK pada tahun 2021 memberi gambaran bahwa periode perimenopause memengaruhi perempuan bekerja berusia 40-an dan 50-an yang menduduki posisi kepemimpinan.
Usia rata-rata menopause bagi perempuan Jepang adalah sekitar 50 tahun. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Jepang mendefinisikan 10 tahun yang mencakup lima tahun sebelum dan sesudah menopause sebagai periode perimenopause.
Survei tersebut mengungkap bahwa sekitar 460.000 orang pernah mengundurkan diri dari pekerjaan karena menopause. Kerugian ekonomi akibat pengunduran diri tersebut, termasuk berkurangnya pendapatan, berjumlah sekitar 420 miliar yen Jepang atau 2,8 miliar dollar AS.
Penelitian lain yang menargetkan perempuan pekerja berusia 40-an dan 50-an juga menemukan bahwa 73 persen mengalami insomnia, salah satu gejala menopause, yang berdampak pada produktivitas.
Langkah-langkah yang berempati terhadap kondisi perempuan di dunia kerja dan upaya memahami dampak kesehatan harus dilakukan untuk meminimalisasi kerugian. Masalah kesehatan perempuan tidak bisa hanya dipandang sebagai masalah individu, tetapi juga sebagai masalah sosial yang berdampak pada hal lain di luar diri perempuan, yakni dampak sosial dan ekonomi.
Kondisi ini tak terkecuali berlaku bagi perempuan bekerja di Indonesia. Sebanyak 39 persen dari penduduk bekerja adalah perempuan (Survei Angkatan Kerja Nasional/Sakernas Agustus 2023). Mereka tersebar merata di berbagai sektor ekonomi.
Jumlah perempuan Indonesia yang bekerja paling banyak secara berturut-turut berada di sektor pertanian (25,1 persen), sektor perdagangan besar dan eceran (23,8 persen), serta industri pengolahan (15,5 persen). Ketiga sektor ini merupakan sektor kunci dalam perekonomian Indonesia.
Itulah sebabnya, masalah kesehatan perempuan tidak boleh diremehkan. Perusahaan harus berkontribusi lebih baik dalam mendukung kesehatan perempuan. Hal itu menjadi penting bukan saja untuk meningkatkan proporsi perempuan dalam posisi manajerial/kepemimpinan dan mencegah pengunduran diri. Namun, hal itu juga penting untuk meningkatkan produktivitas, yang pada akhirnya meningkatkan pertumbuhan ekonomi. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Perkuat Pendidikan Perempuan, Investasi bagi Pembangunan