Kompleksitas Kesetaraan Hak Perempuan di Indonesia
Gerakan kaum feminis di Indonesia perlu difokuskan pada lingkup kultural dengan mendahulukan advokasi.
Peringatan Hari Perempuan Sedunia atau International Women’s Day yang jatuh pada 8 Maret tiap tahunnya merefleksikan perjuangan kaum perempuan dalam kesetaraan jender. Merujuk pada laporan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) yang tiap tahunnya merilis Catatan Tahunan (Catahu), total pengaduan kasus kekerasan terhadap perempuan pada 2023 mencapai 4.374 kasus. Jumlah ini bertambah tiga kasus dari tahun sebelumnya (4.371 kasus).
Berbagai bentuk kekerasan pada perempuan masih didominasi pada kekerasan seksual sebanyak 2.363 kasus atau 34,8 persen dari total kasus. Lainnya, kekerasan psikis (28,5 persen), kekerasan fisik (27,2 persen), dan kekerasan ekonomi (9,5 persen). Di ranah personal, Kekerasan terhadap Istri (KTI) tercatat 674 kasus di Komnas Perempuan dan 1.573 kasus seturut laporan dari lembaga layanan lainnya.
Ribuan kasus yang tercatat di atas pun berbasis pada pengaduan para korban, belum mencakup kekerasan di ranah domestik, yang tentunya cenderung tertutupi. Laporan ini pula baru membahas ranah kekerasan terhadap perempuan, belum persoalan diskriminasi, eksploitasi, hingga praktik budaya yang merugikan perempuan. Sebagai contoh, sunat perempuan yang membahayakan secara medis pun masih dilanggengkan di sejumlah daerah.
Perlu diakui, perjuangan kaum perempuan dalam membela kesetaraan jender di Indonesia tidaklah mudah. Salah satu bentuk perjuangan dalam hal kesetaraan jender ini muncul dalam gerakan feminisme.Sama seperti aliran pemikiran pada umumnya, lingkup dan cabang feminisme begitu luas sehingga tidak dapat disederhanakan dalam deskripsi tunggal.
Gerakan membela hak-hak perempuan di ruang publik beserta advokasi terhadap perempuan yang menjadi obyek kekerasan hanyalah satu bagian parsial dari feminisme. Secara epistemologis, benang merah dari berbagai cabang pemikiran feminisme mengarah pada kesadaran perempuan yang ditempatkan sebagai subordinat laki-laki.
Kesadaran ini mulai tumbuh sejak 1830 yang baru berkembang pesat di era 1960-an. Di antara periode itu, buku berjudul The Second Sex (Le Deuxieme Sexe) karya filsuf Perancis, Simone de Beauvoir, yang terbit pada 1949 menjadi semacam panduan bagi kaum feminis sebagai rujukan pemikiran gerakannya. Dalam buku tersebut, Simone de Beauvoir menganalisis subordinasi perempuan, mulai dari faktor biologis, mitos, kultural, hingga politis.
Penggambaran singkat inilah yang sekiranya dapat menjadi gambaran gerakan feminisme yang dulunya bermula di Eropa kini sudah makin kuat gaungnya di berbagai negara, termasuk Indonesia. Meski begitu, aliran pemikiran feminisme yang berkembang di Barat tidak dapat diadopsi begitu saja di sini. Apalagi di era postmodern atau yang biasa disebut post-truth saat ini, gerakan feminisme Indonesia masih terus berdinamika dalam bersikap.
Jika diilustrasikan, narasi feminisme Indonesia seperti dalam sebuah bus besar yang penuh dengan penumpang, lengkap dengan rencana perjalanan masing-masing. Ada kelompok yang menginginkan bus melaju cepat dan mencapai destinasi akhir, tetapi ada juga yang masih menginginkan bus mundur ke belakang dahulu, menjemput kawanan yang masih tertinggal. Sementara di depan sana masih ada kelompok lain yang sudah bersiaga menghadang jalur bus tersebut.
Berawal dari budaya
Gerakan kaum feminis di Indonesia yang paling tampak di ruang publik adalah aksi Women’s March Jakarta yang berlangsung tiap tahun sejak 2017. Gerakan aksi kaum feminis ini turut serta menggandeng kelompok rentan lainnya, seperti kelompok minoritas jender dan seksual, pekerja rumah tangga, buruh migran, dan masyarakat adat. Dalam tiap aksinya, Women’s March Jakarta membawa agenda tuntutan di ranah kebijakan dan aturan pemerintah agar senantiasa berpihak kepada perempuan dan kelompok rentan.
Inilah bus yang diilustrasikan di atas. Bukan berarti gerakan sosial kaum feminis ini kurang pas dalam melangkah, melainkan perlu memahami konteks kultural masyarakat Indonesia. Salah satu contohnya ialah munculnya atribut-atribut yang bernada mendukung kaum LGBTQ (lesbian, gay, biseksual, transjender, dan queer), seperti bendera pelangi dalam gerakan feminisme. Simbol-simbol ini masih dianggap ancaman dan mendatangkan antipati karena dinilai bertentangan dengan norma masyarakat bagi sebagian kalangan di Indonesia.
Seperti ilustrasi bus dengan banyak penumpang di atas, gerakan perempuan perlu menemukan arah tujuan yang jelas secara bertahap tanpa harus khawatir belum dapat mengakomodasi banyak pihak yang masih perlu disuarakan. Kecenderungan mengakomodasi banyak kelompok justru membuat gerakan sosial jalan di tempat.
Secara sederhana, pemikiran feminisme pun sebenarnya dapat dibagi menjadi lima cabang, yakni feminisme kultural, feminisme struktural, feminisme liberal, feminisme radikal, dan feminisme interseksional atau feminisme dengan modifikasi (pencampuran) aliran pemikiran lainnya.
Feminisme struktural mendapat banyak pengaruh dari Mazhab Frankfurt yang memfokuskan perhatian pada isu perempuan dalam pusaran sistem ekonomi, termasuk fenomena ”langit-langit kaca” (glass ceiling) bagi pekerja perempuan. Sementara itu, feminisme liberal larut bergerak dalam dinamika sosial masyarakat seturut konteksnya dengan fokus kesetaraan perlakuan terhadap perempuan di ruang publik.
Ke arah yang cenderung ekstrem, feminisme radikal menginginkan sebuah revolusi seksual yang melihat patriarkisme selama ini mengopresi perempuan, bahkan dalam institusi pernikahan. Kebebasan mutlak atas tubuh menjadi lokus pemikiran ini. Wacana feminisme radikal inilah belakangan tumbuh pesat di media sosial dan disampaikan dalam aksi-aksi di ruang publik.
Padahal, konteks masyarakat Indonesia yang kental dengan identitas agamis-kultural (untuk membedakan dengan yang sekuler-progresif) belum siap menerima bentuk aliran pemikiran yang cenderung ekstrem, seperti feminisme radikal tersebut. Wacana feminisme di Indonesia masih perlu berjuang di ranah kultural mengingat segala bentuk tindakan opresi dan praktik kekerasan berbalut tradisi masih marak di berbagai daerah.
Para aktivis feminisme yang turun ke jalanan tampaknya luput melihat kehidupan perempuan di perdesaan dan terlalu asyik nongkrong di kedai kopi perkotaan. Dalam kukungan budaya patriarkis, perempuan di perdesaan rentan menjadi korban atas permasalahan kemiskinan struktural, terbatas pada akses pendidikan, dan akhirnya terpaksa menelusuri lingkaran setan yang sama, dari generasi ke generasi. Aksi gerakan feminisme perlu dahulu menghendaki adanya perubahan cara berpikir masyarakat sambil mengusahakan sistem aturan yang berpihak kepada perempuan.
Disertai perjuangan
Kompleksitas permasalahan kaum perempuan masih perlu menempuh jalan panjang untuk dapat diuraikan dan diperjuangkan tahap demi tahap. Kritik atas pemikiran feminisme di Indonesia masih diperlukan dalam kerangka evaluasi mendasar atas gerakan dan perjuangan perempuan, baik di ranah publik maupun privat. Nyatanya, perjuangan kaum perempuan di Indonesia selama ini mulai terdengar dan memengaruhi kebijakan publik.
Undang-Undang tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual disahkan pada 2022 lalu masih perlu dikawal dalam pelaksanaannya. Kebijakan yang berpihak kepada perempuan, seperti RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, masih perlu terus diupayakan. Begitu juga dengan RUU Masyarakat Adat yang kembali masuk dalam Prolegnas 2023.
Perjuangan yang muncul dalam figur tokoh publik juga dapat menjadi inspirasi yang makin menggerakkan perempuan Indonesia menyuarakan kaumnya. Indonesia belum kehabisan figur perempuan yang terus menginspirasi, misalnya Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang berkecimpung di ranah pemerintahan. Di medium lainnya, seniman Arahmaiani berjuang dengan ketajaman klinisnya sehingga dapat mengungkap akar, keterasingan, dan pengekangan kolektif dari ingatan kaum perempuan.
Baca juga: International Women’s Day, Bagaimana Semuanya Bermula?
Media massa alternatif mulai bertumbuh sebagai wadah perjuangan perempuan dan para penyintas kekerasan. Di media sosial, akun para aktivis perempuan secara sporadis menyampaikan aspirasi dan edukasi. Di saat yang sama, tangan buruh perempuan di Salatiga, Jawa Tengah, tidak hentinya melinting tembakau menjadi tumpukan rokok kretek demi melanjutkan peran sebagai tulang punggung keluarganya.
Beragamnya perjuangan kaum perempuan masih perlu mendapat dukungan, setidaknya penerimaan yang lapang dari semua pihak. Namun, gerakan perempuan juga perlu merumuskan fokus rute yang hendak dituju. Seandainya gerakan perempuan Indonesia ke depannya masih seperti saat ini, mungkin bus besar ini masih akan terus berjalan lambat dan semoga tidak cepat kehabisan bahan bakarnya. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: International Women’s Day dan Keterwakilan Perempuan Indonesia dalam Parlemen