Kebocoran Air Terkontaminasi Radioaktif PLTN Fukushima Memicu Keresahan
Kebocoran sistem penyaringan air pada instalasi ”decommissioning” PLTN Fukushima, Jepang, memicu reaksi China.
Kebocoran sistem penyaringan air pada instalasi decommissioning di Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir Fukushima, Jepang, memicu reaksi dari Pemerintah China. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Wang Wenbin mengatakan, Pemerintah Jepang harus bertanggung jawab atas kebocoran air radioaktif di PLTN tersebut.
Pemerintah China menuntut Pemerintah Jepang untuk memublikasikan insiden yang terjadi pada Rabu (7/2/2024) secara cepat, komprehensif, dan transparan, serta bertanggung jawab untuk memberikan rincian kondisi terkini.
Tuntutan tersebut merupakan kelanjutan dari keresahan China dan sejumlah negara di wilayah Pasifik yang mengkritik Jepang karena membuang air olahan limbah radioaktif PLTN Fukushima Daiichi Nuclear Power Station (FDNPS) ke Samudra Pasifik sejak 2023. Meskipun hasil kajian ilmiah menunjukkan limbah nuklir itu aman karena diproses dengan sistem advanced liquid processing system (ALPS), tetap saja kebocoran air radioaktif dalam instalasi reaktor nuklir itu patut menjadi perhatian serius.
Insiden di FDNPS itu menuntut pentingnya skema pemantauan internasional dalam upaya Jepang melepas limbah olahan radioaktifnya ke lautan. Apalagi, jumlah air limbah yang diproses dalam sistem ALPS mencapai satu juta meter kubik yang ditampung pada 1.000-an tangki penyimpanan.
Waktu pelepasan limbah secara bertahap diperkirakan membutuhkan waktu hingga 30 tahun atau bahkan lebih lama lagi. Jangka waktu rilis limbah radioaktif yang panjang ini membutuhkan pemantauan yang intensif dari berbagai pihak untuk menghindari dampak buruk bagi lingkungan.
Terkait dengan insiden kebocoran itu, Badan Energi Atom Internasional (IAEA) telah mendapatkan laporan dari Tokyo Electric Power Company (Tepco). Operator FDNPS itu memberi tahu IAEA bahwa terjadi kebocoran air yang mengandung bahan radioaktif di menara penyerapan cesium di fasilitas pembangkitan listrik.
Cesium merupakan unsur dalam limbah radioaktif yang bersumber dari resin reaktor nuklir. Dalam laporannya, Tepco memperkirakan sebanyak 5,5 meter kubik (5.500 liter) air bocor dari katup yang dibiarkan terbuka selama pekerjaan pembersihan di menara resapan.
Baca juga: 5.500 Liter Air Tercemar Radioaktif Bocor dari PLTN Fukushima
Air yang bocor tersebut berasal dari sistem penyaringan air sebagai bagian dari kegiatan decommissioning yang sedang berlangsung di lokasi itu. Decommissioning adalah suatu kegiatan untuk menghentikan beroperasinya reaktor nuklir secara tetap, antara lain dengan pemindahan bahan bakar nuklir dari teras reaktor, pembongkaran komponen reaktor, dekontaminasi, dan pengamanan akhir. Peristiwa kebocoran ini tidak terkait dengan pembuangan air olahan limbah radioaktif pada sistem ALPS.
Hasil penilaian Tepco yang dilaporkan kepada IAEA menyatakan bahwa air yang bocor merupakan campuran air terkontaminasi dari sistem penyerapan dan air hasil penyaringan yang digunakan untuk pembersihan. Tepco menghitung kebocoran sekitar 5,5 meter kubik air itu mengandung sekitar 0,022 terabecquerel (TBq) zat radioaktif.
Operator FDNPS ini juga mengonfirmasi bahwa tidak ada fluktuasi signifikan dalam pengukuran radiasi yang tercatat di lokasi tersebut sehingga tidak menimbulkan risiko apa pun terhadap masyarakat dan tidak ada dampak lingkungan di luar lokasi.
Meskipun demikian, Tepco tetap memperkirakan adanya kemungkinan kontaminasi ringan pada tanah di sekitar menara resapan dan telah mengambil tindakan pencegahan di sekitar area itu. Pihak operator telah membatasi akses ke daerah tersebut dan telah mengumpulkan sampel tanah untuk dianalisis lebih lanjut.
Langkah berikutnya, otoritas nuklir Pemerintah Jepang dan juga operator FDNPS melakukan penyelidikan lebih lanjut dengan dimonitor oleh IAEA demi meningkatkan keselamatan operasional.
Kontaminasi Fukushima
Sejak tsunami besar menghantam FDNPS pada 11 Maret 2011 dan menyebabkan kebocoran radiasi yang relatif luas, fasilitas ini membutuhkan banyak air untuk mendinginkan bahan bakar nuklir yang meleleh dan juga puing-puing bahan bakar di fasilitas PLTN itu. Dengan statusnya yang terkontaminasi radioaktif, segala sesuatu yang ada di fasilitas tersebut menjadi berbahaya karena rentan mengontaminasi. Bahkan, air hujan yang jatuh di kawasan itu menjadi rentan terkontaminasi radioaktif sehingga ketika meresap ke dalam tanah sekalipun menjadi berisiko bagi lingkungan dan kesehatan.
Oleh karena itu, air-air itu kemudian dimanfaatkan untuk pendinginan dan air-air yang sudah terkontaminasi di FDNPS disaring lebih lanjut dengan sistem ALPS. Proses ini bertujuan menghilangkan sebagian besar kontaminan radioaktif sebelum disimpan atau dibuang secara aman ke area berikutnya.
Hingga saat ini, Tepco sudah menginstal 1.000 tangki di FDNPS untuk menampung sekitar 1,3 juta meter kubik air limbah radioaktif olahan ALPS. Namun, karena keterbatasan fasilitas penampungan, pihak Tepco memerlukan solusi pembuangan jangka panjang untuk membantu memastikan kelanjutan decommissioning fasilitas nuklir di FDNPS.
Sejak tahun 2023, Pemerintah Jepang mengimplementasikan kebijakan untuk mulai membuang limbah olahan radioaktif secara bertahap di lautan Pasifik. Langkah ini merupakan serangkain proses dari kebijakan internal Pemerintah Jepang yang telah ditetapkan sejak tahun 2011.
Baca juga: Polemik Buangan Air Pengolahan Limbah Radioaktif ke Lautan Pasifik
Tentu saja, keputusan membuang limbah radioaktif tersebut diambil dengan persetujuan IAEA. Oleh karena itu, IAEA membentuk gugus tugas yang terdiri atas berbagai peneliti dari sejumlah negara untuk memonitor proses pengolahan air limbah dengan ALPS itu sebelum dibuang ke laut secara bertahap.
Sejumlah hasil kajiannya, terutama pada kelompok flora dan fauna yang medium hidupnya menggunakan air olahan ALPS, menunjukkan dampak yang masuk dalam kategori aman. Misalnya, dampak paparan radiasi yang terjadi pada ikan pipih, kepiting, dan rumput laut rata-rata 0,0000007 milligray (mGy/day).
Angka paparan radiasi ini sangat jauh di bawah ukuran standar keamanan yang umum terjadi secara internasional yang berkisar 1-10 mGy/day. Bahkan, untuk kepiting, standar baku amannya berkisar 10-100 mGy/day. Artinya, paparan radiasi pada sejumlah flora dan fauna yang diteliti sangat minim dan tidak berbahaya bagi makhluk hidup tersebut. Dengan hasil kajian itu, Jepang akhirnya mulai melepas air olahan limbah nuklir itu secara bertahap sejak Agustus 2023.
Hingga saat ini, FDNPS telah membuang tiga kali air olahan limbah radioaktif ke Samudra Pasifik. Pada akhir Maret 2024 direncanakan pembuangan keempat akan kembali dilakukan.
Tentu saja, insiden kebocoran air terkontaminasi radiasi nuklir di Fukushima pada awal Januari ini mendapat perhatian serius dari sejumlah pihak, terutama negara-negara yang berbatasan langsung dengan Samudra Pasifik. Apalagi, peristiwa kebocoran ini tidak terkait dengan pembuangan air olahan sistem ALPS sehingga sangat berisiko mengontaminasi radiasi nuklir di area tersebut.
IAEA dituntut untuk segera melakukan langkah investigasi agar negara-negara di sekitar lautan Pasifik tidak resah terhadap risiko bahaya lingkungan akibat pembuangan limbah radioaktif Fukushima ke lautan. Transparansi laporan dan juga kajian ilmiah terkini terkait bahaya radiasi dari FDNPS dan hasil olahan ALPS harus disosialisasikan secara lebih luas lagi. Dengan demikian, hal itu tidak akan menimbulkan gejolak geopolitik dan mencegah degradasi lingkungan akibat paparan radiasi nuklir yang sangat berbahaya. (LITBANG KOMPAS)