Buruh, Penggerak Industri yang Kian Terpinggirkan
Kesejahteraan buruh di Indonesia belum bertumbuh sejalan dengan membaiknya kinerja sektor manufaktur.
Meski berperan besar sebagai penggerak utama industri, kesejahteraan buruh belum bertumbuh sejalan dengan kinerja baik sektor manufaktur.
Hingga kini, manufaktur masih menjadi tulang punggung utama perekonomian Indonesia. Proporsi sumbangannya pada produk domestik bruto (PDB) nasional merupakan yang terbesar di antara sektor lain, yakni mencapai 18,74 persen.
Kinerja manufaktur pun masih cukup menjanjikan. Laju pertumbuhannya kembali menapaki tren positif setelah tiarap ditelan pandemi Covid-19. Tahun 2020, sektor padat karya itu tumbuh minus 2,93 persen. Perlahan merangkak naik dan kembali tumbuh positif di kisaran 3 persen.
Tahun lalu, industri manufaktur tumbuh 5,20 persen pada triwulan III-2023. Serapan tenaga kerja industri pengolahan pada Agustus 2023 mencapai 19,35 juta orang. Jumlah itu setara dengan 13,8 persen dari total jumlah penduduk bekerja di Indonesia.
Dalam kondisi yang sudah membaik itu, idealnya buruh sebagai lokomotif penting industri turut merasakan manisnya ”gula” industri pengolahan. Hanya saja, kabar buruh yang terpinggirkan dan menjadi korban ketidakadilan masih selalu terdengar. Demo tuntutan kenaikan upah pun setiap tahun masih terjadi di seluruh antero negeri.
Bukan tanpa alasan, upah minimum yang idealnya menjadi patokan utama pendapatan kini kian tak berpihak kepada buruh. Merujuk data upah minimum yang dihimpun dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), besaran upah minimum di Indonesia memang konsisten meningkat dari tahun ke tahun. Hanya saja, secara riil, besaran upah tersebut justru mengalami tren penurunan. Hal ini terindikasi dari persentase kenaikan upah yang makin kecil.
Tahun 2016, kenaikan upah buruh di industri manufaktur mencapai 26,51 persen. Namun, bukannya terus meningkat, kenaikan upah terus mengecil dari tahun ke tahun hingga tersisa 7,3 persen pada tahun 2023. Dibandingkan dengan tahun 2022, terjadi penurunan 5 persen.
Baca juga: Gejala Penurunan Upah Riil Perlu Diwaspadai
Tidak hanya pada manufaktur, kenaikan upah yang kian mengecil juga terjadi pada buruh secara umum. Elaborasi data Kemenaker dan BPS menunjukkan, kenaikan upah minimum (UMP) di Indonesia mencapai 22 persen pada tahun 2014. Kenaikan tersebut merupakan yang tertinggi sepanjang satu dekade terakhir.
Namun, kenaikan upah terus menyusut hingga tersisa 2,4 persen pada tahun ini meski besaran UMP sudah meningkat menjadi Rp 2.992.330 per bulan. Kenaikan itu pun tak sebanding dengan harga kebutuhan pokok yang belakangan terus melonjak.
Upah minim
Berkaca pada kondisi tersebut, publik pun menilai bahwa posisi buruh kian tertekan, sebagaimana terekam dalam jajak pendapat Kompas pada 15-17 Januari 2024 lalu.
Bagian terbesar responden (43 persen) menyatakan, nasib buruh saat ini masih belum hidup layak. Bahkan, lebih dari seperlima responden sepakat bahwa kondisi buruh saat ini justru semakin memburuk.
Publik menilai, sistem pengupahan untuk buruh menjadi persoalan mendasar penyebab semakin tertekannya posisi buruh saat ini. Hal ini tak lepas dari ketentuan pengupahan yang dinilai kian tak berpihak kepada buruh. Terutama pascaberlakunya Undang-Undang Cipta Kerja, yakni UU Nomor 6 Tahun 2023.
Dalam beleid itu disebutkan, formula penghitungan upah minimum mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu atau alpha. Komponen inflasi dinilai tidak berpihak kepada buruh.
Dalam konteks ekonomi makro, inflasi yang terkendali memang baik bagi perekonomian. Hanya saja, jika diterapkan sebagai dasar penghitungan, upah minimum berpotensi membuat kenaikan upah sangat minim. Apalagi, inflasi Indonesia beberapa waktu terakhir berada di kisaran 2-3 persen.
Ditambah lagi dengan adanya variabel alpha. Indeks tertentu itu juga dinilai kian memperkecil kenaikan upah minimum. Pasalnya, besarannya dibatasi pada angka 10-30 persen, untuk dikalikan dengan pertumbuhan ekonomi tahun terkait.
Sebelumnya, penetapan upah minimum didasarkan pada kebutuhan hidup layak (KHL) yang terdiri dari 60-an komponen. Metode ini dinilai lebih adil karena disesuaikan dengan kebutuhan sehari-hari.
Baca juga: Janji Lapangan Kerja Capres, Gen Z Butuh Realisasi
Dengan ketentuan penghitungan yang ada saat ini, kelompok terbesar responden (43,7 persen) mengatakan bahwa upah buruh belum mampu menghadirkan kehidupan yang layak, bahkan masih sangat kurang.
Apalagi, yang umum terjadi adalah pendapatan para buruh tidak hanya untuk mencukupi kebutuhan dirinya sendiri. Tak sedikit buruh yang jadi satu-satunya tulang punggung bagi keluarganya sehingga penghasilan yang diterima untuk mencukupi kebutuhan seluruh anggota rumah tangga. Dengan kondisi demikian, kian jauhlah para buruh dari kehidupan yang layak.
Makin terpinggir
Kondisi ini kemudian bermuara pada persoalan berikutnya, yaitu kurangnya kesejahteraan para buruh, seperti diungkapkan seperlima responden jajak pendapat. Berbicara kesejahteraan tak hanya berkaitan dengan pengupahan, tetapi juga pada aspek yang lebih luas.
Selain upah, problem lainnya yang membuat buruh kurang sejahtera adalah minimnya kepemilikan jaminan sosial. Menurut data BPS tahun 2021, baru sekitar 36,8 persen pekerja sektor industri yang memiliki jaminan sosial yang meliputi kesehatan, kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, dan jaminan kematian.
Angka ini terpaut cukup jauh dari kepemilikan jaminan sosial oleh pekerja sektor jasa yang mencapai 49,4 persen. Dengan kata lain, mayoritas buruh industri masih harus menjamin dirinya sendiri jika terjadi kemalangan, baik sakit, pemutusan hubungan kerja (PHK), maupun kematian. Situasi itu tentu memberatkan posisi buruh, bersamaan dengan upah yang kian tak memihak mereka. Lebih dari seperempat responden turut menyoroti beban ganda buruh tersebut.
Tak hanya persoalan materiil dan sosial, posisi buruh juga kian terpinggirkan di tengah masifnya pemanfaatan teknologi. Tekanan PHK mengancam keberadaan mereka lantaran teknologi dinilai lebih efektif dan efisien bagi perusahaan.
Baca juga: Upah Minimum Disalahgunakan untuk Buruh Bermasa Kerja Lebih dari Setahun
Melihat berbagai problem yang masih dihadapi buruh, peran pemerintah dibutuhkan untuk memberi jawaban dan tindakan. Terkait tindakan pemerintah, lebih dari separuh responden (57,5 persen) menilai, selama ini pemerintah sudah memberikan perhatian kepada buruh, tetapi belum optimal.
Penilaian publik ini di satu sisi jadi dukungan bagi upaya pemerintah dalam memberikan perhatian bagi buruh. Namun, di sisi lain, penilaian ini memberi gambaran tuntutan dan harapan agar pemerintah dapat meningkatkan dukungan optimal bagi buruh. Terlebih ada 3 dari 10 responden yang masih menilai belum tampak upaya pemerintah untuk memperbaiki nasib buruh.
Dukungan optimal pemerintah tersebut menjadi asa perbaikan nasib buruh di masa depan. Bagaimanapun, buruh adalah aset bangsa yang berperan besar menjaga keberlangsungan industri dan perekonomian Tanah Air. (Litbang Kompas)