logo Kompas.id
RisetUrgensi Menjaga Etika Politik ...
Iklan

Urgensi Menjaga Etika Politik dan Demokrasi di Pemilu 2024

Jajak pendapat ”Kompas”, 29 Januari-2 Februari 2024, menunjukkan harapan publik agar etika politik dijaga selama pemilu.

Oleh
RANGGA EKA SAKTI/ LITBANG KOMPAS
· 5 menit baca
Presiden Joko Widodo mengapresiasi kreativitas dan kualitas kemasan produk para nasabah PT Permodalan Nasional Madani (PNM) Mekaar dalam silaturahmi di Gedung Bale Rame, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Sabtu (3/2/2024).
BPMI SEKRETARIAT PRESIDEN/RUSMAN

Presiden Joko Widodo mengapresiasi kreativitas dan kualitas kemasan produk para nasabah PT Permodalan Nasional Madani (PNM) Mekaar dalam silaturahmi di Gedung Bale Rame, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Sabtu (3/2/2024).

Sikap presiden yang dipandang cenderung memihak kepada salah satu pasangan calon presiden dan calon wakil presiden dikhawatirkan publik dapat mencederai demokrasi. Menjaga etika dalam kontestasi politik dinilai penting dilakukan oleh pejabat negara untuk mewujudkan pemilihan umum yang adil dan bermartabat.

Penilaian publik ini tergambar dari hasil jajak pendapat Kompas pada 29 Januari-2 Februari 2024. Sikap Presiden yang cenderung menunjukkan keberpihakan kepada kontestan di pemilu, baik itu kepada pasangan capres-cawapres maupun partai politik, dipandang semestinya tidak terjadi karena presiden semestinya netral.

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Hal ini tidak dapat dilepaskan dari persepsi publik atas pentingnya menjaga etika politik dalam penyelenggaraan pemilu kali ini. Hasil jajak pendapat menunjukkan, mayoritas responden (96 persen) sepakat bahwa etika politik perlu dijaga, bahkan sebagian dari mereka memandang hal ini urgen dilakukan.

Tidak heran jika pernyataan Presiden Joko Widodo di Pangkalan TNI Angkatan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur, Rabu (24/1/2024), yang menyebut presiden dan menteri boleh berkampanye dan memihak asalkan tidak menggunakan fasilitas negara melahirkan polemik di masyarakat.

Baca juga: Debat Capres Terakhir di Pemilu 2024

https://cdn-assetd.kompas.id/DGtQtsEyB1qWy2RbxK_nEMrZuhk=/1024x1426/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F02%2F04%2F7d14ca14-589d-47b7-91fc-e9480d862a8d_png.png

Meskipun secara regulasi memiliki pijakan undang-undang, pernyataan ini bertentangan dengan sikap presiden yang disampaikan sebelumnya soal pentingnya penyelenggara negara menjaga netralitas di pemilu. Terlebih, salah satu kontestan di pemilihan presiden, yakni cawapres Gibran Rakabuming Raka, merupakan putra Presiden Jokowi.

Jajak pendapat kali ini juga menangkap bahwa dijunjungnya etika ini selaras dengan harapan akan adanya pemilu yang adil. Artinya, jika ada batasan-batasan etis yang dilampaui, hal itu akan menimbulkan kesan pemilu berjalan tidak adil. Sikap ini juga terbaca dari hasil jajak pendapat bahwa pemilu berpotensi berjalan tidak adil jika presiden terlibat atau mendukung salah satu pasangan calon. Hal ini setidaknya diungkapkan oleh lebih dari separuh responden (50,9 persen).

Kondisi ini pada akhirnya juga berimbas pada pandangan publik tentang situasi demokrasi di Indonesia. Lebih dari separuh responden (63,2 persen) jajak pendapat juga menyampaikan, jika presiden bersikap tidak netral di pemilu, hal itu bisa mengikis kualitas demokrasi di Indonesia yang telah dipupuk selama lebih dari dua dekade terakhir ini.

Netralitas presiden

Perhatian publik atas netralitas presiden bukan kali ini saja muncul ke permukaan. Hampir setahun lalu, tingginya harapan publik terhadap netralitas presiden pada Pemilu 2024 terekam dari hasil jajak pendapat Kompas, 9-11 Mei 2023. Saat itu, mayoritas responden (90,3 persen) menilai penting bahwa presiden harus bersikap netral di pemilu.

Baca juga: Berkali-kali Berkunjung ke Jateng, Jokowi Memotong Basis Ganjar-Mahfud?

Presiden Joko Widodo berbincang dengan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto sebelum peresmian Graha Utama Akademi Militer di Magelang, Jawa Tengah, Senin (29/1/2024).
ARSIP AKADEMI MILITER MAGELANG

Presiden Joko Widodo berbincang dengan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto sebelum peresmian Graha Utama Akademi Militer di Magelang, Jawa Tengah, Senin (29/1/2024).

Iklan

Tidak heran jika kemudian publik menekankan pentingnya aspek netralitas untuk terus dijaga presiden. Batasan soal netralitas ini pun dengan tegas disampaikan oleh masyarakat. Pernyataan dukungan terhadap partai dan pasangan calon tertentu menjadi bentuk ketidaknetralan yang paling kentara di mata masyarakat. Bagian terbesar responden (54,4 persen) mengungkapkan setuju tindakan tersebut adalah bentuk ketidaknetralan presiden.

Aspek netralitas ini pun tidak hanya melekat pada presiden, tetapi juga orang-orang terdekatnya. Hasil jajak pendapat pada Mei 2023 pun menunjukkan hampir seperlima bagian responden merasa pencalonan anggota keluarga dari presiden sebagai salah satu bentuk ketidaknetralan. Patut dimaklumi, publik tentu akan sulit untuk yakin bahwa presiden dapat bersikap netral ketika sanak familinya ikut berkontestasi dalam pemilu.

Meskipun begitu, jajak pendapat kali ini juga merekam pendapat publik yang sedikit berbeda, terutama dalam hal kesamaan persepsi soal tindakan yang dianggap tak netral dan kepatutannya. Tak sedikit responden yang merasa keberpihakan presiden bukanlah sebuah persoalan. Sebanyak 43,9 persen responden dari masyarakat merasa tindakan itu patut-patut saja sejauh masih dalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Terlepas dari perbedaan itu, netralitas pejabat negara sejatinya sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pasal 283 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menyebutkan bahwa pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri dilarang untuk mengadakan kegiatan yang mengarah pada keberpihakan terhadap peserta pemilu. Bentuk keberpihakan yang dilarang mulai dari pertemuan, ajakan, imbauan, seruan, hingga pemberian barang.

Tangkapan layar dari video anggota Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Garut yang seharusnya netral justru menyatakan dukungan kepada salah satu kandidat di Pemilihan Presiden 2024.
TANGKAPAN LAYAR

Tangkapan layar dari video anggota Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Garut yang seharusnya netral justru menyatakan dukungan kepada salah satu kandidat di Pemilihan Presiden 2024.

Di sisi lain, ketidaknetralan pejabat negara, termasuk presiden, erat hubungannya dengan soal kesewenang-wenangan penggunaan kekuasaan dalam pemilu. UUD 1945 menyebutkan kewenangan besar presiden yang memegang kekuasaan pemerintahan. Selain itu, presiden juga memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.

UU No 2/2002 tentang Polri juga mengatur bahwa Polri berada di bawah presiden dan bertanggung jawab kepada presiden. Demikian pula dengan Badan Intelijen Negara (BIN) yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden sesuai ketentuan UU No 17/ 2011 tentang Intelijen Negara.

Dalam penyelenggaraan pemilu, presiden juga memiliki peran dalam membentuk tim seleksi calon anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU). UU Pemilu pun menyebutkan, selain kepada DPR, KPU juga memberikan laporan kepada presiden. Besarnya wewenang dan pengaruh yang dimiliki presiden ini menjadi harapan publik atas pentingnya menjaga etika politik dalam penyelenggaraan pemilu.

Komitmen demokrasi

Etika politik menjadi fondasi dasar bangunan nurani negarawan dalam memimpin negara di tengah besarnya wewenang yang dimiliki. Hal ini perlu terus-menerus digaungkan untuk mencegah munculnya negara kekuasaan.

https://cdn-assetd.kompas.id/10O970kLCNYaxbJu6BrgIs7Ycu4=/1024x1278/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F01%2F25%2F5574d9b0-1676-452f-9912-72b23c3d321f_png.png

Hal ini pun disepakati oleh masyarakat dan terlihat dari hasil jajak pendapat Kompas pada Mei 2023. Hampir tiga perempat responden beranggapan sikap tidak netral yang ditunjukkan pejabat negara di masa pemilu berpotensi mengarah pada penyelewengan kekuasaan.

Karena itu, kecenderungan keberpihakan yang diungkapkan oleh Presiden Jokowi pekan lalu menjadi ujian bagi marwah pemilu dan perjalanan demokrasi bangsa. Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia Sulistyowati Irianto menegaskan, persoalan utama Pemilu 2024 adalah netralitas palsu dan kecurangan yang diperlihatkan justru oleh penyelenggara negara dengan pengerahan kekuatan struktur negara dan sumber dana tanpa batas (Kompas, 23/1/2024).

Baca juga: Memahami Kegelisahan di Balik Gelombang Seruan Para Akademisi

Respons lain mulai ditunjukkan melalui pernyataan sikap yang dilakukan oleh kalangan akademisi dari sejumlah perguruan tinggi akhir-akhir ini. Hal ini tak lepas dari keprihatinan atas kondisi kebangsaan saat ini, terutama terkait kekhawatiran terjadinya ketidaknetralan pejabat negara di pemilu.

Bukan tidak mungkin gerakan moral yang lahir dari sejumlah kampus akan bereskalasi ke beberapa elemen masyarakat yang masih berharap adanya komitmen demokrasi dan etika politik pejabat negara untuk mewujudkan pemilu yang adil dan bermartabat.

Editor:
ANTONIUS PONCO ANGGORO
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000