Alarm Jam Kiamat Bumi akibat Perang dan Krisis Iklim
Berbagai ancaman global, seperti perang dan krisis iklim, kian membuat Bumi semakin dekat dengan jam kiamatnya.
Bumi kian berada di titik terdekatnya dengan situasi kehancuran akibat banyaknya kerusakan katastropik di berbagai tempat. Dua hal utama yang menyebabkan makin kuatnya ancaman kerusakan dunia adalah peperangan dan krisis iklim. Sementara dua hal lain yang turut memperparah stabilitas sosial masyarakat adalah kecerdasan buatan dan perkembangan teknologi yang kurang terkendali.
Alarm kerusakan massal di banyak tempat di Bumi digambarkan dalam sebuah jam kiamat. Apabila waktu pada jam tersebut mendekati tengah malam, fenomena kerusakan besar di Bumi kian tidak dapat dicegah. Besarnya skala kerusakan yang bakal terjadi diprediksi sangat masif hingga digambarkan sebagai kiamat.
Jam kiamat telah digunakan selama hampir delapan dekade sebagai indikator kerentanan dunia. Pencipta jam tersebut adalah sejumlah peneliti yang tergabung dalam Buletin Ilmuwan Atom yang berlokasi Chicago, Amerika Serikat.Buletin Ilmuwan Atom merupakan organisasi riset yang terdiri dari banyak peneliti yang bergerak di bidang sains dan keamanan global.
Organisasi ini berdiri sejak tahun 1945 dan menerbitkan jam kiamat pertamanya tahun 1947 dengan posisi 7 menit sebelum tengah malam. Sejumlah ilmuwan yang tergabung di awal organisasi berdiri adalah ahli biofisika Eugene Rabinowitch, fisikawan Hyman Goldsmith, fisikawan Albert Einstein, fisikawan James Franck, dan fisikawan yang dikenal sebagai bapak bom atom J. Robert Oppenheimer.
Untuk tahun 2024, jam kiamat ditetapkan berada di posisi 90 detik sebelum tengah malam. Ini adalah waktu terdekat di sepanjang sejarah Bumi untuk mencapai kondisi kiamat atau kerusakan besar.Posisi 90 detik sebelum tengah malam pada tahun 2024 tidak berubah sejak tahun 2023 kemarin.
Salah satu penyebab utamanya adalah perang Rusia dengan Ukraina yang berdampak pada kesepakatan Rusia terkait penggunaan senjata nuklir. CEO Buletin Ilmuwan Atom Rachel Bronson mengatakan bahwa kondisi jam kiamat dalam dua tahun terakhir menegaskan kegentingan kondisi dunia. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah dan komunitas di seluruh dunia mengambil tindakan untuk menjaga kelestarian Bumi.
Baca juga: Rusia yang Terdesak dan Ancaman Perang Nuklir
Dalam catatan lembaga Arm Control Association, hingga tahun 2023 ada lebih dari 12.500 hulu ledak nuklir di seluruh Bumi. Setiap satu hulu ledak nuklir mampu menghancurkan satu kota besar dan membunuh jutaan orang sekaligus dalam sekali ledakan. Negara dengan jumlah hulu ledak terbanyak adalah Rusia, yaitu 5.889 unit hulu ledak, diikuti Amerika Serikat sebanyak 5.224 unit, kemudian China dengan 410 unit.
Situasi keamanan dunia makin mengkhawatirkan saat Rusia mundur dari Perjanjian Larangan Uji Coba Nuklir Komprehensif yang telah disepakati sejak tahun 1996. Perjanjian tersebut melarang semua peledakan nuklir, termasuk uji coba senjata nuklir. Pencabutan ratifikasi oleh Presiden Rusia Vladimir Putin membuat Rusia dapat sewaktu-waktu menggunakan senjata nuklirnya.
Apalagi, saat ini hubungan Rusia dengan Eropa dan Amerika Serikat sedang tak berjalan baik. Eropa dan AS berada di pihak Ukraina yang sedang berperang dengan Rusia. Sebelumnya, dunia pernah menghadapi bahaya perang nuklir saat krisis rudal Kuba tahun 1962.
Bencana katastropik
Selain risiko perang nuklir, kehancuran massal di Bumi turut disebabkan oleh krisis iklim. Waktu 90 detik menjelang tengah malam di jam kiamat juga menandakan bahwa laju kerusakan dunia makin tak terbendung.
Pascapenetapan tahun 2023 sebagai tahun terpanas oleh Copernicus Climate Change Service (C3S)-Uni Eropa, tantangan pemanasan global yang dialami masyarakat dunia makin besar.Maka tak heran, faktor iklim turut menjadi penentu ukuran jam kiamat oleh para ilmuwan.
Baca juga: Publik Makin Merasakan Dampak Perubahan Iklim
Perubahan iklim memperparah gelombang panas, kekeringan, kebakaran hutan, dan konflik sosial di seluruh dunia. Salah satu dampak terbesar pemanasan global adalah kebakaran hutan di Hawaii, Amerika Serikat, pada Agustus 2023. Dampak kebakaran selama tiga hari tersebut menewaskan sedikitnya 100 orang. Kerugian material dari bencana tersebut mencapai 5,52 miliar AS atau senilai Rp 86,7 triliun.
Suhu yang memanas menyebabkan anomali pada sistem atmosfer Bumi. Implikasinya, frekuensi dan intensitas kejadian bencana hidrometeorologi makin membesar. Salah satunya ialah hujan ekstrem dan banjir bandang di Rwanda pada Mei 2023 yang menewaskan 129 orang dan merusak lebih dari 5.000 rumah. Tak hanya itu, pada bulan yang sama, banjir bandang dan angin kencang akibat topan Mocha di Myanmar juga memakan korban setidaknya 145 jiwa.
Masih pada Mei 2023, banjir bandang melanda sejumlah tempat di Kongo. Total korban jiwa karena bencana mencapai 438 jiwa. Sementara badai Freddy di Malawi menewaskan sedikitnya 679 orang dan memaksa ratusan ribu penduduk mengungsi hingga beberapa minggu.
Anomali iklim dan musim juga dirasakan di Indonesia sehingga menyebabkan munculnya banyak kejadian cuaca eksrem yang membahayakan. Sepanjang tahun 2023 terjadi 4.938 bencana di seluruh Indonesia. Tiga bencana paling mematikan adalah kebakaran hutan dan lahan (1.802 kejadian), banjir (1.168 kejadian), dan cuaca ekstrem (1.155 kejadian). Akibatnya, sebanyak 8,85 juta jiwa terpaksa mengungsi karena tempat tinggalnya rusak.
Tahun ini, hingga 23 Januari 2024, Badan Nasional Penanggulangan Bencana nmencatat total telah terjadi bencana 118 kejadian. Korban terluka mencapai 608 orang. Sementara jumlah orang yang harus mengungsi karena terdampak bencana sebanyak 93.394 jiwa dan jumlah rumah yang rusak tercatat 146 unit. Kejadian terbaru adalah banjir di Kabupaten Bireun, Aceh, yang merendam 3.458 rumah. Total penduduk terdampak mencapai 13.832 jiwa.
Memutar jam kiamat Bumi
Selain ancaman perang nuklir dan krisis iklim, faktor lain yang menyebabkan jam kiamat berada di 90 detik sebelum tengah malam adalah perkembangan teknologi termasuk kecerdasan buatan. Meski di satu sisi memberikan gambaran kemajuan peradaban, di sisi lain perkembangan teknologi juga memberikan ancaman keseimbangan sosial.
Perkembangan teknologi turut memperluas disinformasi yang berdampak pada konflik antarkelompok sosial di tengah masyarakat. Konflik tersebut tidak terbatas di dunia daring, melainkan juga di kehidupan nyata. Para peneliti di Buletin Ilmuwan Atom menyebutkan bahwa teknologi dan kecerdasan buatan berpotensi menjadi disruptif dan mengancam stabilitas sosial masyarakat apabila tidak diimbangi dengan nilai-nilai humanisme.
Alarm jam kiamat Bumi kian berdentang dari ancaman perang nuklir, bencana alam, perubahan iklim, hingga teknologi disruptif. Ancaman kerusakan Bumi tersebut menuntut kerja sama pemimpin-pemimpin dunia untuk memulihkan kondisi Bumi.
Langkah mendasar yang memegang peran kunci adalah kesadaran bahwa kondisi Bumi makin memburuk saat ini. Kesadaran tersebut mampu menumbuhkan komitmen kuat untuk memperbaiki kondisi Bumi. Ini sesuai dengan tujuan Buletin Ilmuwan Atom untuk membangun kesadaran dan aksi kolektif umat manusia.
Memutar jam kiamat ke beberapa detik sebelum tengah adalah sebuah keniscayaan. Hal tersebut pernah terjadi tahun 1991, di mana jam kiamat mundur hingga 17 menit sebelum tengah malam. Sebelumnya jam kiamat berada di 10 menit sebelum tengah malam. Saat itu, perang dingin antara Amerika Serikat dan Rusia telah berakhir sehingga keseimbangan global dapat dipulihkan.
Baca juga: Bumi Bukan Lagi Memanas, tetapi Mulai Mendidih
Catatan keberhasilan tersebut menjadi harapan menahan kehancuran Bumi di masa depan. Meski sulit, perdamaian dunia harus terus diupayakan untuk mencegah terjadinya perang nuklir.
Kunci untuk memutar jam kiamat agar menjauh dari tengah malam adalah menegakkan kembali aturan persenjataan nuklir global, menahan laju pemanasan global, dan menciptakan aturan cara main teknologi kecerdasan buatan. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Membangun Kesadaran Menghadapi Dampak Perubahan Iklim