logo Kompas.id
Riset”Greenflation” dan Transisi...
Iklan

”Greenflation” dan Transisi Energi dalam Debat Cawapres

Upaya mereduksi emisi karbon akan dihadapkan pada tantangan ”greenflation” sebagai dampak dari transisi energi.

Oleh
AGUSTINA PURWANTI
· 5 menit baca
Tiga pasangan capres dan cawapres naik ke panggung pada akhir acara Debat Keempat Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden Pemilu 2024 di Jakarta Convention Center, Jakarta, Minggu (21/1/2024).
KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO

Tiga pasangan capres dan cawapres naik ke panggung pada akhir acara Debat Keempat Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden Pemilu 2024 di Jakarta Convention Center, Jakarta, Minggu (21/1/2024).

Di balik semangat besar pembangunan berkelanjutan, transisi energi tampaknya masih cukup dilematis. Upaya mereduksi emisi karbon akan dihadapkan pada tantangan greenflation sebagai dampak dari transisi energi. Komitmen para pemimpin untuk mewujudkan ekonomi hijau dengan mengoptimalkan energi bersih pun diuji.

Sebagai penggerak utama segala aktivitas kehidupan manusia, energi menjadi kebutuhan krusial yang harus tersedia setiap saat. Peran pemerintah sangat vital dalam menyediakan komoditas ini sehingga semua kebijakan terkait energi akan berdampak luas bagi seluruh masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu, Debat Keempat Pemilu Presiden 2024, Minggu (21/1/2024), cukup mendapat atensi publik untuk menyimaknya.

Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kunjungi Halaman Pemilu

Debat yang menampilkan para kontestan calon wakil presiden itu mengetengahkan enam tema utama yang terdiri dari pembangunan berkelanjutan dan lingkungan hidup, sumber daya alam dan energi, pangan, agraria, masyarakat adat, dan desa.

Ada satu hal yang cukup menarik dalam perdebatan cawapres tersebut, ketika salah satu kontestan menanyakan greenflation kepada kandidat lainnya. Terminologi ekonomi hijau itu pertama kali disebutkan oleh cawapres nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka, saat menyampaikan pertanyaan kepada cawapres nomor urut 3, Mahfud MD.

”Bagaimana cara mengatasi greenflation?” tanya Gibran singkat. Istilah yang sebelumnya asing bagi masyarakat itu pun seketika menjadi sering disebutkan, terutama di dunia maya. Baik di media sosial maupun media percakapan daring seperti dalam grup Whatsapp.

Secara sederhana, greenflation diterjemahkan sebagai kenaikan harga atau inflasi sebagai konsekuensi dari transisi perekonomian yang lebih condong kepada pengurangan emisi (net zero emission). Salah satu langkahnya adalah dengan menggunakan energi bersih atau hijau. Hal ini lantaran pengalihan penggunaan energi dari fosil ke energi hijau memerlukan biaya yang relatif lebih mahal.

Baca juga: Debat Cawapres Belum Tawarkan Banyak Gagasan Transisi Energi

https://cdn-assetd.kompas.id/mZS--i3hy6HO5SFdTC5ulk6QdMU=/1024x722/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F11%2F09%2Fa27388ae-a97b-48ee-afc1-67ab9b998bcc_png.png

Merujuk laporan McKinsey, guna mencapai emisi nol persen pada 2050, diperlukan anggaran sekitar 275 triliun dollar AS sepanjang 2021-2050. Jika dirata-rata per tahun, kebutuhan biayanya mencapai 9,2 triliun dollar AS.

Total pengeluaran tersebut terdiri atas setidaknya empat komponen. Pertama, sekitar 2,7 triliun dollar AS untuk belanja modal dan aset energi emisi tinggi yang sebelumnya digunakan. Berikutnya adalah 2 triliun AS untuk belanja aset emisi rendah karbon. Ketiga, untuk biaya realokasi dari aset operasional emisi karbon tinggi ke rendah sebesar 1 triliun dollar AS.

Sisanya, sebesar 3,5 triliun dollar AS, merupakan peningkatan biaya menuju net zero emission 2050 dibandingkan dengan total biaya saat ini. Dengan kata lain, biaya menggunakan energi bersih 38 persen lebih tinggi dibandingkan dengan biaya energi fosil yang digunakan saat ini.

Indonesia

Pemerintah Indonesia pun tak menampik bahwa biaya menuju ekonomi hijau relatif sangat mahal. Hal itu terangkum dalam laporan khusus bertajuk ”Peta Jalan Menuju Emisi Nol Bersih pada Sektor Energi di Indonesia” hasil kerja sama dengan Badan Energi Internasional (IEA).

Iklan

Selama ini, Indonesia menginvestasikan sekitar 20 miliar dollar AS per tahun untuk sektor energi. Jika mengadopsi transisi energi, investasinya akan lebih tinggi 8 miliar dollar AS per tahun dibandingkan kondisi saat ini. Penghitungan ini didasarkan pada target Indonesia mencapai emisi nol persen pada tahun 2060 dengan pengurangan emisi pada sektor energi dalam jumlah besar. IEA menyebutnya dengan Skenario Pernyataan Ikrar (Announced Pledges Scenario/APS).

Sementara itu, investasi untuk efisiensi energi diperkirakan naik hingga 10 miliar dollar AS per tahun pada 2030, naik lima kali lipat dibandingkan estimasi saat ini. Pada praktiknya, jika terealisasi, biaya investasinya berpotensi lebih besar jika pertumbuhan PDB terus membaik diikuti dengan permintaan energi yang meningkat.

Baca juga: Analisis Debat Cawapres: Kelestarian Lingkungan Jadi Isu Penting

https://cdn-assetd.kompas.id/y55riRM5H5-SPH7VCvUJ5YKkCFM=/1024x1228/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2021%2F10%2F13%2F20211013-H08-ARS-EBT-Netzeroemission-mumed_1634136357_png.png

Dengan demikian, biaya energi yang tinggi akan berpotensi mendorong kenaikan harga-harga secara umum mengingat energi adalah salah satu input penting dalam sebuah proses produksi. Ditambah lagi dengan fenomena anomali iklim membuat biaya sejumlah bahan baku menjadi lebih mahal. Akumulasi biaya produksi energi yang tinggi dan mahalnya harga bahan baku membuat harga-harga barang dan jasa melonjak naik. Di sinilah fenomena greenflation itu terjadi.

Meski demikian, hasil analisis IEA dan McKinsey menyatakan bahwa besarnya investasi energi diproyeksikan hanya terjadi pada masa awal transisi atau dalam jangka pendek. Seiring berjalannya waktu dan efisiensi kian meningkat, biaya memproduksi energi semakin rendah sehingga meminimalkan efek greenflation.

Capres-cawapres

Melihat tantangan lingkungan yang kian besar di masa depan, diperlukan pemimpin yang visioner dalam membangun kemajuan nasional berkelanjutan dan berbasis kelestarian alam. Di sinilah komitmen para calon pemimpin negeri ini dinanti.

Mengacu pada visi-misi yang diajukan oleh setiap pasangan capres dan cawapres, semuanya telah berupaya menargetkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan. Transisi energi menjadi suatu keniscayaan yang harus segera dilakukan untuk mendukung kemajuan ekonomi nasional.

Pasangan calon nomor urut 1 Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, misalnya, salah satu pilar untuk mewujudkan ekonomi berkelanjutan adalah dengan mempercepat transisi energi. Salah satu langkah yang hendak ditempuh Anies-Muhaimin adalah pengembangan sumber terbarukan sesuai potensi lokal di setiap daerah. Adapun sumber yang dimaksud berupa PLTS, PLTA, eksplorasi geotermal, dan pemensiunan dini PLTU.

Baca juga: Debat Cawapres Menggemakan Pertobatan Ekologis untuk Melestarikan Alam

Visi misi pasangan calon presiden dan wakil presiden yang bertarung dalam Pemilu 2024 dipasang di bawah jembatan layang Kuningan, Jakarta, Rabu (24/1/2024).
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN

Visi misi pasangan calon presiden dan wakil presiden yang bertarung dalam Pemilu 2024 dipasang di bawah jembatan layang Kuningan, Jakarta, Rabu (24/1/2024).

Begitu halnya dengan pasangan calon nomor urut 2, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka. Salah satu program yang hendak mereka lakukan jika terpilih adalah swasembada energi. Gambaran teknisnya dengan cara mengurangi ketergantungan energi fosil. Prabowo-Gibran juga memiliki harapan untuk menjadikan Indonesia sebagai raja energi hijau dunia (super power) dalam bidang energi baru dan energi terbarukan (EBET) dan energi berbasis nabati (bioenergy).

Tak ketinggalan pula, pasangan calon nomor urut 3, Ganjar Pranowo–Mahfud MD, pun memiliki gagasan besar untuk mewujudkan ekonomi hijau di Indonesia melalui transisi energi. Secara lebih rinci, Ganjar-Mahfud hendak mewujudkannya dengan pemanfaatan EBET sebagai generator pembaruan. Potensinya sekitar 3.700 gigawatt (GW) kebutuhan dalam negeri. Dengan demikian, porsi EBET dalam bauran energi menjadi 25-30 persen pada tahun 2029.

Gagasan mulia dari setiap pasangan calon tersebut tentu akan lebih bermakna jika benar-benar direalisasikan saat kekuasaan sudah dalam genggaman. Lebih dari itu, kemanfaatannya harus bisa dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Segala bentuk konsekuensinya pun, seperti salah satunya greenflation, perlu segera diantisipasi agar gagasan besar pembangunan berkelanjutan tidak menjadi bumerang bagi perekonomian nasional.

Harapannya, terminologi greenflation yang tercetus dalam momentum debat cawapres yang lalu tidak hanya menjadi perbincangan semata. Akan tetapi, bisa menjadi pengingat bahwa menuju transisi energi itu penuh dengan beragam tantangan dan efek yang berat bagi perekonomian. Namun, dengan perencanaan yang matang dan komitmen yang kuat dari pemerintah, segala ancaman negatif dapat dimitigasi sejak awal. (LITBANG KOMPAS)

Editor:
BUDIAWAN SIDIK ARIFIANTO
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000