Pentingnya Memahami Risiko Bencana
Laporan World Risk Report 2023 menempatkan Indonesia negara paling rawan bencana kedua di dunia setelah Filipina.
Hidup di negara paling rawan bencana kedua di dunia membuat memahami kondisi risiko bencana penting dilakukan. Selain menjadi informasi sebagai langkah awal dalam identifikasi risiko, lebih lanjut upaya itu bisa menjadi acuan dalam menjalankan manajemen risiko serta mengurangi risiko bencana dalam jangka panjang.
Memasuki tahun 2024, deretan bencana alam telah terjadi di beberapa wilayah Tanah Air. Diawali gempa bumi yang melanda Sumedang, Jawa Barat, pada pergantian tahun lalu dengan kekuatan magnitudo (M) 4,8, berikutnya gempa berkekuatan M 5,9 melanda wilayah Lebak, Banten pada 3 Januari.
Selain gempa, terjadi erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki di Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, yang membuat statusnya dinaikkan dari level Waspada menjadi Siaga pada 1 Januari 2024. Demikian pula Gunung Marapi di Sumatera Barat, aktivitas erupsi dan kegempaannya terus berlangsung dalam satu bulan terakhir.
Meningkatnya intensitas curah hujan juga mengakibatkan banjir yang merendam sejumlah wilayah di Kabupaten Kerinci, Jambi; Kabupaten Landak, Kalimantan Barat; Semarang, Jawa Tengah; Kabupaten Bandung dan Karawang, Jawa Barat; serta sejumlah kawasan di Jakarta dan daerah penyangga sekitarnya.
Tingginya intensitas curah hujan juga menyebabkan tanah longsor, di antaranya terjadi di Kelurahan Lempongsari, Kota Semarang, Jawa Tengah, dan kawasan wisata sumber mata air Cipondok, Subang, Jawa Barat, yang menelan dua korban jiwa.
Deretan bencana alam yang terjadi sepekan pertama tahun 2024 ini menjadi ”alarm” bagi masyarakat dan pemerintah untuk meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan menghadapi bencana mengingat kita hidup di negara dengan tingkat kerawanan bencana yang sangat tinggi.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan, sepanjang tahun 2023 setidaknya telah terjadi 4.938 bencana alam di Indonesia yang menyebabkan sedikitnya 265 orang meninggal.
Baca juga : Jangan Ada Lagi Marapi Lain
Risiko sangat tinggi
Laporan World Risk Report 2023 yang dirilis Bündnis Entwicklung Hilft dan IFHV of the Ruhr-University Bochum menunjukkan, Indonesia menjadi negara paling rawan bencana kedua di dunia setelah Filipina dengan skor Indeks Risiko Global 43,50. Peringkat kerawanan bencana tersebut meningkat dari tahun sebelumnya yang menempatkan Indonesia pada urutan ketiga dengan skor indeks 41,46.
Dilihat dari lima aspek penyusun indeks, empat di antaranya masuk klasifikasi sangat tinggi. Pertama, dari aspek keterpaparan (exposure) dengan skor 39,89, Indonesia berada di deretan kelima negara dengan paparan bencana tertinggi.
Aspek paparan melihat sejauh mana populasi di daerah rawan bencana terkena dan terbebani oleh dampak alam yang ekstrem atau akibat negatif dari perubahan iklim. Paparan terdiri atas aspek bahaya, yang meliputi frekuensi dan intensitas bencana.
Kedua, dari aspek kerentanan (vulnerability) dengan skor 47,43, Indonesia masuk klasifikasi sangat tinggi. Kerentanan adalah kecenderungan populasi menjadi rentan terhadap kerusakan akibat kejadian alam ekstrem atau dampak negatif perubahan iklim.
Kerentanan memetakan kapasitas dan disposisi manusia, rumah tangga, dan masyarakat dan menunjukkan seberapa mudah dan sejauh mana mereka dapat menjadi tidak stabil, rusak, atau bahkan hancur karena kejadian ekstrem.
Ketiga, aspek kerawanan (susceptibility) dengan skor 45,46 (sangat tinggi). Kerawanan menunjukkan sejauh mana ketahanan dan sumber daya populasi untuk mengurangi dampak langsung rangkaian kejadian ekstrem.
Kemudian, aspek keempat yang masuk klasifikasi sangat tinggi adalah kurangnya kapasitas mengatasi (lack of coping capacities). Aspek ini mendapat skor 50,59, tertinggi dari empat aspek lain.
Kapasitas mengatasi mengacu pada kemampuan dan langkah-langkah masyarakat untuk melawan hal-hal buruk dampak peristiwa alam atau perubahan iklim melalui tindakan langsung untuk mengurangi kerusakan dalam waktu dekat setelah suatu peristiwa terjadi dan memulai pemulihan.
Hanya satu aspek yang masih masuk kategori tinggi, yaitu kurangnya kapasitas adaptif (lack of adaptive capacities). Aspek kelima ini mendapat skor 46,38. Kapasitas adaptif mengacu pada proses jangka panjang dan strategi untuk mencapai perubahan yang antisipatif dalam struktur dan sistem masyarakat untuk menangkal, mengurangi, atau mencegah dampak negatif di masa depan.
Sementara di tingkat nasional, risiko bencana di tingkat kabupaten/kota dan tingkat provinsi seluruh Indonesia terpantau pada Indeks Risiko Bencana Indonesia (IRBI).
Hasil perhitungan Indeks Risiko Bencana yang dirilis BNPB tahun 2022 menunjukkan, 13 provinsi berada pada kelas risiko bencana tinggi dan 21 provinsi berada pada kelas risiko bencana sedang dan tidak ada provinsi yang berada pada risiko bencana rendah.
Pada level kabupaten, dari 514 kabupaten/kota di Indonesia, terdapat 192 kabupaten/kota yang berada pada kelas indeks risiko tinggi dan 322 yang berada pada kelas indeks risiko sedang.
Tiga provinsi yang berisiko paling tinggi adalah Sulawesi Barat (skor 165,23), Maluku (skor 162,47), dan Kepulauan Bangka Belitung (skor 158,52). Sementara itu, tiga provinsi yang memiliki indeks risiko terendah pada kelas sedang adalah Jawa Tengah (skor 115,38), Kepulauan Riau (skor 110,93), dan DKI Jakarta (skor 62,58).
Yang juga perlu mendapat perhatian adalah ada enam provinsi yang justru mengalami kenaikan Indeks Risiko Bencana pada tahun 2022 dibandingkan tahun 2021, yaitu DKI Jakarta, Kalimantan Utara, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Barat, dan Papua Barat.
Baca juga : Banjir Rob dan Cuaca Ekstrem di Jakarta hingga Awal Desember
Memahami risiko
Tingginya risiko bencana di sekitar kita tak dapat dihindari. Indonesia memiliki risiko bencana yang tinggi sebagai konsekuensi letak negara ini dari sisi geologis dan geografis.
Secara geologis, Indonesia berada pada pertemuan empat lempeng utama, yaitu Eurasia, Indo Australia, Filipina, dan Pasifik, dengan sejumlah sesar yang masih aktif. Kondisi ini menjadikan Indonesia rawan bencana gempa bumi, tsunami, dan letusan gunung api.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) bahkan mengidentifikasi adanya sesar baru yang melewati Sumedang setelah gempa bumi berkekuatan M 4,8 melanda kawasan ini pada akhir tahun lalu.
Di sisi lain, kondisi geografis Indonesia yang berada di daerah tropis serta pada pertemuan dua samudra dan dua benua membuat wilayah ini rawan akan bencana banjir, tanah longsor, banjir bandang, cuaca ekstrem, gelombang ekstrem dan abrasi, serta kekeringan yang juga dapat memicu kebakaran hutan dan lahan.
Melihat tingginya ancaman tersebut, diperlukan pemetaan risiko bencana serta upaya pengelolaannya untuk mengurangi kerugian akibat bencana menjadi seminimal mungkin.
Informasi risiko bencana tersebut kemudian dijadikan salah satu dasar dalam perumusan berbagai upaya penanggulangan bencana. Juga menjadi acuan dalam menjalankan manajemen risiko serta dapat mengurangi risiko bencana dalam jangka panjang.
Tahun 2021, BNPB membuat kajian risiko bencana yang merupakan sebuah pendekatan untuk memperlihatkan potensi dampak negatif yang mungkin timbul dari potensi bencana yang ada.
Potensi dampak negatif bencana ini menggambarkan potensi jumlah jiwa (risiko sosial), kerugian harta benda (risiko fisik dan ekonomi), serta risiko kerusakan lingkungan yang terpapar oleh potensi bencana di semua provinsi.
Gempa bumi, kekeringan, dan cuaca ekstrem memberikan gambaran risiko sosial paling besar karena menjadi ancaman bagi ratusan juta jiwa penduduk Indonesia di semua wilayah. Cuaca ekstrem juga berpotensi menimbulkan risiko kerugian fisik paling tinggi yang diperkirakan hingga Rp 1.963 triliun.
Sementara risiko nilai ekonomi yang terpapar paling tinggi, menurut hasil kajian, adalah dari bencana kekeringan sekitar Rp 968 triliun. Dari sisi kerusakan lingkungan, kekeringan juga berpotensi menimbulkan risiko kerusakan paling besar hingga 35 juta hektar.
Menguatnya fenomena El Nino, yaitu peristiwa peningkatan suhu lautan di Pasifik tengah dan timur, yang menyebabkan kenaikan suhu udara di seluruh dunia sejak Juni 2023 berdampak pada bencana kekeringan yang lebih parah dan lama di seluruh Indonesia. Lebih jauh, fenomena ini bisa menyebabkan gagal panen dan kelangkaan pangan.
Menyadari besarnya potensi risiko pada kerusakan lingkungan akibat bencana tersebut, Hari Lingkungan Hidup Indonesia yang diperingati setiap tanggal 10 Januari menjadi pengingat bagi masyarakat untuk menjaga lingkungan demi masa depan Bumi yang lebih baik.
Melakukan kegiatan yang berdampak positif pada lingkungan juga dapat meminimalisasi risiko bencana, khususnya bencana yang dipicu oleh kerusakan lingkungan itu sendiri. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga : Publik Makin Merasakan Dampak Perubahan Iklim