Bencana Hidrometeorologi dan Erupsi Gunung Senantiasa Mengintai Indonesia
Frekuensi kejadian bencana di Indonesia tercatat sangat besar, setidaknya 3.000 kejadian bencana terjadi setiap tahunnya.
Ancaman bencana alam semakin meningkat seiring dengan datangnya puncak musim hujan di Indonesia. Masyarakat perlu meningkatkan kewaspadaan dan pemerintah pun dituntut harus menyiapkan skenario manajemen kebencanaan yang semakin baik.
Frekuensi kejadian bencana di Indonesia tercatat sangat besar, setidaknya 3.000 kejadian bencana terjadi setiap tahunnya. Jenis bencana yang melanda pun juga sangat beragam, mulai dari bencana tektonisme, seperti gempa, hingga hidrometeorologi, seperti banjir bandang dan tanah longsor. Akibatnya, ratusan orang harus kehilangan nyawa dan ribuan lainnya terpaksa mengungsi dari tempat tinggalnya.
Salah satu jenis bencana paling sering terjadi adalah bencana hidrometeorologi. Ironisnya, tingginya ancaman bencana itu tanpa disertai kesiapan mitigasi serta kesadaran yang tinggi dalam menjaga lingkungan. Akibatnya, hidrometeorologi menjadi bencana paling mematikan sepanjang tahun 2023 ini.
Banjir, tanah longsor, atau cuaca esktrem menjadi jenis bencana yang sangat lazim melanda wilayah Indonesia. Dengan frekuensi kejadian yang sangat tinggi menyebabkan banyak kerusakan dan kerugian bagi pemerintah dan masyarakat. Bencana hidrometeorologi adalah segala fenomena alam hasil interaksi antara dinamika atmosfer dengan kadar air yang terjadi di permukaan Bumi.
Sepanjang tahun 2023 ini, tercatat sedikitnya ada 2.800 kejadian bencana. Dari total ribuan kejadian bencana, sekitar 95 persen bencana tersebut termasuk bencana hidrometeorologi. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh wilayah Indonesia memiliki risiko bencana yang tinggi sehingga berpotensi besar mendapat ancaman terjangan bencana alam.
Tidak hanya di Indonesia, kejadian bencana alam turut menjadi ancaman bagi banyak negara. Rata-rata jumlah kematian per tahun karena bencana alam mencapai 45.000 jiwa di seluruh dunia. Angka tersebut menunjukkan persentase kematian yang besar, selain disebabkan oleh serangan wabah penyakit. Kabar baiknya, tren korban tercatat mengalami penurunan selama satu dekade terakhir. Hal ini disebabkan upaya mitigasi yang semakin baik serta dukungan teknologi yang andal. Dengan demikian mampu memprediksi kemungkinan kejadian bencana dan mempersiapkan infrastruktur untuk meminimalkan jatuhnya korban.
Baca juga: Musim Hujan Berdurasi Singkat Meningkatkan Risiko Bencana
Dengan semakin banyaknya kejadian bencana yang telah terjadi di seluruh dunia, termasuk Indonesia, maka dibutuhkan transformasi manajemen kebencanaan yang lebih mumpuni. Khusus Indonesia, salah satu langkah progresif yang dapat dilakukan adalah memetakan kelompok paling rentan terdampak bencana. Selanjutnya, meningkatkan standar hidup setiap individu dalam kelompok tersebut agar kian tangguh menghadapi ancaman bencana.
Selain itu, juga perlu ditunjang dengan peningkatan infrastruktur dan sistem respons kebencanaan guna mencegah tingginya fatalitas akibat bencana alam tersebut. Konektivitas berbagai pihak, baik di pihak pemerintahan maupun swasta, juga sangat diperlukan untuk membantu keberhasilan upaya mitigasi itu.
Bencana hidrometeorologis
Saat ini lebih dari 75 persen wilayah Indonesia telah memasuki musim hujan. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi bahwa Desember hingga Januari menjadi titik puncak musim hujan di seluruh Indonesia dengan intensitas beragam di setiap lokasi. Hasil pantauan BMKG pada 23 Desember 2023 menunjukkan bahwa hujan intensitas lebat dan potensi suhu panas terik masih dapat terjadi selama periode akhir tahun 2023 hingga tahun baru 2024.
Kondisi tersebut dipicu oleh beberapa fenomena dinamika atmosfer. Pertama, adanya sirkulasi angin di Laut China Selatan yang menghambat aliran massa udara basah dari Asia ke wilayah Indonesia. Implikasinya, hujan lebat akan terkonsentrasi di wilayah Sumatera dan Kalimantan sisi barat. Sirkulasi angin tersebut juga berdampak pada kurangnya potensi pertumbuhan awan di selatan ekuator.
Selain sirkulasi angin di Laut China Selatan, ada pula anomali fase kering Madden Julian Oscillation (MJO) di beberapa wilayah Indonesia. MJO menyebabkan berkurangnya tutupan awan pada siang hari sehingga kondisi suhu cukup panas dan terik hingga mencapai suhu 35-37 derajat celsius. Kondisi tersebut menyebabkan cuaca cukup fluktuatif di banyak wilayah Indonesia dan patut diwaspadai oleh masyarakat.
Kenaikan curah hujan pada pengujung tahun 2023 perlu menjadi perhatian bagi seluruh masyarakat. Hal tersebut mampu menyebabkan banyak kejadian bencana, seperti banjir dan tanah longsor. Senin (25/12/2023) wilayah Kabupaten Bandung, Jawa Barat, dilanda angin kencang dan banjir bandang. Akibatnya, 102 unit rumah rusak dan enam warga lula-luka.
Baca juga: Membangun Kesadaran Menghadapi Dampak Perubahan Iklim
Empat hari sebelumnya (21/12/2023), banjir bandang juga melanda Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara, karena luapan Sungai Aek Singolot yang memaksa hampir 100 jiwa mengungsi. Selain banjir bandang, kejadian tanah longsor juga terjadi di lima titik di Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Kejadian tersebut menelan dua korban jiwa.
Kejadian bencana karena dinamika atmosfer di akhir tahun 2023 hingga awal tahun 2024 adalah fenomena yang berulang setiap tahun. Dari 2.800 kejadian bencana alam sepanjang tahun 2023, sedikitnya 95 persen adalah bencana hidrometeorologis, seperti banjir, tanah longsor, angin kencang, serta kebakaran hutan dan lahan.
Vulkanisme
Apabila bencana hidrometeorologi sangat terkait dengan kondisi cuaca dan iklim, maka bencana karena aktivitas vulkanik bisa terjadi kapan saja tanpa ada periodisasi tertentu. Di pengujung tahun 2023 ini setidaknya ada dua gunung yang mengalami erupsi besar, yaitu Gunung Lewotobi Laki-laki di Nusa Tenggara Timur dan Gunung Marapi di Sumatera Barat.
Gunung Lewotobi Laki-laki di Flores Timur, NTT, erupsi pada Sabtu (23/12/2023). Erupsi ditandai dengan adanya letusan abu vulkanik berketinggian 1.000-1.500 meter dari puncak kawah pada pagi hari waktu setempat. Tercatat terjadi gempa vulkanik dalam sekitar 38 kali dan 5 kali gempa vulkanik dangkal. Setidaknya ada lima desa terdampak letusan tersebut.
Letusan abu vulkanik tertiup angin dan mengenai empat desa di Kecamatan Wulanggitan, yaitu Hokeng Jaya, Pululera, Klatanlo, dan Nawakote, serta satu desa di Kecamatan Ile Bura, yaitu Desa Dulepari, hingga ketebalan abu mencapai tiga sentimeter. Sesaat setelah erupsi, warga diimbau untuk memakai masker agar tidak mengalami infeksi saluran pernapasan akibat abu vulkanik.
Gunung yang terakhir kali erupsi pada Oktober 2002 tersebut memiliki ketinggian 1.584 mdpl. Sebelumnya, status tingkat aktivitas gunung berada pada level I (Waspada) sejak 17 Desember 2023. Erupsi yang baru saja terjadi berwarna kelabu dengan intensitas tebal condong ke arah utara. Erupsi terpantau di seismograf dengan amplitudo maksimum 40 mm dan durasi kurang lebih 24 menit.
Baca juga: Memahami Erupsi ”Tiba-tiba” Gunung Marapi dan Risikonya
Selain Gunung Lewotobi Laki-laki, erupsi lainnya yang terjadi menjelang akhir tahun ini adalah Gunung Marapi di Sumatera Barat yang meletus pada Minggu (3/12/2033). Gunung ini berada di Kabupaten Agam dan Tanah Datar, Sumatera Barat, dengan ketinggian 2.891 mdpl. Erupsi ditandai dengan muntahan kolom abu berisi material vulkanik hingga 3.000 meter dari puncak kawah yang disertai suara gemuruh.
Berdasarkan perekaman seismogram Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), erupsi Gunung Marapi memiliki amplitudo maksimum 30 mm dan durasi 4 menit 41 detik. Hujan abu vulkanik terjadi di wilayah Nagari Lasi, Kecamatan Canduang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Sebelumnya, status Waspada telah ditetapkan sejak bulan Januari 2023. Artinya, gunung bisa sewaktu-waktu meletus secara eksplosif atau ledakan keras. Erupsi Desember 2023 ini menewaskan setidaknya 23 orang yang sebagian besar adalah petualang yang sedang mendaki gunung itu.
Gunung Marapi termasuk salah satu gunung api paling aktif di Pulau Sumatera. Berdasarkan catatan kejadian, gunung api ini pernah erupsi pada tanggal 8 September 1830 dengan mengeluarkan awan yang berbentuk kembang kol abu-abu kehitaman dengan ketebalan 1.500 m di atas kawahnya, disertai dengan suara gemuruh. Selanjutnya, pada 30 April 1979 sedikitnya 60 orang meninggal dunia akibat letusan Gunung Marapi.
Berikutnya memasuki akhir tahun 2011 hingga awal tahun 2014, Gunung Marapi menampakkan peningkatan aktivitasnya melalui letusan yang menyemburkan abu dan awan hitam. Menurut catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana di akhir tahun 2011, semburan abu terbawa angin hingga mencapai Kabupaten Padang Pariaman. Selanjutnya pada tanggal 26 Februari 2014 dan 7 Januari 2023, Gunung Marapi meletus kembali.
Selain Gunung Marapi dan Lewotobi Laki-laki, masih banyak gunung berapi lainnya yang berpotensi meletus setiap saat di Indonesia. Menurut catatan PVMBG di negeri ini terdapat 127 gunung berapi aktif. Jumlah ini merupakan yang terbanyak di seluruh dunia dan menduduki peringkat pertama korban jiwa akibat erupsi gunung secara global.
Oleh sebab itu, situasi alam Indonesia tersebut sudah sepatutnya diwaspadai sebagai bentuk kerawanan yang harus dimitigasi secara optimal guna mencegah jatuhnya korban jiwa akibat bencana alam. (LITBANG KOMPAS)