Membangun Kesadaran Menghadapi Dampak Perubahan Iklim
Kesadaran dan kerja sama antarbanyak pihak diperlukan dalam upaya mencegah jatuhnya banyak korban akibat krisis iklim.
Tingginya kejadian bencana alam akibat perubahan iklim global patut menjadi kewaspadaan bersama dengan membangun upaya mitigasi secara serempak. Kesadaran dan kerja sama banyak pihak sangat diperlukan dalam upaya preventif ini guna mencegah jatuhnya banyak korban akibat krisis iklim.
Dalam beberapa tahun terakhir, rasa khawatir dan kecemasan terhadap perubahan iklim kian menjadi keresahan bersama warga dunia seiring dengan familiarnya isu degradasi lingkungan di seluruh dunia. Rasa cemas muncul karena banyaknya kejadian bencana yang ada di sekitar masyarakat. Hal ini salah satunya dipicu fenomena perubahan iklim yang menjelma menjadi krisis global yang berpengaruh luas terhadap segala aktivitas kegiatan manusia.
Kecemasan yang berubah menjadi trauma dan kesedihan yang berlanjut adalah gejala akut dari beragam reaksi emosional dan kognitif seorang individu terhadap masifnya perubahan iklim yang kian tak terkendali. Sebuah studi tahun 2021 oleh University of Bath di Inggris yang dilakukan terhadap 10.000 anak dan remaja berusia 16-26 tahun di 10 negara menegaskan betapa mendalamnya rasa cemas yang dialami kelompok usia muda terhadap fenomena global itu. Kesepuluh negara tersebut ialah Australia, Brasil, Finlandia, Perancis, India, Nigeria, Filipina, Portugal, Inggris, dan Amerika Serikat.
Lebih dari separuh responden mengakui mengalami rasa sedih, cemas, marah, tidak berdaya, dan bersalah. Sebanyak 75 persen mengatakan bahwa masa depan begitu menakutkan karena perubahan iklim dunia. Sementara itu, sebanyak 83 persen anak muda menganggap dirinya telah gagal menjaga Bumi. Pemikiran tersebut muncul karena mereka melihat tidak ada upaya konkret dari pemerintah dan organisasi dunia untuk mengambil langkah ambisius mengurangi pemanasan global.
Laju pemanasan global dipastikan tidak akan bisa dikurangi atau bahkan dihentikan. Aktivitas penyumbang emisi karbon tetap terjadi dan terus meningkat setelah cenderung melambat selama tiga tahun pandemi Covid-19 kurun 2019-2021. Laporan ”Provisional State of the Global Climate 2023” dari Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) menunjukkan fakta pahit tentang kondisi lingkungan dan atmosfer Bumi.
Rata-rata suhu permukaan Bumi sepanjang tahun 2023 mencapai 1,4 ± 0,12 derajat celsius dibandingkan dengan periode 1850-1900. Berdasarkan angka tersebut, tahun 2023 dinobatkan sebagai tahun terpanas dalam 174 tahun masa pengamatan. Rekor suhu rata-rata periode 2023 melampaui tahun 2016 (1,29 derajat celsius) dan 2020 (1,27 derajat celsius). Konsentrasi gas rumah kaca juga mencapai rekornya dan terus meningkat setiap tahun.
Baca juga: Musim Hujan Berdurasi Singkat Meningkatkan Risiko Bencana
Kondisi tersebut mengganggu stabilitas sistem iklim di Bumi yang mengakibatkan munculnya banyak anomali cuaca. Fenomena cuaca ekstrem terus menimbulkan dampak sosial dan ekonomi yang parah. Gelombang panas melanda banyak negara di seluruh dunia. Kebakaran hutan di Hawaii, Kanada, dan sebagian negara Eropa menimbulkan banyak kerugian finansial dan korban jiwa. Polusi udara skala besar turut memperparah kondisi banyak negara.
Banjir bandang karena curah hujan ekstrem juga melanda banyak negara, seperti Yunani, Bulgaria, Turki, dan Libya. Permasalahan lain karena perubahan iklim adalah ketahanan pangan yang berisiko kolaps di banyak wilayah karena kekeringan dan hujan ekstrem. Perubahan iklim turut memicu munculnya gelombang pengungsian baru setiap tahunnya.
Pengungsi banyak muncul disebabkan cuaca ekstrem, seperti banjir, longsor, dan kekeringan. Kejadian tersebut menyebabkan penderitaan bagi masyarakat karena mereka kehilangan tempat tinggal dan sumber penghidupan. Imbas lainnya adalah konflik sosial karena keterbatasan sumber daya alam akibat kondisi ekstrem.
Kohesi sosial
Rasa cemas yang muncul di tengah masyarakat berdampak buruk terhadap kesehatan tubuh serta menurunkan minat untuk bersosialisasi. Pembatasan akses diri terhadap lingkungan sekitar hanya akan memperburuk kondisi individu tersebut. Karena itu, dibutuhkan langkah konkret dari individu dan komunitas sekitarnya untuk membangun ketahanan terhadap rasa cemas di tengah anomali iklim saat ini.
Salah satu langkah utamanya adalah membangun kohesi sosial melalui komunitas terdekat. Kohesi sosial berbicara tentang ikatan yang menjaga masyarakat agar tetap bersatu atau berintegrasi. Ikatan tersebut dapat berupa bayak hal, seperti nilai-nilai, keyakinan, atau tujuan bersama yang digunakan sebagai acuan moral. Implikasinya adalah muncul rasa saling percaya.
Kohesi sosial dibutuhkan individu dan komunitas untuk melawan rasa cemas dan mengubahnya menjadi kesadaran serta kewaspadaan. Inilah titik krusial dari panjangnya proses penerimaan dari rasa cemas, yaitu bagaimana mengubah kecemasan menjadi kesadaran dan kewaspadaan. Tidak lagi fokus pada hal-hal buruk yang tengah terjadi, tetapi mengubahnya menjadi semangat untuk menemukan solusi dan beradaptasi.
Baca juga: Besarnya Ancaman Bencana Lingkungan di Dunia
Komunitas dengan ikatan sosial yang kuat mampu menghadapi kesulitan demi kesulitan karena perubahan iklim dibandingkan dengan komunitas individualis. Ikatan sosial atau kohesi sosial yang kuat berarti setiap individu belajar bagaimana saling mendukung dan berorientasi pada tujuan yang sama. Rasa percaya yang muncul menjadi sarana seorang individu meluapkan rasa cemas, takut, dan khawatirnya serta mendapat masukan yang membangun dan menguatkan.
Dalam kasus perubahan iklim, seperti gelombang panas, kohesi sosial yang kuat ditunjukkan melalui sikap dan respons yang saling mendukung dan melindungi. Dalam komunitas yang kuat, individu akan secara aktif memeriksa kondisi tetangganya atau orang-orang di lingkungan terdekatnya. Mereka turut memastikan sumber daya dapat diakses semua orang. Apabila dalam kondisi darurat, pertolongan pun dapat diberikan secara cepat dan kolektif oleh komunitas tersebut.
Apabila dilihat secara sistemik, kohesi sosial adalah syarat utama dalam keberhasilan implementasi manajemen kebencanaan. Dua hal utama yang berperan untuk menekan dampak bencana adalah mitigasi dan tanggap darurat. Keduanya sangat membutuhkan ikatan kuat dari komunitas yang terdampak untuk berjuang bangkit dari kondisi bencana. Di masa depan, kohesi ini menjadi semakin penting mengingat frekuensi dan intensitas bencana meningkat seiring dengan makin panasnya suhu Bumi.
Diskusi terbuka
Dengan kian kuatnya kohesi masyarakat dalam menghadapi ancaman perubahan iklim, akan muncul ide-ide atau gagasan yang memicu diskusi sehat dalam upaya mitigasi. Dengan demikian, akan semakin banyak masyarakat yang kian terbuka pikirannya untuk bertindak dan berkolaborasi dengan banyak pihak.
Didukung dengan kemajuan teknologi dan keterbukaan informasi tentang perubahan iklim, maka akan membawa seorang individu dan khalayak luas dalam tingkatan pemahaman isu secara utuh. Bukan lagi rasa takut atau cemas, melainkan sikap tegas menentukan bagian-bagian apa yang bisa dilakukan sebagai seorang individu atau bagian dari komunitas untuk menghadapi dampak perubahan iklim. Inilah peran krusial individu dan juga kekuatan komunitas di tengah perubahan iklim dunia.
Semakin banyak masyarakat yang memiliki kesadaran tinggi terhadap ancaman global itu, langkah mitigasi akan relatif mudah dilakukan secara serempak di seluruh penjuru dunia. Sebaliknya, makin tertutup seseorang ataupun komunitas masyarakat terhadap informasi tentang perubahan iklim akan berakibat fatal bagi masyarakat bersangkutan dan juga komunitas yang lebih luas lagi.
Baca juga: Krisis Iklim, Krisis Kesehatan Kita
Meski demikian, masih saja terdapat sejumlah individu masyarakat yang bersikap tak acuh dan minim kontribusi dalam upaya penurunan laju pemanasan iklim. Dalam jurnal The Psychology of Climate Anxiety tahun 2021, ada empat istilah dalam psikologi yang menggambarkan rendahnya partisipasi individu terhadap hal tersebut.
Empat istilah itu adalah faulty alarm hypothesis, social dilemma, ecopsychology, dan psychoanalysis. Semuanya menggambarkan posisi individu yang begitu jauh dari upaya perlindungan lingkungan dari dampak perubahan iklim. Bahkan, menurut istilah psikoanalisis, penolakan dan sikap apatis itu merupakan bentuk pertahanan.
Oleh karena itu, rasa cemas, takut, dan khawatir yang dirasakan setiap individu di tengah ketidakpastian kondisi global akibat perubahan iklim tersebut harus dikendalikan secara baik dan proporsional. Di samping itu, setiap individu harus kian terbuka dan mawas diri terhadap kondisi fenomena degradasi lingkungan saat ini.
Memperbanyak literasi, diskusi, dan juga berperan aktif dalam upaya penyelamatan lingkungan dengan cara sederhana sekalipun dapat menjadi poin positif bagi diri sendiri dan lingkungan sekitarnya. Dengan demikian, akan menularkan semangat kolaborasi untuk terus beradaptasi dan melakukan langkah mitigasi terhadap perubahan iklim yang tengah terjadi saat ini. (LITBANG KOMPAS)