Besarnya Ancaman Bencana Lingkungan di Dunia
Dalam jangka pendek dan menengah, ancaman lingkungan akibat pemanasan global jadi tantangan serius untuk segera diatasi.
Terjangan bencana alam akibat degradasi lingkungan menjadi ancaman yang kian mengintai umat manusia. Peningkatan suhu global memicu anomali iklim yang dapat merusak aktivitas kehidupan. Perlu dukungan mitigasi dari semua pihak agar bumi dapat terus lestari.
Ancaman serius bagi seluruh kehidupan manusia di bumi ini tergambar dari laporan ”The Global Risks Report 2023” yang disusun Forum Ekonomi Dunia (WEF). Hasil kajian menunjukkan masalah lingkungan menjadi faktor yang harus diwaspadai dalam terjadinya bencana.
Dalam jangka pendek, yakni dua tahun ke depan, disebutkan, dari 10 risiko terparah dunia, lima risiko disebabkan oleh faktor lingkungan. Sementara tantangan terberat dalam tempo dua tahun ke depan adalah krisis kehidupan yang disebabkan oleh biaya yang tinggi.
Kelima hal itu ialah bencana alam dan cuaca ekstrem, kegagalan mitigasi perubahan iklim, insiden kerusakan lingkungan skala besar, kegagalan adaptasi perubahan iklim, dan krisis sumber daya alam. Dalam tempo dua tahun ke depan, faktor lingkungan itu akan berimpitan dengan ancaman lainnya, seperti biaya hidup yang mahal, konflik geoekonomi, kohesi sosial dan polarisasi masyarakat, kejahatan siber, serta migrasi penduduk skala besar.
Kondisi ini menggambarkan ancaman lingkungan menjadi risiko yang sangat besar karena mendominasi dari segi jumlah dan efeknya sangat luas serta langsung terasa di seluruh lapisan masyarakat. Ancaman yang pelik tersebut perlu dituntaskan secara simultan dan berkolaborasi dengan banyak pihak, mulai dari level lokal, nasional, hingga internasional. Tanpa kerja sama yang menyeluruh, niscaya upaya menghadapi berbagai ancaman tersebut akan sia-sia.
Kolaborasi dengan banyak pihak, baik antarinstitusi dalam negeri maupun dengan lembaga lintas negara, harus terus ditingkatkan intensitasnya. Pasalnya, eskalasi ancaman dari faktor lingkungan diperkirakan juga akan terus bertambah. Diproyeksikan dalam 10 tahun mendatang faktor alam akan semakin mendominasi risiko yang membebani kehidupan umat manusia di seluruh dunia.
Apabila dalam jangka pendek hanya ada lima risiko yang dipicu oleh faktor lingkungan, dalam satu dekade mendatang diperkirakan bertambah menjadi enam risiko besar yang ditimbulkan oleh alam. Bahkan, risiko yang berasal dari lingkungan ini menjadi tantangan terbesar dalam sepuluh tahun mendatang.
Secara berurutan, risiko terbesar bermula dari kegagalan melakukan mitigasi perubahan iklim, lalu diikuti risiko kegagalan adaptasi perubahan iklim. Kegagalan mitigasi ini menyebabkan tingginya intensitas bencana alam, cuaca ekstrem, dan degradasi daya dukung ekosistem beserta keanekaragaman hayati. Akibatnya, muncul migrasi manusia dalam skala besar demi menyelamatkan kehidupan.
Baca juga: Anomali Iklim dan Rekor Suhu Terpanas Bumi
Migrasi penduduk itu mengarah pada wilayah, daerah, atau negara yang memiliki sumber daya berlimpah. Semakin minim sumber daya alam yang dimiliki (pangan, air, dan energi), daerah bersangkutan akan rentan ditinggalkan.
Fenomena tersebut tentu saja akan menimbulkan dampak sosial ekonomi pada seluruh masyarakat dunia. Timbul ketimpangan antarmasyarakat ataupun antarbangsa yang minim sumber daya dengan yang berlimpah sumber daya. Ketimpangan ini akan memicu kohesi dan pada akhirnya akan mendorong munculnya konflik perebutan sumber daya yang sangat terbatas.
Oleh karena itu, ancaman lingkungan akibat pemanasan global saat ini menjadi tantangan sangat serius untuk segera diatasi oleh semua negara di dunia. Negara-negara maju perlu berkontribusi lebih banyak dalam membantu negara-negara lain, terutama negara-negara dengan tingkatan ekonomi lebih rendah. Bantuan pendanaan, ilmu pengetahuan, dan transfer teknologi sangat dibutuhkan dalam upaya mitigasi global ini.
Ancaman
Salah satu indikator degradasi lingkungan itu diukur melalui peningkatan suhu rata-rata bumi sebelum masa praindustri atau 1850-1900. Semakin tinggi peningkatan suhunya mengindikasikan terjadi degradasi lingkungan yang disebabkan oleh faktor polutan yang dihasilkan dari proses industrialisasi ataupun kegiatan ekonomi.
Berdasarkan data dari organisasi Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) dan ”Global Assessment Report on Disaster Risk Reduction: GAR Special Report 2023” dari PBB, masa setelah tahun 2020 masuk dalam kategori rawan bagi lingkungan.
Apabila berhasil melakukan langkah mitigasi secara bersama-sama dengan semua negara di dunia, harapan untuk mencegah peningkatan suhu global kurang dari 1,5 derajat celsius pada tahun 2050 akan dapat tercapai.
Namun, sebaliknya, apabila sebagian besar negara di dunia gagal melakukan langkah mitigasi, ancaman peningkatan suhu bumi akan melonjak pesat. Suhu bumi akan meningkat mendekati 2 derajat celsius pada kurun 2050-2060 dan terus meningkat hingga lebih dari 3 derajat celsius pada 2100.
Fenomena ini mesti diwaspadai karena potensi ancaman pemanasan global datang lebih cepat. Data awal yang dikeluarkan Layanan Perubahan Iklim Copernicus Uni Eropa pada 19 November 2023 menunjukkan, untuk pertama kalinya suhu harian di bumi melewati ambang 2 derajat celsius lebih panas daripada praindustri (Kompas, 22/11/2023).
Lonjakan suhu hingga di atas 2 derajat celsius itu merupakan tanda ancaman yang serius bagi kehidupan. Akan banyak terjadi kekeringan sehingga banyak organisme tidak dapat hidup, produksi pangan anjlok sehingga memicu bencana kelaparan, sumber-sumber air mengering, tetapi di sisi lain terjadi cuaca ekstrem yang memicu bencana alam secara dahsyat. Banjir bandang, tanah longsor, dan badai angin berkekuatan tinggi.
Baca juga: Meningkatnya Pengungsi Seiring Memburuknya Iklim Global
Akibat krisis iklim tersebut, Bank Dunia memperkirakan pada tahun 2050 akan ada sekitar 216 juta penduduk dunia yang melakukan migrasi ke daerah lainnya. Paling banyak berasal dari Benua Afrika yang diperkirakan akan mencapai lebih dari 105 juta jiwa. Selanjutnya diikuti dari kawasan Asia Timur dan Pasifik sekitar 48 juta jiwa dan dari Asia Selatan sebanyak 40 juta jiwa. Kawasan lainnya seperti Amerika Latin dan Eropa Timur relatif sedikit, yakni rata-rata kurang dari 20 juta jiwa.
Tingginya proyeksi arus migran itu disebabkan oleh sejumlah faktor. Beberapa di antaranya karena minimnya sumber daya, konflik, serta ketimpangan ekonomi yang dalam antarnegara di dunia. Selain itu, tingginya kasus bencana alam juga memicu sebagian warga dunia berpindah ke negara lainnya.
Berdasarkan data Global Assessment Report on Disaster Risk Reduction: GAR Special Report 2023 dari PBB, sebagian besar wilayah Afrika merupakan daerah yang rentan terlanda berbagai macam jenis bencana alam.
Pada kurun 2005-2021, banyak daerah di kawasan Sub-Sahara Afrika terlanda sejumlah bencana yang berimbas langsung bagi penduduk di kawasan tersebut. Ironisnya, sebagian besar kawasan ini relatif minim mitigasi terhadap ancaman bencana serta minim alat deteksi dini ancaman bahaya bencana.
Reduksi emisi karbon
Dengan demikian, banyak masyarakat yang berpotensi besar akan terdampak terjangan bencana itu. Di sisi lain, tingkat kemiskinan dan juga tantangan alamnya yang sangat kering juga menjadi kendala bagi kehidupan masyarakat di kawasan tersebut. Wajar jika akhirnya sebagian masyarakat di kawasan Afrika diperkirakan akan bermigrasi besar ke kawasan lain akibat krisis iklim dan juga situasi domestik di negaranya.
Oleh karena itu, untuk mereduksi ancaman lingkungan yang semakin besar dan kompleks di masa depan, semua negara di dunia harus berkomitmen untuk mewujudkan target emisi bersih (net zero emission) pada tahun 2050.
Baca juga: Perhelatan Iklim di Negeri Kaya Minyak
Semua negara harus berusaha merealisasikan dokumen kontribusi reduksi emisi karbon yang ditetapkan secara nasional (nationally determined contribution/NDC). Dengan NDC, setiap negara memiliki peta jalan dalam jangka menengah hingga 2030 untuk mereduksi emisi karbon sesuai dengan kemampuannya. Selanjutnya, peta jalan ini akan dilanjutkan untuk merealisasikan net zero emission 2050.
Dengan tahapan NDC tersebut, setiap negara dapat menjalin kerja sama dengan negara lain untuk mereduksi gas rumah kaca secara lebih progresif lagi. Namun, untuk mendukung target ini dapat terealisasi secara optimal, perlu kesungguhan dari negara-negara maju untuk menyalurkan bantuan dalam skala yang relatif besar. Bukan hanya dari segi pendanaan, melainkan juga dari segi transfer ilmu dan teknologi sehingga target reduksi emisi karbon dapat segera terimplementasi secara simultan di seluruh penjuru dunia.
Kebijakan dan program mitigasi terpadu yang dilaksanakan semua negara di dunia diharapkan membuat suhu bumi dapat terkendali dan meminimalkan dampak bencana dari faktor lingkungan. Dalam jangka panjang, kolaborasi dunia juga diharapkan membuat bumi terus lestari dan menjadi lebih baik untuk kehidupan manusia hingga abad-abad selanjutnya. (LITBANG KOMPAS)