Menakar Arah Transformasi Ekonomi Digital Para Calon Pemimpin
Ketiga pasangan capres tengah beradu gagasan mendorong potensi ekonomi nasional dengan memanfaatkan teknologi digital demi mewujudkan kesejahteraan bangsa.
Transformasi ekonomi digital menjadi peluang untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045. Kemajuan teknologi informasi akan menjadi penggerak utama segala aktivitas kegiatan ekonomi nasional. Kini, ketiga calon presiden dan wakil presiden tengah beradu gagasan mendorong potensi ekonomi dalam negeri dengan memanfaatkan teknologi digital demi mewujudkan kesejahteraan bangsa.
Dalam satu dekade terakhir, ekonomi digital di Indonesia terus berkembang pesat. Indonesia tercatat sebagai salah satu negara pengguna internet terbesar, mulai untuk keperluan media sosial, mesin pencari, e-dagang, hingga produk digital lainnya.
Menurut laporan We Are Social berjudul ”Digital 2023 Global Overview Report”, jumlah pengguna internet di Indonesia pada 2015 masih 72,7 juta orang. Berselang delapan tahun, jumlahnya melonjak hingga 213 juta orang pada awal tahun ini. Angka ini setara dengan 77 persen dari total populasi Indonesia sekarang.
Besarnya pengguna internet tersebut menjadi peluang besar bagi pertumbuhan ekonomi digital di Tanah Air. Bahkan, di masa depan, ekonomi digital diharapkan dapat menjadi salah satu tulang punggung perekonomian nasional.
Data e-Conomy SEA 2022 yang dirilis Google, Temasek, dan Bain & Company menunjukkan, ekonomi digital Indonesia bernilai 77 miliar dollar AS pada 2022. Angka ini dihitung berdasarkan gross merchandise value (GMV) atau nilai pembelian konsumen. Pada tahun 2025, GMV Indonesia diperkirakan mencapai 130 miliar dollar AS, dengan aktivitas e-dagang sebagai pendorong utamanya.
Laporan lain dari Bank Indonesia (BI) mencatat nilai transaksi e-dagang nasional mencapai Rp 476,3 triliun pada tahun 2022. Nilai itu didapatkan dari 3,49 miliar transaksi di e-dagang sepanjang kurun 2022. Nilai transaksi e-dagang pada tahun 2022 itu lebih tinggi 18,8 persen daripada tahun sebelumnya yang mencapai Rp 401 triliun. Kendati tren transaksinya terus meningkat, angka transaksi pada tahun 2022 itu masih di bawah target bank sentral yang diperkirakan sebesar Rp 489 triliun.
Baca juga: Pemerintah Segera Mengatur E-Dagang Berbasis Media Sosial
Besarnya pasar digital di Indonesia turut membuat perusahaan rintisan (start up) menjamur di negeri ini. Tercatat Indonesia menempati peringkat keenam negara dengan jumlah perusahaan rintisan terbanyak di dunia. Berdasarkan data Start up Ranking Agustus 2023, Indonesia memiliki sekitar 2.507 perusahaan rintisan.
BPS mencatat jumlah usaha yang berjualan secara daring di Indonesia mencapai 2,87 juta pada 2021. Proporsi tersebut telah mencapai 34,1 persen dari total bisnis di Indonesia pada tahun 2021. Berdasarkan wilayahnya, lebih dari separuh atau 52,2 persen pelaku usaha daring masih berpusat di Pulau Jawa.
Dengan pertumbuhan ekonomi digital yang sangat pesat itu, para calon pemimpin negeri ini dituntut untuk terus mengakselerasi kemajuannya. Ketiga capres-cawapres, yakni pasangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, serta Ganjar Pranowo-Mahfud MD, berupaya menuangkan gagasan visi-misinya untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia.
Gagasan ekonomi digital capres
Mengacu pada visi misi ketiga capres-cawapres yang akan berkontestasi pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024, tampaknya gagasan dan program tentang ekonomi digital di Tanah Air menjadi salah satu yang diprioritaskan. Ketiga pasangan tersebut menjanjikan masa depan dan ekosistem yang baik untuk ekonomi digital nasional.
Dalam dokumen visi misinya, pasangan nomor urut satu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar menjanjikan akan memperkuat dan meratakan literasi digital di masyarakat untuk memanfaatkan perkembangan digital secara konstruktif. Kemudian, memastikan terpenuhinya infrastruktur dasar, seperti telekomunikasi dan infrastruktur digital, serta melakukan digitalisasi desa untuk mendukung industri.
Dalam kaitannya dengan ekonomi kreatif, mereka menyebutkan akan mencegah meningkatnya impor produk terkait yang masuk melalui platform digital dan meningkatkan merek Indonesia melalui pembuatan basis data budaya dan kreasi.
Baca juga: Standardisasi Produk Impor pada E-dagang Perlu Diperkuat
Sementara itu, pasangan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka akan menitikberatkan pada konsep ekonomi digital untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Tujuannya, demi memperluas pangsa pasar, penyaluran pembiayaan perbankan nasional untuk industri, serta mendorong pertumbuhan usaha rintisan berbasis digital.
Mereka menjanjikan akan membangun infrastruktur digital dan teknologi secara merata di kabupaten/kota di Indonesia. Selain itu, perbankan nasional akan didorong untuk membuat produk-produk pembiayaan yang khusus bagi industri digital, industri kreatif, dan seni budaya. Mereka menjanjikan 1,5-2 persen dari PDB dalam lima tahun untuk mendukung sains dan teknologi serta digitalisasi.
Pasangan nomor urut tiga, Ganjar Pranowo-Mahfud MD, mengangkat tema besar ”Mempercepat Pembangunan Sistem Digital Nasional” dalam visi misinya. Pasangan ini memasukkan ekonomi digital sebagai salah satu faktor penting untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi rata-rata sebesar 7 persen.
Mereka menjanjikan infrastruktur digital akan dipacu, mudah diakses, murah biayanya, dan cepat koneksinya. Mereka juga menjanjikan program ekosistem digital berdaya saing, yakni data aman, dukung rintisan usaha digital, regulasi platform digital berkeadilan, dan kemandirian industri digital. Mereka juga menjanjikan program beasiswa untuk meningkatkan SDM digital serta literasi aparat negara dan masyarakat.
Ekonomi digital 2045
Terlepas dari visi misi di bidang ekonomi digital yang ditawarkan para capres-cawapres tersebut, Indonesia sebenarnya telah mempunyai mimpi besar menjadi raksasa digital pada 2045. Hal itu tak terlepas dari potensi dan pertumbuhan ekonomi digital yang terhitung sangat pesat.
Indonesia berupaya mengakselerasi pengembangan industri digital selama 22 tahun ke depan. Merujuk Rencana Induk Pengembangan Industri Digital Indonesia 2023-2045 dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional, nilai ekonomi digital ditargetkan mencapai Rp 22.513 triliun pada 2045 atau 15 kali lipat dari capaian pada 2021 yang tercatat sebesar Rp 1.490 triliun.
Sektor teknologi informasi dan komunikasi (TIK) diharapkan berkontribusi sebesar 20,7 persen terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2045 atau tiga kali lipat dari kontribusinya pada tahun 2021. Dengan begitu, neraca perdagangan TIK akan mampu terungkit dan memberikan keuntungan yang relatif sangat besar.
Menindaklanjuti rencana besar tersebut, pemerintah menerbitkan Buku Putih Strategi Nasional Pengembangan Ekonomi Digital yang menjadi agenda transformasi digital nasional. Buku ini berisi kerangka kerja serta strategi berbasis data dan kebijakan yang diharapkan menjadi pijakan strategis agar Indonesia dapat lebih adaptif terhadap perubahan teknologi dan dinamika global.
Baca juga: Digitalisasi Jadi Jurus Pamungkas Capres dan Cawapres Tata Birokrasi
Disebutkan dalam buku tersebut, pengembangan ekonomi digital hingga 2045 disiapkan melalui tiga fase, yakni fase prepare yang dimulai dengan perbaikan fondasi digital dasar guna memastikan masyarakat siap bertransformasi. Lalu, fase transforms sebagai upaya percepatan transformasi guna menciptakan masyarakat dan bisnis yang cerdas. Juga fase lead dengan mulai menetapkan standar dalam teknologi inovasi di masa mendatang.
Lebih lanjut, untuk mendorong Indonesia ke tahap lead pada 2045, terdapat sejumlah aspirasi target yang telah ditetapkan, antara lain peningkatan daya saing digital Indonesia yang semula berada pada peringkat ke-51 pada tahun 2022 menjadi peringkat ke-20 pada tahun 2045 serta kontribusi ekonomi digital yang harus mencapai 20 persen terhadap PDB.
Tantangan
Selain menyebutkan fase tahapan pengembangan ekonomi digital, buku tersebut juga menyebutkan beragam tantangannya di Indonesia. Mulai dari infrastruktur, sumber daya manusia, iklim bisnis dan keamanan data, penelitian, inovasi, dan pengembangan usaha, pendanaan dan investasi, hingga kebijakan dan regulasi.
Kinerja infrastruktur digital di Indonesia dinilai masih belum optimal. Hal itu tecermin dari konektivitas yang masih rendah, pusat data dan ekosistem cloud yang kurang berkembang, serta konten dan aplikasi lokal yang masih terbatas.
Dalam hal cakupan dan kecepatan internet, Indonesia masih berada di posisi rendah jika dibandingkan dengan negara lain. Hanya sekitar 1 persen populasi yang menggunakan jaringan 5G. Sementara, cakupan internet broadband jaringan 4G hanya mencakup 38 persen kabupaten. Kecepatan mobile internet di Indonesia hanya mencapai 24 Mbps, jauh di bawah rata-rata global sebesar 76 Mbps.
Di bidang SDM, dalam empat tahun terakhir, hanya sekitar 0,8 persen dari total angkatan kerja adalah tenaga profesional di bidang TIK. Sementara rata-rata jumlah tenaga kerja profesional TIK di negara-negara lain adalah sekitar 4 persen dari total angkatan kerja. Sebagai contoh, Singapura memiliki sekitar 5,1 persen dari total angkatan kerja yang bekerja di sektor TIK.
Iklim bisnis di Indonesia juga masih berada dalam tahap awal perkembangannya. Berdasarkan Worldwide Governance Indicators (WGI), Indonesia masih menduduki peringkat 60 ke atas untuk Indeks Lingkungan Bisnis dan Indeks Tata Kelola Dunia.
Baca juga: Digitalisasi Ekonomi: Ramai di Perdagangan, Sepi di Produksi
Pada tahun 2022, berdasarkan laporan World Intellectual Property Organization (WIPO) tentang Global Innovation Index (GII), Indonesia berhasil meraih peringkat ke-75 dari 130 negara. Capaian ini menunjukkan peningkatan sebanyak 10 peringkat dibandingkan dengan posisi tahun 2020 yang berada di peringkat ke-85.
Kendati terjadi peningkatan peringkat dalam kemampuan inovasi Indonesia, kinerja tersebut masih jauh tertinggal dibandingkan dengan banyak negara lain. Indonesia masih mendapat nilai terendah dalam Subperingkat Penciptaan Pengetahuan. Subperingkat ini mempertimbangkan faktor-faktor seperti jumlah paten lokal, artikel ilmiah dan model teknologi, serta dokumen lain yang dapat dikutip dan dihasilkan secara lokal.
Indonesia juga masih menghadapi tantangan penanaman modal terkait pengembangan ekonomi digital. Pada tahun 2021, alokasi pengeluaran pemerintah di Indonesia hanya mencapai 16 persen dari PDB, jauh dari rata-rata negara-negara lain yang mencapai 23 persen. Kurangnya alokasi dana pemerintah itu akan memengaruhi kemampuan negara untuk mendukung sektor inovasi dan pengembangan ekonomi digital.
Terkait kebijakan dan regulasi, lanskap kebijakan dan regulasi ekonomi digital dinilai masih tergolong pada tahap awal pengembangan. Jika dibandingkan dengan negara-negara terkemuka, Indonesia cukup tertinggal dalam berbagai indeks yang mengukur aspek peraturan dan kebijakan terkait ekonomi digital.
Beberapa indeks yang relevan mencakup World Governance Index (WGI), International Telecommunication Union Generation, IMD World Digital Competitiveness (WDC) ranking, dan Network Readiness Index (NRI).
Dalam berbagai indeks tersebut, Indonesia menduduki peringkat 50 ke atas. Artinya, ada tantangan untuk mengejar peringkat dari negara-negara pemimpin di sektor ekonomi digital. Di antara 10 negara teratas dalam Indeks GCI, rata-rata 70 persen di antaranya juga menempati peringkat 10 teratas dalam indeks yang mengukur kebijakan dan regulasi terkait ekonomi digital.
Berkaca pada data tersebut, untuk menyongsong transformasi ekonomi digital 2045, perlu adanya sejumlah pembenahan yang harus dilakukan sesegera mungkin. Salah satu yang terpenting adalah menciptakan kebijakan dan regulasi yang mendukung bagi ekosistem digital yang kian masif pemanfaatannya di masyarakat. Oleh karena itu, gagasan-gagasan dari para calon pemimpin bangsa yang tengah berkontestasi saat ini sangat penting bagi kemajuan ekonomi digital di masa depan. (LITBANG KOMPAS)